MUTIARA WEDA: Keindahan Siwaratri
Wruh ngwang nisphala ning mango jenek alanglang I kalangen ikang pasir wukir. (Siwaratri Kalpa)
Percuma saja menikmati keindahan jika saat bepergian hanya terpesona pada gunung pasir.
Makna simbolik perayaan Siwaratri sebagaimana tertuang di dalam teks Siwaratri kalpa telah banyak diulas. Sebagian besar ulasan sepakat bahwa Lubdaka adalah representasi dari diri kita sendiri sebagai seorang sadhaka (tekun dalam olah spiritual). Perjalanan berburu, bermalam di hutan dan semua aktivitasnya adalah proses sadhana. Tidak berbekal dan kemudian tidak mendapat binatang buruan ketika kembali adalah makna kelahiran seseorang, saat lahir tidak membawa apa-apa, dan saat kembali juga tidak membawa apa-apa. Makna lainnya adalah sadhana yang dilakukan sukses melenyapkan semua sifat kebinatangan yang ada pada diri, sehingga ketika pulang ke Sangkan Paran tidak lagi membawa sifat-sifat itu. Saat meninggal akhirnya dijemput untuk menuju Siwaloka. Perdebatan sengit antara utusan Siwaloka dan utusan penguasa Neraka adalah simbol perdebatan abadi antara etika deontologis dan etika konsekuensialis.
Pesan simbolik itu digali oleh karena Mpu Tanakung mengindikasikannya sebagaimana teks di atas. “Apalah artinya keindahan dari gunung yang terbuat dari pasir” – keindahannya bersifat sementara, sebab segera gunung itu roboh ketika ketiup angin atau terpapar hujan atau tergerus ombak. Dengan kata lain “apalah artinya kita menikmati keindahan kata-kata dan alur cerita Lubdaka jika tidak menikmati makna simbolik yang hendak disampaikan oleh Mpu Tanakung”. Menemukan keindahan di balik keindahan cerita Lubdaka adalah pesan Mpu Tanakung. Apa keindahan di balik keindahan itu? Pertama, tentu makna simbolik sebagaimana yang sudah banyak diulas. Kedua, melakoni seperti apa yang ada pada makna simbolik itu adalah keindahan di balik keindahan berikutnya. Menjadi seorang sadhaka adalah keindahan yang lebih tinggi. Jika keindahan dalam mengerjakan sadhana ditemukan, maka ketiga, keindahan berada dalam kesadaran Siwa adalah konsekuensinya. Mungkin ini yang dimaksudkan dengan sundaram, keindahan tertinggi.
Jadi, keindahan kalimat dan cerita Lubdaka adalah keindahan permukaan. Keindahan yang lebih padat ada pada makna dari cerita tersebut. Keindahan yang lebih tinggi lagi adalah ketika makna tersebut menjadi pegangan dalam olah laku atau sadhana spiritual. Kemudian, ia akan menjadi keindahan tertinggi (sundaram) hanya ketika Sang Diri merealisasikan dirinya atau menyadari dirinya sebagai Siwa dan berada sepenuhnya dalam kesadaran Siwa. Idealnya meta-narasi Siwaratri seperti itu. Uniknya, meta-narasi cerita Lubdaka ini memunculkan keindahan lain ketika dijadikan pedoman perayaan Hari Raya Siwaratri. Saat meta-narasi tersebut teraplikasi ke dalam acara agama, masyarakat pun mengantongi keindahannya di luar keindahan di atas. Asumsi atas perayaan tersebut memunculkan keindahan sendiri, dan keindahan itulah yang secara umum masyarakat nikmati.
Seperti apa keindahan tersebut? Pertama, Siwaratri sebagai malam pemujaan Dewa Siwa. Mereka yakin bahwa memuja Dewa Siwa pada malam ini akan mendapat anugerah dari-Nya. Kedua, malam penebusan dosa melalui prinsip ‘jagra’-nya. Mereka kemudian tidak tidur semalam suntuk supaya dosa-dosanya terhapuskan. Agar tetap terjaga, berbagai kegiatan dilakukan seperti menonton hiburan, main ceki, diskusi, dan yang lainnya. Ketiga, malam perenungan dosa melalui berbagai kegiatan upawasa seperti monobrata, puasa makan, dan jagra selama 36 jam. Keempat, tidak sedikti juga mereka yang agnostic. Mereka ikut merayakan hanya sekedar ikut-ikutan, tidak enak sama teman. Dalam rangka menjaga hubungan sosial, mereka ikut nimbrung merayakan sebagaimana orang lain laksanakan. Namun, mereka tidak benar-benar ingin masuk ke dalamnya. Ada tidaknya anugerah Siwa tidak menjadi concern-nya. Ada tidaknya makna di balik cerita Lubdaka tidak membuat dirinya berubah.
Kelima, keindahan yang paling unik dalam perayaan Siwaratri mungkin adalah beberapa dari mereka merasakan dirinya benar-benar mendampingi Siwa melakukan Samadhi. Mereka menjadi perantara antara masyarakat dan Dewa Siwa. Pesan-pesan penting dari Dewa Siwa disampaikan melalui diri mereka. Sebagai pendamping Siwa, tidak sedikit pula mereka menggunakan atribut sebagaimana gambaran Dewa Siwa itu sendiri. Ini adalah keindahan yang benar-benar unik. Jika melihat teks di atas, apakah Mpu Tanakung memasukkan jenis keindahan ini disamping keindahan meta-narasi di atas?
I Gede Suwantana
1
Komentar