'Cocoklogi' Rentetan Rahina Hindu dan Puncak Panca Bhaya
DENPASAR, NusaBali
Beberapa waktu yang lalu, beredar sebuah pesan berantai yang disebarkan melalui platform WhatsApp. Isinya, yakni mengenai analisis penanggalan Bali yang dihubungkan dengan puncak Panca Bhaya.
Dalam pesan tersebut, diungkap bahwa sejatinya puncak Panca Bhaya berlangsung selama lima hari, yang dimulai pada Saniscara Kliwon Wayang, Sabtu (9/1) hingga puncaknya pada Buda Wage Kelawu, Rabu (13/1).
Menurut pesan tersebut, puncak Panca Bhaya ini akan menjadi puncak dari Gering Agung atau wabah penyakit yang merujuk pada pandemi Covid-19 ini. Secara sepintas, memang pesan tersebut tampak meyakinkan. Pasalnya, Sabtu (9/1) merupakan Rahina Tumpek Wayang yang sekaligus juga merupakan Rahina Kajeng Kliwon bagi umat Hindu di Bali.
Tak hanya itu pada Anggara Pon Kelawu, Selasa (12/1) merupakan Rahina Siwaratri, yakni malam yang diperuntukkan bagi Sang Hyang Siwa, dan dilanjutkan hingga Rabu (13/1) yang merupakan Tilem Kapitu. Dengan demikian, rentetan hari-hari ini terasa spesial dengan adanya rahina-rahina yang datang secara hampir bersamaan.
Adapun, Panca Bhaya yang disebut-sebut dalam pesan tersebut merupakan sebuah konsep lima bahaya yang dihadapi manusia, yang terdiri dari Api, Angin, Air, Merana, dan Gering. Menanggapi ini, I Gede Sutarya, seorang penyusun kalender Bali yang juga seorang akademisi di Universitas Hindu Negeri Ida Bagus Sugriwa Denpasar (sebelumnya dikenal dengan nama IHDN) mengatakan berdasarkan sasih, memang sasih kanem, kapitu, dan kaulu merupakan sasih (bulan) yang rentan akan penyakit dikarenakan musim pancaroba.
“Secara cuaca memang kurang menguntungkan, sehingga orang juga banyak penyakit. Nanti, sebenarnya itu semua akan berakhir nanti pada sasih kadasa, cuaca akan mulai baik. Jadi kalau kita mengatakan puncak pandemi pada tanggal 13 Januari, saya tidak berani mengatakan begitu. Tetapi sasih-sasih ini, kapitu, kaulu, sampai kesanga nanti itu sekitar bulan Maret, memang sasih-sasih yang agak rentan,” ujarnya kepada NusaBali, Selasa (12/1). Nah, pada saat inilah, umat perlu waspada. Biasanya, dimulai dari sasih kanem terdapat pecaruan-pecaruan yang dilakukan, hingga puncaknya pada Tawur Agung Kesanga pada sasih kesanga.
“Di Tawur Agung Kesanga ini kita berdoa kepada Tuhan supaya tidak ada lagi penyakit-penyakit, sehingga nanti di sasih kadasa betul-betul kedas (bersih),” lanjutnya. Tak bisa dipungkiri, Rahina Tilem Kapitu kali ini memang menjadi momen spesial dengan adanya Hari Siwaratri. Oleh Gede Sutarya, hendaknya momen ini umat berdoa kepada Dewa Siwa untuk kesehatan dan keadaan dunia yang menjadi lebih baik.
“Kalau Dewa Siwa itu kan lehernya biru, karena Beliau meminum racun dunia, termasuk juga meminum penyakit-penyakit di dunia sehingga tidak ada lagi penyakit,” imbuh dosen di UHN Ida Bagus Sugriwa Denpasar ini.
Dengan penjelasan tersebut, memang tidak salah jika setelah sasih kapitu diharapkan penyakit-penyakit akan menurun, sehingga secara siklus penyakit dapat berakhir di sasih kadasa.
Terkait dengan rahina-rahina yang berdekatan, Gede Sutarya menambahkan, bahwa semua rentenan pada makrokosmos (alam semesta) berpengaruh kepada mikrokosmos (dunia kecil). “Pengaruhnya jelas positif. Hari raya-hari raya itu jelas memiliki pengaruh positif. Pengaruh positif ini perlu dibesarkan lagi, dengan doa, dengan melaksanakan brata Siwaratri. Doa kepada Dewa Siwa, agar hal-hal positif itu menjadi membesar,” katanya.
Poin terakhir yang dijelaskan, mengenai cocoklogi dalam pesan berantai antara tanggal-tanggal ini, yang secara kebetulan, menjadi tanggal dilaksanakannya vaksinasi perdana oleh Presiden Indonesia Joko Widodo pada Rabu (13/1). Meskipun tak bisa dipastikan apakah tanggal ini sengaja dipilih atau memang sebuah kebetulan semata, namun hendaknya hal ini disikapi dengan positif.
“Artinya ada harapan baru. Ada harapan bahwa kondisi akan menjadi lebih baik. Harapan ini mari kita pelihara dengan cara berdoa. Manusia juga harus berusaha, tidak ada anugerah tanpa ada usaha manusia,” tuntasnya. *cr74
1
Komentar