MUTIARA WEDA: Pedagang Takut Pesaing
Tat-pratisthetyu-pāsita, pratisthāvān bhavati, tanmana ityupāsita mānavān bhavati, Tad-brahmanah parimara ityupāsita, paryenam mriyante, dvisantah sapatnāh, Pari ye’priyāh bhrātrvyāh (Taittiriya Upanisad, III-x-4)
Biarkan dia bermeditasi pada-Nya sebagai pelindung, dia akan menjadi pelindung yang baik. Biarkan dia bermeditasi pada-Nya sebagai pikiran, dia akan menjadi pemikir yang baik. Biarkan dia bermeditasi pada-Nya sebagai aspek penghancur, semua musuh yang membenci dan rival yang tidak suka padanya, akan tewas di sekelilingnya.
Pernyataan ‘as you think so you become’ ternyata telah ditulis oleh para pendahulu kita ribuan tahun yang lalu. Orang yang tekun belajar matematika, dia akan menjadi matematikawan, dia yang tekun belajar menyanyi, dia akan menjadi penyanyi yang baik, dia yang selalu bergaul dengan pemabuk, dia juga akan menjadi pemabuk. Demikian seterusnya. Apapun yang digeluti dan dipikirkan orang setiap saat, dia akan menjadi seperti apa yang dia geluti dan pikirkan itu. Teks menyebut ini sebagai bhava, artinya pergumulan sehari-hari yang kita lakukan akan hidup dan menjadi karakter, temperamen, dan kelakuan kita. Apa yang menjadi fokus kita menurut teks adalah sebuah sadhana, sehingga ia tumbuh menjadi sebuah kekuatan.
Namun banyak orang menyangsikan pernyataan teks di atas. “Saya sudah bertahun-tahun berpikir agar kaya, lalu kenapa tetap miskin?” begitu bantahannya. Teks di atas dengan tegas menyatakan ‘as you think so you become’ adalah sadhana. Sadhana artinya upaya. Jika orang hanya ‘berpikir kaya’, tetapi tidak dijadikan sebagai sadhana, tidak ada upaya yang mengikutinya, maka ‘berpikir kaya’ itu tidak akan menjadi bhava, tidak hidup. Bagaimana mungkin orang setiap saat memikirkan tentang tajen, sementara dia tidak penah pergi ke tajen dan tidak pernah pula berhubungan dengan bebotoh, akan bisa menjadi bebotoh? ‘As you think’ artinya bukan sekadar angan-angan, tetapi bagaimana angan-angan itu memanfaatkan segenap upaya dan daya yang ada.
Kasus seperti ini kadang sulit dipahami, sebab sering orang tidak mau susah. Dia ingin hasil tetapi tidak mau bekerja.DiIa ingin hebat tetapi tidak mau belajar dan berusaha maksimal. Namun, kasus ini masih linier, masih mudah diketemukan benang merahnya. Yang susah adalah ketika kasus itu zig-zag atau tidak linier. Maksudnya begini: Jika orang ingin menjadi bebotoh sejati dan kemudian dia pergi setiap saat ke tajen, memelihara ayam aduan, selalu berdiskusi dengan para bebotoh lain, dan kemudian dia benar menjadi bebotoh sejati, maka ini adalah linier. Apa yang diinginkan lanjut dikerjakan, kemudian dia menjadi seperti yang diinginkannya, ini linier. Berbeda halnya jika ada orang yang ingin melestarikan sebuah patung sakral warisan nenek moyangnya, kemudian dia menghancurkan patung-patung lain yang dianggap mengganggu kesakralannya, inilah yang tidak linier.
Ketidaklinierannya terlihat pada pikirannya ingin melestarikan, tetapi sadhana atau upaya yang dilakukan untuk itu adalah dengan menghancurkan jenis lainnya. Teks di atas ketika menyebut ‘ia yang bermeditasi pada-Nya sebagai aspek penghancur, maka semua musuhnya akan binasa’ ini pun sangat linier. Sangat gampang dikenali, karena pikiran dan tindakannya satu jalur. Bagaimana jika pikiran dan tindakannya bertentangan? Pikirannya ingin melestarikan, tetapi tindakannya menghancurkan. Bagaimana itu? Mari kita analisa berdasarkan alur pikir teks di atas.
Pertama, yang menyebabkan bhava itu terjadi atau hidup menurut teks di atas adalah sadhananya. Artinya, tindakan itulah yang hidup, karena tindakan berdampak langsung. Kedua, tindakan menghancurkan tidak akan mungkin terjadi tanpa diawali oleh pemikiran, sebab tindakan hanyalah konsekuensi dari pemikiran. Sehingga dengan demikian, keinginan untuk melestarikan hanyalah dalih atas pikirannya yang memang memiliki niat menghancurkan. Ketiga, kalaupun dia memang benar memiliki keinginan untuk melestarikan, kemudian dia melakukan penghancuran, dan itu saja satu-satunya jalan yang dia ketahui, maka dipastikan orang ini tidak pernah belajar atau diselimuti oleh kebodohan atau kegelapan. Menyerang dan menghancurkan adalah bentuk kelemahan mental. Sama seperti pedagang takut bersaing, agar dagangannya tetap laku, upaya satu-satunya yang dia lakukan adalah melenyapkan semua pesaingnya. Dia tidak berupaya meningkatkan kualitas dagangannya. Akhirnya apa? Semua tewas di sekelilingnya. *
I Gede Suwantana
Komentar