Air Mengalir di Areal Pura, Ada Persimpangan Segara Batu Bolong
Sisi Unik dari Pura Kereban Langit di Desa Adat Sading, Kecamatan Mengwi, Badung
Piodalan di Pura Kereban Langit dilaksanakan 6 builan sekali pada Buda Cemeng Ukir. Biaya piodalan sepenuhnya dari pangempon Pura Kereban Langit yang berjumlah hanya 8 KK
MANGUPURA, NusaBali
Banyak sisi keunikan dari Pura Kereban Langit di Desa Adat Sading, Kecamatan Mengwi, Badung. Selain puranya berada di dalam goa berlubang bagian atas hingga disebut Pura Kereban Langit (beratapkan langit), di areal ini juga terdapat sumber air yang mengalir sepanjang masa. Bukan hanya itu, di Pura Kereban Langit juga ada persimpangan Segara Batu Bolong.
Air yang mengalir di Pura Kereban Langit ini datang dari dalam goa. Menurut Pamangku Pura Kereban Langit, Jro Mangku I Ketut Witera SSos, sumber air di goa ini berupa kelebutan. “Debit airnya konstan sepanjang masa, baik musim hujan maupun kemarau juga. Air kelebutan juga tidak terpengaruh oleh banjir ataupun situasi yang lain,” jelas Jro Mangku Witera saat ditemui NusaBali di Pura Kereban Langit, Minggu (10/1) siang.
Jro Mangku Witera sendiri mengaku tidak tahu secara pasti dari mana sumber air itu berasal. Yang jelas, sejak kecil dia sudah mendapati ada air yang mengalir secara alami dari goa di Pura Kereban Langit ini.
“Jadi, pamedek yang tangkil ke sini bisa mendapatkan tirta yang bersumber dari air ini. Sejak saya kecil sudah seperti itu,” terang pamangku yang notabene mantan Bendesa Adat Sading periode 2013-2018 ini.
Selain keberadaan sumber air kelebutan, menurut Jro Mangku Witera, sejak awal di Pura Kereban Langit ini ada persimpangan Segara Batu Bolong. Berdasarkan kepercayaan masyarakat Desa Sading, persimpangan tersebut merupakan perpanjangan dari Pantai Batu Bolong di Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Karenanya, saat upacara melasti, Desa Adat Sading cukup nunas tirta di persim-pangan Segara Batu Bolong yang ada di Pura Kereban Langit ini.
“Kepercayaan masyarakat Desa Sading, ini dianggap perpanjangan dari Pantai Batu Bolong. Makanya, setiap tahun saat melasti Ida Bhatara sami, cukup sampai di sini. Bukannya krama Desa Sading tidak mampu melasti ke Segara Batu Bolong, tapi ini tradisi yang tidak bisa kita putus dan lupakan,” tandas Jro Mangku Witera.
Sementara, di dalam Pura Kereban Langit terdapat banyak arca (patung). Di antaranya, Arca Dwaraphala (9 buah), Arca Perwujudan Leluhur (10 buah), dan Arca Pancuran (1 buah). Ida Sesuhunan yang melinggih di Pura Kereban Langit adalah Ratu Gede Nyeneng, Ratu Made, Ratu Ayu, Ratu Niang, Bula Dewi, Dewi Kwam In, dan Kanjeng Ratu Segara Batu Bolong.
Pura Kereban Langit selama ini cukup dikenal sebagai tempat untuk nunas pemargi (meminta petunjuk atau jalan) memohon keturunan. Berdasarkan sejarah pura tersebut, kelahiran kembar buncing (laki perempuan) Sri Masula-Masuli yang pernah jadi penguasa Bali Kuno, konon berasal dari anugerah Tirta Selaka yang bersumber di Pura Kereban Langit ini.
Kisahnya, ayah dari Sri Masula-Masuli, yakni Raja Sri Jaya Kasunu, awalnya lama tidak memiliki keturunan. Raja Sri Jaya Kasunu kemudian memohon kepada Ida Bhatara di Gunung Agung Giri Tohlangkir agar dianugerahi keturunan. Konon, saat itu Sri Jaya Kasunu hanya diberikan petunjuk gaib agar mencari Tirta Salaka yang ada di dalam sebuah goa. Tempat dimaksud adalah Pura Kereban Langit di Desa Sading (dulu bernama Bantiran) yang berada dalam goa ini.
Singkat cerita, Tirta Salaka (air suci) di Pura Kereban Langit kemudian diberikan kepada Raja Sri Jaya Kasunu untuk diminum oleh permaisuri. Ajaib, beberapa bulan kemudian, permaisuri hamil hingga lahirlah kembar buncing Sri Masula-Masuli. Sejak kelahiran Sri Masula-Masuli, masyarakat meyakini Pura Kereban Langit sebagai tempat untuk memohon keturunan.
Menurut Jro Mangku Witera, ada dua jenis pamedek (umat yang pedek tangkil) ke Pura Keraban Langit. Pertama, pamedek yang nunas pemargi (memohon keturunan dan kesembuhan). Kedua, pamedek yang ingin malukat.
Jika pamedek ingin melukat, mereka membawa dua banten pejati dan kelapa gading. Jika tanpa kelapa gading, cukup membawa satu pejati saja. Sedangkan untuk pamedek yang nunas pemargi, ada tambahan sarana bungkak nyuh gadang untuk diminum pasangan suami istri, selain pejati dan nyuh gading.
“Untuk yang nunas pemargi, disertai membawa bungkak nyuh gadang 2 buah, diminum suami istri. Itu sekaligus istilahnya nunas tamba. Kemudian, Ida Sesuhunan ring Pura Kereban Langit mepaica tirta untuk sembahyang sehari-hari di rumah sepanjang belum hamil. Ada yang belum habis tirtanya, sudah tangkil lagi. Ada juga yang belum habis tirtanya, sudah langsung hamil,” papar Jro Mangku Witera.
“Semua tergantung kehendak Yang di Atas (Tuhan) dan ketulusan hati mereka yang memohon. Kalau sudah nunas pemargi dan akhirnya dikaruniai anak alit, saya ikut bersyukur. Karena artinya secara sekala saya dapat membantu orang yang sedang kesusahan. Setelah dapat momongan, saya selalu berpesan agar anaknya dirawat dengan baik, karena itu titipan Tuhan,” lanjut pensiunan PNS di Badan Pem-berdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Badung ini.
Menurut Jro Mangku Witera, pamedek ke Pura Kereban Langit tidak hanya dari Bali. Banyak juga dari luar Bali, seperti Kalimantan dan Sumatra. Bahkan, ada pamedek dari luar negeri, seperti India, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Mereka tangkil karena menganggap Pura Kereban Langit memiliki aura berbeda. “Menurut mereka, auranya lain, sangat damai. Sembahyang di dalam goa katanya terasa bagus,” katanya.
Piodalan di Pura Kereban Langit dilaksanakan 6 builan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Buda Cemeng Ukir. Biaya piodalan sepenuhnya dari pangempon Pura Kereban Langit yang berjumlah hanya 8 kepala keluarga (KK). Sedangkan dari desa adat, hanya prajurunya saja yang tangkil saat piodalan. *ind
Air yang mengalir di Pura Kereban Langit ini datang dari dalam goa. Menurut Pamangku Pura Kereban Langit, Jro Mangku I Ketut Witera SSos, sumber air di goa ini berupa kelebutan. “Debit airnya konstan sepanjang masa, baik musim hujan maupun kemarau juga. Air kelebutan juga tidak terpengaruh oleh banjir ataupun situasi yang lain,” jelas Jro Mangku Witera saat ditemui NusaBali di Pura Kereban Langit, Minggu (10/1) siang.
Jro Mangku Witera sendiri mengaku tidak tahu secara pasti dari mana sumber air itu berasal. Yang jelas, sejak kecil dia sudah mendapati ada air yang mengalir secara alami dari goa di Pura Kereban Langit ini.
“Jadi, pamedek yang tangkil ke sini bisa mendapatkan tirta yang bersumber dari air ini. Sejak saya kecil sudah seperti itu,” terang pamangku yang notabene mantan Bendesa Adat Sading periode 2013-2018 ini.
Selain keberadaan sumber air kelebutan, menurut Jro Mangku Witera, sejak awal di Pura Kereban Langit ini ada persimpangan Segara Batu Bolong. Berdasarkan kepercayaan masyarakat Desa Sading, persimpangan tersebut merupakan perpanjangan dari Pantai Batu Bolong di Desa Canggu, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Karenanya, saat upacara melasti, Desa Adat Sading cukup nunas tirta di persim-pangan Segara Batu Bolong yang ada di Pura Kereban Langit ini.
“Kepercayaan masyarakat Desa Sading, ini dianggap perpanjangan dari Pantai Batu Bolong. Makanya, setiap tahun saat melasti Ida Bhatara sami, cukup sampai di sini. Bukannya krama Desa Sading tidak mampu melasti ke Segara Batu Bolong, tapi ini tradisi yang tidak bisa kita putus dan lupakan,” tandas Jro Mangku Witera.
Sementara, di dalam Pura Kereban Langit terdapat banyak arca (patung). Di antaranya, Arca Dwaraphala (9 buah), Arca Perwujudan Leluhur (10 buah), dan Arca Pancuran (1 buah). Ida Sesuhunan yang melinggih di Pura Kereban Langit adalah Ratu Gede Nyeneng, Ratu Made, Ratu Ayu, Ratu Niang, Bula Dewi, Dewi Kwam In, dan Kanjeng Ratu Segara Batu Bolong.
Pura Kereban Langit selama ini cukup dikenal sebagai tempat untuk nunas pemargi (meminta petunjuk atau jalan) memohon keturunan. Berdasarkan sejarah pura tersebut, kelahiran kembar buncing (laki perempuan) Sri Masula-Masuli yang pernah jadi penguasa Bali Kuno, konon berasal dari anugerah Tirta Selaka yang bersumber di Pura Kereban Langit ini.
Kisahnya, ayah dari Sri Masula-Masuli, yakni Raja Sri Jaya Kasunu, awalnya lama tidak memiliki keturunan. Raja Sri Jaya Kasunu kemudian memohon kepada Ida Bhatara di Gunung Agung Giri Tohlangkir agar dianugerahi keturunan. Konon, saat itu Sri Jaya Kasunu hanya diberikan petunjuk gaib agar mencari Tirta Salaka yang ada di dalam sebuah goa. Tempat dimaksud adalah Pura Kereban Langit di Desa Sading (dulu bernama Bantiran) yang berada dalam goa ini.
Singkat cerita, Tirta Salaka (air suci) di Pura Kereban Langit kemudian diberikan kepada Raja Sri Jaya Kasunu untuk diminum oleh permaisuri. Ajaib, beberapa bulan kemudian, permaisuri hamil hingga lahirlah kembar buncing Sri Masula-Masuli. Sejak kelahiran Sri Masula-Masuli, masyarakat meyakini Pura Kereban Langit sebagai tempat untuk memohon keturunan.
Menurut Jro Mangku Witera, ada dua jenis pamedek (umat yang pedek tangkil) ke Pura Keraban Langit. Pertama, pamedek yang nunas pemargi (memohon keturunan dan kesembuhan). Kedua, pamedek yang ingin malukat.
Jika pamedek ingin melukat, mereka membawa dua banten pejati dan kelapa gading. Jika tanpa kelapa gading, cukup membawa satu pejati saja. Sedangkan untuk pamedek yang nunas pemargi, ada tambahan sarana bungkak nyuh gadang untuk diminum pasangan suami istri, selain pejati dan nyuh gading.
“Untuk yang nunas pemargi, disertai membawa bungkak nyuh gadang 2 buah, diminum suami istri. Itu sekaligus istilahnya nunas tamba. Kemudian, Ida Sesuhunan ring Pura Kereban Langit mepaica tirta untuk sembahyang sehari-hari di rumah sepanjang belum hamil. Ada yang belum habis tirtanya, sudah tangkil lagi. Ada juga yang belum habis tirtanya, sudah langsung hamil,” papar Jro Mangku Witera.
“Semua tergantung kehendak Yang di Atas (Tuhan) dan ketulusan hati mereka yang memohon. Kalau sudah nunas pemargi dan akhirnya dikaruniai anak alit, saya ikut bersyukur. Karena artinya secara sekala saya dapat membantu orang yang sedang kesusahan. Setelah dapat momongan, saya selalu berpesan agar anaknya dirawat dengan baik, karena itu titipan Tuhan,” lanjut pensiunan PNS di Badan Pem-berdayaan Masyarakat Desa (PMD) Kabupaten Badung ini.
Menurut Jro Mangku Witera, pamedek ke Pura Kereban Langit tidak hanya dari Bali. Banyak juga dari luar Bali, seperti Kalimantan dan Sumatra. Bahkan, ada pamedek dari luar negeri, seperti India, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Mereka tangkil karena menganggap Pura Kereban Langit memiliki aura berbeda. “Menurut mereka, auranya lain, sangat damai. Sembahyang di dalam goa katanya terasa bagus,” katanya.
Piodalan di Pura Kereban Langit dilaksanakan 6 builan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pada Buda Cemeng Ukir. Biaya piodalan sepenuhnya dari pangempon Pura Kereban Langit yang berjumlah hanya 8 kepala keluarga (KK). Sedangkan dari desa adat, hanya prajurunya saja yang tangkil saat piodalan. *ind
1
Komentar