Keluh Kesah Perajin Dream Catcher di Pasar Kumbasari
DENPASAR, NusaBali
Semua perajin dan penjual pernak-pernik di Pasar Kumbasari Denpasar terdampak pandemi Covid-19.
Hal ini mengakibatkan omset penjualan mereka anjlok. Salah satu perajin yang terdampak, yakni Amrita, 48, seorang perajin dream catcher (penangkap mimpi). Dream catcher merupakan akseseris yang biasanya untuk hiasan dinding. Untuk sebagian orang dipercaya sebagai penangkap mimpi.
Ditemui di tokonya yang terletak di lantai III Pasar Kumbasari, Jumat (1/1), Amrita tengah asyik melilitkan benang putih pada sebuah lingkaran. Sementara di tokonya penuh dengan dream catcher yang digantung rapi. Amrita mengaku, walaupun jarang ada pembeli yang datang sejak pandemi, namun dirinya tetap melakukan produksi.
Amrita menceritakan terkait kesulitan yang dialaminya saat pandemi Covid-19. Sebelum pandemi dalam sehari dirinya mengaku mampu meraup omset hingga Rp 2 juta. Akan tetapi saat pandemi, semuanya rontok. Bahkan dalam lima hari belakangan tak ada satupun yang datang untuk membeli kerajinannya itu.
“Ya buat-buat saja, ini saya pakai stok aja. Ini kan biasanya dibeli oleh wisatawan karena dipercaya bisa digunakan untuk menangkap mimpi. Tapi karena sekarang wisatawan sepi ya tidak bisa ngomong apa,” kata lelaki yang sudah 5 tahun berjualan dream catcher di Pasar Kumbasari ini. Untuk harga dari dream catcher ini pun bervariasi mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 200.000. Harga ini tergantung pada bahan dan modelnya. Sementara model yang paling banyak dicari, yakni model rajutan. Untuk bahannya sendiri berupa bulu ayam yang didatangkan dari Jawa.
Dia menuturkan telah memulai kerajinan dream catcher ini sejak 20 tahun lalu. Dalam sehari biasanya dia bisa membuat 1 dream catcher dengan model rajutan. Dengan kondisi saat ini, Amrita pun berharap pandemi Covid-19 segera berakhir. “Sudah dari 20 tahun lalu, dulu sempat jualan di Kuta sebelum ke sini,” kata lelaki yang tinggal di Tuban, Badung ini. *mis
Ditemui di tokonya yang terletak di lantai III Pasar Kumbasari, Jumat (1/1), Amrita tengah asyik melilitkan benang putih pada sebuah lingkaran. Sementara di tokonya penuh dengan dream catcher yang digantung rapi. Amrita mengaku, walaupun jarang ada pembeli yang datang sejak pandemi, namun dirinya tetap melakukan produksi.
Amrita menceritakan terkait kesulitan yang dialaminya saat pandemi Covid-19. Sebelum pandemi dalam sehari dirinya mengaku mampu meraup omset hingga Rp 2 juta. Akan tetapi saat pandemi, semuanya rontok. Bahkan dalam lima hari belakangan tak ada satupun yang datang untuk membeli kerajinannya itu.
“Ya buat-buat saja, ini saya pakai stok aja. Ini kan biasanya dibeli oleh wisatawan karena dipercaya bisa digunakan untuk menangkap mimpi. Tapi karena sekarang wisatawan sepi ya tidak bisa ngomong apa,” kata lelaki yang sudah 5 tahun berjualan dream catcher di Pasar Kumbasari ini. Untuk harga dari dream catcher ini pun bervariasi mulai dari Rp 10.000 hingga Rp 200.000. Harga ini tergantung pada bahan dan modelnya. Sementara model yang paling banyak dicari, yakni model rajutan. Untuk bahannya sendiri berupa bulu ayam yang didatangkan dari Jawa.
Dia menuturkan telah memulai kerajinan dream catcher ini sejak 20 tahun lalu. Dalam sehari biasanya dia bisa membuat 1 dream catcher dengan model rajutan. Dengan kondisi saat ini, Amrita pun berharap pandemi Covid-19 segera berakhir. “Sudah dari 20 tahun lalu, dulu sempat jualan di Kuta sebelum ke sini,” kata lelaki yang tinggal di Tuban, Badung ini. *mis
Komentar