Cagar Budaya Di Tengah Pandemi
14 Maret 2020 secara resmi Pemerintah Indonesia menyatakan pandemi virus korona sebagai bencana nasional dan meminta kepada seluruh orang di Indonesia untuk mempraktikan protokol kesehatan demi memperlambat penyebaran COVID-19 di Indonesia.
Penulis : I Gusti Agung Gede Artanegara
Pemerhati Teknologi dan Budaya Kemendikbud
Dengan sikap yang sama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengeluarkan surat edaran nomor 2 tahun 2020 tentang tidak lanjut himbauan pencegahan penyebaran coronavirus disease 19 (covid-19) dimana dalam prioritas kemenparekraf menyampaikan tiga poin yaitu; melindungi kesehatan dan keselamatan seluruh lapisan masyarakat, menjaga ketahanan ekonomi sektor pariwisata dan ekonomi kreatif nasional, terutama berupaya secara maksimal agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja dengan karyawan, dan pemulihan sektor ekonomi Pariwisata dan Ekonomi Kreatif adalah prioritas setelah Pandemik dinyatakan selesai oleh Pemerintah Pusat.
Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2967/F.F1/KB/2020 tanggal 26 Maret 2020) mengeluarkan surat perihal Perpanjangan Pelaksanaan Bekerja dari Rumah dan Penutupan Layanan Galeri, Museum dan Cagar Budaya.
Ini sangat memukul perekonomian pelaku berskala kecil yang berada di sekitar cagar budaya yang menjadi objek wisata. Kabupaten Gianyar menjadi tempat terbanyak Cagar Budaya yang dimanfaatkan sebagai objek wisata begitu kontras dengan pemandangan pariwisata yang terjadi saat ini, berkunjung saja di sekitar tampaksiring menyusuri Daerah Aliran Sungai Pakerisan dimulai dari atas (Utara) Pura Pegulingan, Pura Tirta Empul, Pura Mengening, Candi Tebing Gunung Kawi, dan terus ke Selatan gegap gempita pariwisata sudah tidak lagi dirasakan oleh pelaku usaha di sekitar cagar budaya dan sudah banyak yang tutup. Situs Pura Tirta Empul masih banyak yang membuka usahanya, karena Pura Tirta Empul masih dikunjungi oleh orang lokal sebagai tempat melukat tetapi pendapatan mereka terjun bebas. Pemandangan ini sangat kontras jika berkunjung ke Candi Tebing Gunung Kawi disana 94% tutup sementara dan ada yang gagal untuk meneruskan usaha mereka terkait dengan biaya sewa yang mau tidak mau harus dibayar. UKM yang tersisa hanya ada di sekitar area tangga menuju lokasi cagar budaya, dan itu pun mereka mati suri hanya berharap dari pengunjung yang datang untuk berbelanja dan itu pun sangat kecil. Di sudut jalan setapak menuju candi sepuluh ada seorang pekak (kakek) berjualan kelapa muda yang duduk di gazebo menunggu ada turis sembari tersenyum dan mengatakan biasanya saya menjual ini seharga Rp. 20.000,- sekarang ditawar hingga Rp. 5.000,- saja saya mau, sembari tangannya menarik ketapel dan melepas ke atas untuk menakuti burung pemakan padi. Napi men bakat orahang, nak makejang ajak ke kene (apa yang bisa dikatakan, semua orang merasakan hal yang sama), ucap pekak.
Di sekitar Daerah Aliran Sungai Pakerisan yang memiliki ribuan cagar budaya yang terdiri dari benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan dan juga budaya lokal yang menarik wisatawan saat ini beristirahat dari gempuran komersialisasi pariwisata, juru pelihara di situs cagar budaya bisa menikmati pekerjaannya dengan lebih santai, memperhatikan setiap detail bagian-bagian situs membersihkan dan merawatnya yang dimana sebelum pandemi mereka seperti dikejar-kejar waktu harus membersihkan dan bersih sebelum pengunjung tiba. Pemanfaatan Cagar Budaya sebagai objek pariwisata tertuang dalam undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya pasal 85 ayat 1, disebutkan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan cagar budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan pariwisata.
Dalam pemanfaatan cagar budaya sebagai pariwisata tentu berbeda dan memiliki keunikan dibandingkan wisata lainnya. Sifatnya yang rentan, rapuh, tua dan terbatas serta memiliki unsur intrinsik dari cagar budaya tersebut menjadi potensi yang menarik, dan Cagar Budaya di Bali memiliki itu semua.
Pasang surut kunjungan wisatawan menjadi memuncak di akhir tahun 2020 dengan berbagai kebijakan yang dibuat, di lain sisi ini untuk melindungi masyarakat dan menghentikan penyebaran virus korona di pulau Bali tetapi bagian lainnya banyak masyarakat menyangsikan kebijakan ini karena alasan ekonomi dan kejenuhan yang terlampau lama.
Walaupun pemerintah membatasi kegiatan berwisata, pelestarian cagar budaya terus berjalan hingga keran pariwisata dibuka normal dan Bali tetap siap menerima para pelancong yang menikmati the hidden paradise. Walaupun dalam pandemi ini memunculkan kreatifitas seperti wisata virtual tetap saja berkunjung ke tempat itu lebih menarik.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar