Kadek Wahyudita, Menggali Akar Kebudayaan, Menggagas Aktivitas Kreatif
DENPASAR, NusaBali
Berdiri pada 2010 atas prakarsa Anak Agung Gede Ngurah Kusumawardana, Rumah Budaya Penggak Men Mersi merupakan rumah budaya yang memberi ruang berekspresi bagi anak-anak dan remaja dalam berbagai bentuk seni pertunjukan, dialog, serta aktivitas kreatif lainya. Adapun, Yayasan Penggak Men Mersi ini diketuai oleh Kadek Wahyudita.
Kadek Wahyudita, merupakan seorang pekerja seni yang memiliki basic seorang event organizer. Namun, terlahir di tengah keluarga yang masih kental akan tradisi membuatnya juga tidak lepas dari seni dan budaya Bali. Dirinya mengaku, meski berbasis event organizer, dirinya memiliki tanggung jawab kelahiran sebagai orang Bali. Inilah yang membuatnya kemudian terjun dalam dunia seni dan budaya.
“Manusia Bali sudah diberikan sesana, sudah diberikan satu warisan kebudayaan. Itu yang membuat tiyang tertarik. Karena apa, tiyang lahir dalam kultural masyarakat yang tradisinya itu masih kental. Jadi, tiyang tidak menyalahkan teknologi, justru dengan teknologi ini kalau kita benar membuat sebuah rumusan, teknologi ini menjadi alat untuk memperkuat keberadaan tradisi,” ungkapnya pada NusaBali, Sabtu (2/1).
Bersama Anak Agung Gede Ngurah Kusumawardana, Kadek Wahyudita kemudian memformulasikan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di Penggak Men Mersi. Diskusi dua tokoh budayawan ini merujuk kembali pada asal mula penggak, yang pada zaman dahulu merupakan sebuah tempat berkumpul yang ada di desa-desa, baik untuk mengobrol hingga kegiatan masyarakat lainnya.
“Dari obrolan-obrolan penggak ini, acap kali menjadi satua atau obrolan yang melahirkan ide-ide baru, yang selanjutnya di tingkat formal itu ke forum banjar. Nah lambat laun penggak ini mulai hilang dengan bertransformasinya kehidupan sosial masyarakat. Berselang waktu, munculah siskamling menggantikan penggak ini,” tutur putra pasangan I Wayan Kasim (alm) dan Ni Made Sulatri ini.
Spirit dari penggak yang bersifat sangat informal inilah, yang berusaha diwujudkan kembali melalui Penggak Men Mersi oleh Anak Agung Gede Ngurah Kusumawardana bersama Kadek Wahyudita. Nama Penggak sendiri kemudian memiliki makna tersendiri, dengan kepanjangannya Penggalian Akar Kebudayaan dan Penggagas Aktivitas Kreatif.
Berkecimpungnya Kadek Wahyudita dalam dunia seni tidak hanya melalui Penggak Men Mersi. Dirinya merupakan seorang yang pandai bermain gamelan Bali, dan merupakan seorang alumnus Institut Seni Indonesia Denpasar Program Seni Karawitan. Namun, ia mengungkapkan, dirinya memang lebih berfokus untuk berada di bidang manajemen seni untuk mewadahi sanggar-sanggar seni yang ada.
“Saya berpikir begini, di banjar saya sudah ada sanggar, ngapain lagi saya bikin sanggar. Di Penggak juga sudah ada grup. Lebih baik saya membantu sanggar-sanggar yang memang butuh sesuatu,” lanjut pegiat seni kelahiran Denpasar, 22 Mei 1984 ini.
Selain sebagai Ketua Yayasan Penggak Men Mersi, pria asal Kesiman ini juga akhir sebagai tim kreatif berbagai event budaya yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun swasta. Dirinya merupakan founder dari Rare Bali Festival sejak 2014 hingga sekarang. Juga, ia merupakan konseptor dan event management dari Kesiman Progressive Festival.
Sejak tahun 2018, dirinya juga aktif sebagai tim kreatif Pesta Kesenian Bali (PKB) hingga sekarang. Selain PKB, ia juga merupakan bagian dari tim kreatif Denpasar Festival 2018, dan Festival Seni Bali Jani 2019.
Tak ketinggalan, dirinya di tahun 2020 menggagas PARASARA (Pekan Generasi Sadar Aksara). Ajang yang digelar dalam mendukung Bulan Bahasa Bali pada Februari lalu ini terdiri dari lomba-lomba dan diskusi, seperti Lomba Satua Bali Banyol, hingga menghadirkan maestro dongeng Made Taro dalam aguron-guron (workshop) yang mendiskusikan bagaimana mengajarkan bahasa, aksara, dan sastra Bali ke generasi berikutnya dengan cara yang sederhana.*cr74
“Manusia Bali sudah diberikan sesana, sudah diberikan satu warisan kebudayaan. Itu yang membuat tiyang tertarik. Karena apa, tiyang lahir dalam kultural masyarakat yang tradisinya itu masih kental. Jadi, tiyang tidak menyalahkan teknologi, justru dengan teknologi ini kalau kita benar membuat sebuah rumusan, teknologi ini menjadi alat untuk memperkuat keberadaan tradisi,” ungkapnya pada NusaBali, Sabtu (2/1).
Bersama Anak Agung Gede Ngurah Kusumawardana, Kadek Wahyudita kemudian memformulasikan kegiatan-kegiatan yang berlangsung di Penggak Men Mersi. Diskusi dua tokoh budayawan ini merujuk kembali pada asal mula penggak, yang pada zaman dahulu merupakan sebuah tempat berkumpul yang ada di desa-desa, baik untuk mengobrol hingga kegiatan masyarakat lainnya.
“Dari obrolan-obrolan penggak ini, acap kali menjadi satua atau obrolan yang melahirkan ide-ide baru, yang selanjutnya di tingkat formal itu ke forum banjar. Nah lambat laun penggak ini mulai hilang dengan bertransformasinya kehidupan sosial masyarakat. Berselang waktu, munculah siskamling menggantikan penggak ini,” tutur putra pasangan I Wayan Kasim (alm) dan Ni Made Sulatri ini.
Spirit dari penggak yang bersifat sangat informal inilah, yang berusaha diwujudkan kembali melalui Penggak Men Mersi oleh Anak Agung Gede Ngurah Kusumawardana bersama Kadek Wahyudita. Nama Penggak sendiri kemudian memiliki makna tersendiri, dengan kepanjangannya Penggalian Akar Kebudayaan dan Penggagas Aktivitas Kreatif.
Berkecimpungnya Kadek Wahyudita dalam dunia seni tidak hanya melalui Penggak Men Mersi. Dirinya merupakan seorang yang pandai bermain gamelan Bali, dan merupakan seorang alumnus Institut Seni Indonesia Denpasar Program Seni Karawitan. Namun, ia mengungkapkan, dirinya memang lebih berfokus untuk berada di bidang manajemen seni untuk mewadahi sanggar-sanggar seni yang ada.
“Saya berpikir begini, di banjar saya sudah ada sanggar, ngapain lagi saya bikin sanggar. Di Penggak juga sudah ada grup. Lebih baik saya membantu sanggar-sanggar yang memang butuh sesuatu,” lanjut pegiat seni kelahiran Denpasar, 22 Mei 1984 ini.
Selain sebagai Ketua Yayasan Penggak Men Mersi, pria asal Kesiman ini juga akhir sebagai tim kreatif berbagai event budaya yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah maupun swasta. Dirinya merupakan founder dari Rare Bali Festival sejak 2014 hingga sekarang. Juga, ia merupakan konseptor dan event management dari Kesiman Progressive Festival.
Sejak tahun 2018, dirinya juga aktif sebagai tim kreatif Pesta Kesenian Bali (PKB) hingga sekarang. Selain PKB, ia juga merupakan bagian dari tim kreatif Denpasar Festival 2018, dan Festival Seni Bali Jani 2019.
Tak ketinggalan, dirinya di tahun 2020 menggagas PARASARA (Pekan Generasi Sadar Aksara). Ajang yang digelar dalam mendukung Bulan Bahasa Bali pada Februari lalu ini terdiri dari lomba-lomba dan diskusi, seperti Lomba Satua Bali Banyol, hingga menghadirkan maestro dongeng Made Taro dalam aguron-guron (workshop) yang mendiskusikan bagaimana mengajarkan bahasa, aksara, dan sastra Bali ke generasi berikutnya dengan cara yang sederhana.*cr74
1
Komentar