MUTIARA WEDA: Yadnya, Mungkinkah?
Sraddhayā deyam asraddhayā-deyam, Sriyā deyam hriyā deyam bhiyā deyam, samvidā deyam. (Taittiriya Upanisad, I-xi-5)
Pemberian mesti diberikan dengan keyakinan; pemberian hendaknya jangan diberikan tanpa keyakinan; pemberian harus diberikan dalam jumlah banyak, dengan penuh kerendahan hati dan simpati. Juga berikan dengan rasa pertemanan.
Atas keyakinan apa hadiah itu diberikan? Mengapa hadiah diberikan dalam jumlah banyak? Apakah yang sedikit tidak disebut pemberian? Apa hubungannya antara memberi hadiah dengan rendah hati dan simpati? Bagaimana mungkin antara pemberi hadiah dan penerima hadiah berada dalam kesamaan opini atau seperti halnya pertemanan? Apakah tidak dengan kriteria tersebut kita tidak bisa disebut memberi padahal barang yang dijadikan hadiah sudah diberikan? Bagaimana jika hadiah diberikan dengan syarat? Bukankah setiap pemberian di dunia ini bersyarat? Seperti misalnya para politisi, bukankah hibah bisa diberikan kepada mereka yang akan memilihnya dalam pemilihan? Seperti misalnya para bhakta Tuhan, bukankah persembahan yang dipersembahkan bertujuan untuk memohon keselamatan dan yang sejenisnya? Seperti misalnya masyarakat, bukankah mereka rajin ngayah atau membantu orang yang punya kegiatan oleh karena nantinya ingin dibantu saat melaksanakan kegiatan yang sejenis?
Pemberian mesti diberikan sesuai dengan syarat sebagaimana dinyatakan teks di atas, sementara pemberian yang diberikan oleh manusia memiliki persyaratan lain. Tidakkah teks di atas terlalu muluk-muluk atau manusia umumnya tidak memahami inti dari proses memberikan pemberian? Antara teks dan konteks sepertinya saling adu belakang, tidak saling menyapa. Orang yang tidak pernah mengetahui kriteria di atas secara alami memiliki pemahaman bahwa memberi adalah kontrak sosial, kontrak politik. Demikian juga orang yang sudah bolak-balik membaca dan menghayati teks di atas akan secara natural melakukannya sebagai sebuah kontrak, tidak lebih, entahkah itu kepada alam, sesama maupun kehadapan Realitas Sejati.
Jika memang manusia secara umum memiliki pemahaman atau melakukannya seperti itu, lalu darimana inspirasi itu muncul? Bagaimana teks di atas bisa ditulis? Dipelajari atau tidak, manusia akan tetap memperlakukan itu sebagai kontark politik atau kontrak sosial. Tendensi pikiran manusia memang demikian. Sepertinya, inspirasi itu tidak muncul dari pengalaman manusia, melainkan pengalaman semua yang ada di dunia ini selain manusia. Seperti misalnya pohon kelapa tumbuh dan berbuah. Untuk siapa dia berbuah? Semua buahnya diberikan kepada siapapun yang membutuhkannya. Untuk siapakah madu yang dihasilkan lebah? Untuk siapakah padi yang menumbuhkan dirinya? Untuk siapakah matahari bersinar? Untuk siapakah hujan turun dari langit? Untuk siapakah keindahan alam ini diciptakan? Adakah pemberiaan itu diberikan dalam rangka kontrak politik atau kontrak sosial? Tentu tidak. Mengapa? Karena hanya manusia yang punya kontrak, sementara yang lainnya tidak.
Memang benar demikian, tetapi teks di atas ingin mengingatkan kita bahwa manusia adalah salah satu bagian dari seluruh ciptaan. Jika ada miliaran spesies makhluk hidup, manusia hanyalah salah satunya saja. Jika seandainya manusia tidak hadir, tidak akan terjadi apa-apa dengan dunia, semua spesies itu akan hidup. Jadi, keberadaan kita tidaklah terlalu penting bagi eksitensi semesta. Sehingga dengan demikian, bukankah lebih baik kalau kita mengikuti proses alam. Bukankah kita lebih baik kalau seandainya memberi sesuatu itu seperti halnya pohon kelapa? Memberi dengan penuh keyakinan, memberi dalam jumlah yang banyak dan bahkan seluruh yang dimilikinya untuk kepentingan orang lain.
Menurut teks di atas, mengikuti pola alam adalah yang terbaik. Ini disebut yadnya. Namun, tidak bisa menurut pikiran manusia. Manusia selalu menimbang untung dan rugi. Jika saya memberi sesuatu kepada tetangga, lalu mereka akan memberi apa kepada kita? Begitu selalu pertimbangannya. Jika kira-kira tidak menguntungkan, buat apa susah-susah? Pikiran akan selalu begitu dan begitu, baik yang tidak tahu ajaran ini maupun yang mengetahuinya. Lalu, mengapa menjadi hal serius sehingga perlu diperingatkan oleh teks diatas? Jawabannya: jika salah satu bagian dari web kehidupan ini berbeda, maka semua bagiannya akan kena dampaknya. Seperti orang sedang sakit gigi, tidak giginya saja yang bertugas merasakan sakit, melainkan seluruh sistem tubuh merasakannya. Sepertinya benar orang berkata: “dimana tempat tidak ada yadnya, disana akan tertimpa malapetaka”. *
I Gede Suwantana
1
Komentar