'Jaga Independensi Desa Adat dari Politisasi'
Catatan Akhir Tahun Golkar Bali, Bergulir Revisi Perda 4/2019
Ketua DPD I Golkar Bali, Nyoman Sugawa Korry menyebut intervensi terhadap desa adat untuk kepentingan politik tampak saat pelaksanaan Pilkada 2020 lalu.
DENPASAR, NusaBali
Golkar menggulirkan perkuat posisi dan keberadaan desa adat dengan menjaga dari upaya politisasi dengan mewacanakan perubahan Perda Nomor 4 Tahun 2019 Provinsi Bali tentang Desa Adat, dalam Refleksi Akhir Tahun yang digelar di Kantor DPD I Golkar Bali, Jalan Surapati Nomor 9 Denpasar, Kamis (31/12) siang.
Refleksi Akhir Tahun Golkar Bali kemarin diikuti secara virtual sejumlah akademisi seperti Pakar Hukum Adat dari Universitas Udayana (Unud) Prof Dr Wayan Windia SH MSi (bidang sosial, adat dan budaya), Dr I Dewa Gede Palguna SH MHum (bidang hukum), Dr Drs I Gusti Putu Bagus Arjawa MSi (bidang politik) dan Prof Dr I Wayan Ramantha SE MM Ak (bidang ekonomi) hingga perwakilan Majelis Desa Adat Kabupaten Klungkung I Ketua Janapria.
Refleksi Akhir Tahun yang dipandu Wakil Ketua Bappilu Golkar Bali, Komang Suarsana dibahas berbagai masalah dengan para narasumber sesuai bidangnya, hingga ada pencetusan revisi Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat.
Revisi atau perubahan yang digulirkan Golkar Bali terhadap Perda Nomor 4/2019 dalam refleksi muncul karena selama ini keberadaan Desa Adat masih ada diintervensi kekuatan politik dan mengalami politisasi. Ketua DPD I Golkar Bali, Nyoman Sugawa Korry menyebutkan intervensi terhadap desa adat untuk kepentingan terjadi mencolok saat pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember 2020 lalu. "Perlu adanya revisi Perda Nomor 4 Tahun 2019 untuk mencegah desa adat diintervensi kekuatan dan kepentingan politik," ujar Sugawa Korry.
Atas kondisi tersebut pakar hukum adat dan pengamat sosial budaya, Prof Wayan Windia mengatakan tidak perlu ada revisi terhadap Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Kata Prof Windia hanya perlu membuat turunan-turunan dari Perda Nomor 4 Tahun 2019 yang tujuannya mengatur secara lebih detail.
"Saya berpendapat revisi yang diusulkan Partai Golkar belum perlu. Yang diperlukan adalah segera menuntaskan turunan peraturan-peraturan dari Perda Nomor 4 Tahun 2019. Kami sudah menghitungnya dengan Majelis Desa Adat Bali. Diketemukan ada 16 peraturan turunan yang harus ada, sehingga Perda Nomor 4 Tahun 2019 bisa dilaksanakan lebih baik. Saya kira Golkar bisa masuk melalui pembahasan turunan Perda Nomor 4 Tahun 2019," saran Prof Windia.
Contohnya, menurut Prof Windia seperti pedoman penyusunan awig-awig, pedoman pembentukan paiketan-paiketan dan lain sebagainya. "Sehingga apa yang dikhawatirkan Partai Golkar bisa diantisipasi, terutama masalah politisasi Desa Adat," ujar Prof Windia.
Selain itu kata Prof Windia perlu dibuat keseimbangan soal Bali Mawecara dan Desa Mawecara dari masing-masing Desa Adat. Salah satu asas Perda Nomor 4 Tahun 2019 adalah soal Bali Mawecara, di mana adanya satu kesatuan aturan yang berlaku untuk seluruh Bali untuk satu bidang tertentu yang ada hubungannya dengan Desa Adat, yang mungkin disatukan. "Terhadap yang tidak mungkin disatukan kita hormati Desa Mawecara, dengan menghormati Desa Adat dengan kekhasan masing-masing. Keseimbangan Bali Mawecara dan Desa Mawecara inilah belum jelas. Kalau ingin menyumbang pemikiran dan tenaga inilah dipikirkan oleh Partai Golkar," ujar Prof Windia.
Penjelasan Prof Windia tersebut membuat Sugawa Korry langsung mencabut ide revisi Perda Nomor 4 Tahun 2019 tersebut. "Kalau begitu, saya cabut usulan revisi ini, dan nanti Prof Windia kita akan libatkan dalam kajian khusus tentang perubahan Perda Desa Adat ini," ujar Wakil Ketua DPRD Bali ini.
Tetapi, sikap Sugawa Korry ini langsung di sela oleh Dewa Palguna yang sebelumnya sudah banyak berbicara banyak hal soal hukum, perundang-undangan, pesta demokrasi di tengah Pandemi Covid-19. "Ini agak kecewa saja saya dengan Ketua DPD I Golkar Bali (Sugawa Korry). Saya baru mau mendukung revisi Perda Nomor 4 Tahun 2019, sudah dicabut usulannya," ujar pendekar hukum yang mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ini disambut tertawa peserta dialog.
Dewa Palguna menyebutkan dirinya bukan bermaksud menolak pendapat Prof Windia soal tidak perlunya revisi Perda Desa Adat. "Kata Prof Windia itu betul, ada yang perlu disempurnakan terhadap Perda Desa Adat. Namun ada hal fundamental kenapa saya mendukung revisi Perda Desa Adat, di mana ada hal yang bertentangan dalam konsideran menimbang dan mengingat di dalam Perda ini," beber Palguna.
Menurut Palguna, dalam menimbangnya jelas disebutkan bahwa Desa Adat itu adalah kesatuan masyarakat hukum adat. Tetapi dalam bagian menimbangnya pasal 18b yang mengakui dan menyebut negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat tidak disebutkan sebagai dasar hukum. Tetapi justru dalam pasal 18 ayat (6) yang menyebut kewenangan daerah yang dijadikan dasar hukum. Mestinya dua-duanya masuk," beber Palguna.
Yang lainnya kata Dewa Palguna harus ada penegasan dalam Perda Desa Adat bahwa Perda sifatnya mengakomodir apa yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Bukan mengatur atau mensubordinatkan Desa Adat. Dibeberkan Palguna, Perda Desa Adat adalah perubahan dari Perda Desa Pakraman. Tetapi definisi hukum pasal 1 pada Perda Desa Adat,tidak ada menyebutkan perubahan dari Desa Pakraman. "Ini fundamental, karena Perda Desa Adat ini Perda Perubahan. Kenapa Desa Pakraman tidak disebutkan?" tanya Palguna.
Sementara Ketua DPD I Golkar Bali, Nyoman Sugawa Korry dalam pernyataan penutup mengatakan telah terjadi eksploitasi desa adat dalam kepentingan politik. "Karena Desa Adat ini ujung tombak adat budaya dan Agama Hindu maka harus diselamatkan. Maka harus ada point pasal yang mengatur independensi Desa Adat. Kami akan membentuk tim kecil mengkaji, apakah itu bentuknya revisi atau perubahan sesuai usulan Pak Dewa Palguna. Nanti kita akan buat kajian dan libatkan pakar hukum Pak Dewa Palguna dan pakar hukum adat Prof Windia disini," ujar Sugawa Korry. *nat
Refleksi Akhir Tahun Golkar Bali kemarin diikuti secara virtual sejumlah akademisi seperti Pakar Hukum Adat dari Universitas Udayana (Unud) Prof Dr Wayan Windia SH MSi (bidang sosial, adat dan budaya), Dr I Dewa Gede Palguna SH MHum (bidang hukum), Dr Drs I Gusti Putu Bagus Arjawa MSi (bidang politik) dan Prof Dr I Wayan Ramantha SE MM Ak (bidang ekonomi) hingga perwakilan Majelis Desa Adat Kabupaten Klungkung I Ketua Janapria.
Refleksi Akhir Tahun yang dipandu Wakil Ketua Bappilu Golkar Bali, Komang Suarsana dibahas berbagai masalah dengan para narasumber sesuai bidangnya, hingga ada pencetusan revisi Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat.
Revisi atau perubahan yang digulirkan Golkar Bali terhadap Perda Nomor 4/2019 dalam refleksi muncul karena selama ini keberadaan Desa Adat masih ada diintervensi kekuatan politik dan mengalami politisasi. Ketua DPD I Golkar Bali, Nyoman Sugawa Korry menyebutkan intervensi terhadap desa adat untuk kepentingan terjadi mencolok saat pelaksanaan Pilkada serentak 9 Desember 2020 lalu. "Perlu adanya revisi Perda Nomor 4 Tahun 2019 untuk mencegah desa adat diintervensi kekuatan dan kepentingan politik," ujar Sugawa Korry.
Atas kondisi tersebut pakar hukum adat dan pengamat sosial budaya, Prof Wayan Windia mengatakan tidak perlu ada revisi terhadap Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat. Kata Prof Windia hanya perlu membuat turunan-turunan dari Perda Nomor 4 Tahun 2019 yang tujuannya mengatur secara lebih detail.
"Saya berpendapat revisi yang diusulkan Partai Golkar belum perlu. Yang diperlukan adalah segera menuntaskan turunan peraturan-peraturan dari Perda Nomor 4 Tahun 2019. Kami sudah menghitungnya dengan Majelis Desa Adat Bali. Diketemukan ada 16 peraturan turunan yang harus ada, sehingga Perda Nomor 4 Tahun 2019 bisa dilaksanakan lebih baik. Saya kira Golkar bisa masuk melalui pembahasan turunan Perda Nomor 4 Tahun 2019," saran Prof Windia.
Contohnya, menurut Prof Windia seperti pedoman penyusunan awig-awig, pedoman pembentukan paiketan-paiketan dan lain sebagainya. "Sehingga apa yang dikhawatirkan Partai Golkar bisa diantisipasi, terutama masalah politisasi Desa Adat," ujar Prof Windia.
Selain itu kata Prof Windia perlu dibuat keseimbangan soal Bali Mawecara dan Desa Mawecara dari masing-masing Desa Adat. Salah satu asas Perda Nomor 4 Tahun 2019 adalah soal Bali Mawecara, di mana adanya satu kesatuan aturan yang berlaku untuk seluruh Bali untuk satu bidang tertentu yang ada hubungannya dengan Desa Adat, yang mungkin disatukan. "Terhadap yang tidak mungkin disatukan kita hormati Desa Mawecara, dengan menghormati Desa Adat dengan kekhasan masing-masing. Keseimbangan Bali Mawecara dan Desa Mawecara inilah belum jelas. Kalau ingin menyumbang pemikiran dan tenaga inilah dipikirkan oleh Partai Golkar," ujar Prof Windia.
Penjelasan Prof Windia tersebut membuat Sugawa Korry langsung mencabut ide revisi Perda Nomor 4 Tahun 2019 tersebut. "Kalau begitu, saya cabut usulan revisi ini, dan nanti Prof Windia kita akan libatkan dalam kajian khusus tentang perubahan Perda Desa Adat ini," ujar Wakil Ketua DPRD Bali ini.
Tetapi, sikap Sugawa Korry ini langsung di sela oleh Dewa Palguna yang sebelumnya sudah banyak berbicara banyak hal soal hukum, perundang-undangan, pesta demokrasi di tengah Pandemi Covid-19. "Ini agak kecewa saja saya dengan Ketua DPD I Golkar Bali (Sugawa Korry). Saya baru mau mendukung revisi Perda Nomor 4 Tahun 2019, sudah dicabut usulannya," ujar pendekar hukum yang mantan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ini disambut tertawa peserta dialog.
Dewa Palguna menyebutkan dirinya bukan bermaksud menolak pendapat Prof Windia soal tidak perlunya revisi Perda Desa Adat. "Kata Prof Windia itu betul, ada yang perlu disempurnakan terhadap Perda Desa Adat. Namun ada hal fundamental kenapa saya mendukung revisi Perda Desa Adat, di mana ada hal yang bertentangan dalam konsideran menimbang dan mengingat di dalam Perda ini," beber Palguna.
Menurut Palguna, dalam menimbangnya jelas disebutkan bahwa Desa Adat itu adalah kesatuan masyarakat hukum adat. Tetapi dalam bagian menimbangnya pasal 18b yang mengakui dan menyebut negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat tidak disebutkan sebagai dasar hukum. Tetapi justru dalam pasal 18 ayat (6) yang menyebut kewenangan daerah yang dijadikan dasar hukum. Mestinya dua-duanya masuk," beber Palguna.
Yang lainnya kata Dewa Palguna harus ada penegasan dalam Perda Desa Adat bahwa Perda sifatnya mengakomodir apa yang diatur dalam Undang-Undang Dasar. Bukan mengatur atau mensubordinatkan Desa Adat. Dibeberkan Palguna, Perda Desa Adat adalah perubahan dari Perda Desa Pakraman. Tetapi definisi hukum pasal 1 pada Perda Desa Adat,tidak ada menyebutkan perubahan dari Desa Pakraman. "Ini fundamental, karena Perda Desa Adat ini Perda Perubahan. Kenapa Desa Pakraman tidak disebutkan?" tanya Palguna.
Sementara Ketua DPD I Golkar Bali, Nyoman Sugawa Korry dalam pernyataan penutup mengatakan telah terjadi eksploitasi desa adat dalam kepentingan politik. "Karena Desa Adat ini ujung tombak adat budaya dan Agama Hindu maka harus diselamatkan. Maka harus ada point pasal yang mengatur independensi Desa Adat. Kami akan membentuk tim kecil mengkaji, apakah itu bentuknya revisi atau perubahan sesuai usulan Pak Dewa Palguna. Nanti kita akan buat kajian dan libatkan pakar hukum Pak Dewa Palguna dan pakar hukum adat Prof Windia disini," ujar Sugawa Korry. *nat
1
Komentar