Lestari di Tengah Gempuran Gadget
Permainan Tradisional Magangsing di Buleleng
Sebelum pandemi, setiap tahun rutin ada turnamen keliling, selama dua bulan bergantian lokasi. Kadang di Desa Gobleg, Desa Munduk, dan Gesing.
SINGARAJA, NusaBali
Magangsing, salah satu permainan tradisional Bali yang relatif eksis di tengah generasi Bali makin keranjingan gadget dengan game onlinenya. Antara Gangsingan atau gasing dan gadget, dua produk teknologi sangat beda ‘fitur’ dan aura zaman, namun keduanya tak saling bersinggungan.
Permainan Magangsing, antara lain, masih eksis di wilayah Catur (empat) Desa, wilayah Adat Dalem Tamblingan. Empat desa ini meliputi Desa Munduk, Gobleg, Gesing, Kecamatan Banjar. Dan, satu lagi Desa Umajero, Kecamatan Busungbiu, Buleleng.
Meskipun bersifat tradisional, Magangsing masih menjadi permainan favorit bagi semua kalangan warga catur desa. Bahkan untuk regenerasi, permainan tradisional ini tak memerlukan usaha keras. Sebagian besar warga laki-laki, terutama generasi muda, di catur desa secara otomatis bisa Magangsing.
‘’Magangsing di catur desa ini sudah menjadi tradisi desa secara turun temurun,’’ jelas Perbekel Desa Munduk Nyoman Niryasa, saat dihubungi Jumat (15/1) kemarin. Dia mengatakan, dahulu tradisi Magangsing dipakai sebagai perayaan dan ungkapan syukur atas hasil panen kebun yang melimpah. Tradisi Magangsing pun dilaksanakan mengikuti musim panen raya. Namun dalam perkembangannya, permainan Magangsing sudah menjadi permainan yang hampir setiap hari dimainkan warga catur desa.
“Kalau dulu menyesuaikan dengan musim panen. Kalau sekarang main gangsing tidak pakai musim. Setiap hari ada saja warga yang main sekedar latihan. Dari tua, muda anak-anak juga mereka belajar otodidak, walaupun sekarang dengan gempuran gadget, gangsing di desa kami masih tetap eksis,” ucap Perbekel Niryasa.
Karena lestari, sejak 10 tahun belakangan ini, tradisi Magangsing dikemas masyarakat catur desa dalam bentuk turnamen. Bahkan ‘candu’ Magangsing ini berimbas ke sejumlah desa tetangga catur desa. Seperti, Desa Pedawa dan desa lainnya di Kecamatan Banjar. “Kalau sebelum pandemi, setiap tahun rutin ada turnamen keliling, selama dua bulan bergantian lokasi. Kadang di Desa Gobleg, Desa Munduk, dan Gesing. Ada banyak sekaa gangsing sekarang di masing-masing desa,” imbuh dia.
Tradisi magangsing di catur desa, menurut Perbekel Niryasa, bisa eksis karena warga yang membuat gangsing, sekaligus memainkan. Bahkan dulu bahan baku gangsing dari kayu jeruk Limau juga didapatkan dari kebun warga setempat.
Sejauh ini, di Desa Munduk ada sekitar 20 tukang gangsing yang memproduksi gangsing. Tukang ini juga melayani jasa perbaikan gangsing aduan. Pekerjaan ini pun jika dilakoni serius dapat menjadi mata pencaharian yang cukup menjanjikan. Bagaimana tidak. Satu buah gangsing ukuran rata-rata 50 - 60 cm, dijual antara harga Rp 150.000 – Rp 500.000 per buah. Harga ini masih jauh lebih murah dibandingkan harga gangsing aduan yang sering menang di arena adu gangsing. Satu gangsing aduan yang sering menjadikan tuannya juara dan mendapatkan hadiah jutaan rupiah, bisa ditawar Rp 2 juta per buah. Modal Magangsing itu belum termasuk tali yang dipakai untuk melontarkan gangsing dijual Rp 150.000.
Permainan tradisional ini biasanya dimainkan oleh dua kelompok yang masing-masing beranggotakan 4 orang. Dua kelompok ini dibagi menjadi kelompok pemukul dan dipukul. Kelompok dipukul mendapat kesempatan melempar gangsingnya ke dalam arena lebih dulu. Kemudian kelompok pemukul akan menyerang dengan melempar gangsing lawan. Gangsing yang bisa bertahan dan berputar lebih lama yang akan mendapatkan poin.
Sementara itu, pelestarian Magangsing di catur desa pada tahun 2020, mendapat perhatian Pemkab Buleleng. Pemkab memberikan bantuan bangunan dan arena Magangsing di Desa Munduk.
Kini, arena di atas lahan seluas satu hektare lebih milik Desa Adat Munduk itu menfasilitasi masyarakat melestarikan permainan gangsing di Buleleng. “Kami sangat bersyukur ada dukungan pemerintah terhadap pelestarian tradisi magangsing dengan penyediaan arena gangsing yang representatif,” ujar Niryasa. *k23
Permainan Magangsing, antara lain, masih eksis di wilayah Catur (empat) Desa, wilayah Adat Dalem Tamblingan. Empat desa ini meliputi Desa Munduk, Gobleg, Gesing, Kecamatan Banjar. Dan, satu lagi Desa Umajero, Kecamatan Busungbiu, Buleleng.
Meskipun bersifat tradisional, Magangsing masih menjadi permainan favorit bagi semua kalangan warga catur desa. Bahkan untuk regenerasi, permainan tradisional ini tak memerlukan usaha keras. Sebagian besar warga laki-laki, terutama generasi muda, di catur desa secara otomatis bisa Magangsing.
‘’Magangsing di catur desa ini sudah menjadi tradisi desa secara turun temurun,’’ jelas Perbekel Desa Munduk Nyoman Niryasa, saat dihubungi Jumat (15/1) kemarin. Dia mengatakan, dahulu tradisi Magangsing dipakai sebagai perayaan dan ungkapan syukur atas hasil panen kebun yang melimpah. Tradisi Magangsing pun dilaksanakan mengikuti musim panen raya. Namun dalam perkembangannya, permainan Magangsing sudah menjadi permainan yang hampir setiap hari dimainkan warga catur desa.
“Kalau dulu menyesuaikan dengan musim panen. Kalau sekarang main gangsing tidak pakai musim. Setiap hari ada saja warga yang main sekedar latihan. Dari tua, muda anak-anak juga mereka belajar otodidak, walaupun sekarang dengan gempuran gadget, gangsing di desa kami masih tetap eksis,” ucap Perbekel Niryasa.
Karena lestari, sejak 10 tahun belakangan ini, tradisi Magangsing dikemas masyarakat catur desa dalam bentuk turnamen. Bahkan ‘candu’ Magangsing ini berimbas ke sejumlah desa tetangga catur desa. Seperti, Desa Pedawa dan desa lainnya di Kecamatan Banjar. “Kalau sebelum pandemi, setiap tahun rutin ada turnamen keliling, selama dua bulan bergantian lokasi. Kadang di Desa Gobleg, Desa Munduk, dan Gesing. Ada banyak sekaa gangsing sekarang di masing-masing desa,” imbuh dia.
Tradisi magangsing di catur desa, menurut Perbekel Niryasa, bisa eksis karena warga yang membuat gangsing, sekaligus memainkan. Bahkan dulu bahan baku gangsing dari kayu jeruk Limau juga didapatkan dari kebun warga setempat.
Sejauh ini, di Desa Munduk ada sekitar 20 tukang gangsing yang memproduksi gangsing. Tukang ini juga melayani jasa perbaikan gangsing aduan. Pekerjaan ini pun jika dilakoni serius dapat menjadi mata pencaharian yang cukup menjanjikan. Bagaimana tidak. Satu buah gangsing ukuran rata-rata 50 - 60 cm, dijual antara harga Rp 150.000 – Rp 500.000 per buah. Harga ini masih jauh lebih murah dibandingkan harga gangsing aduan yang sering menang di arena adu gangsing. Satu gangsing aduan yang sering menjadikan tuannya juara dan mendapatkan hadiah jutaan rupiah, bisa ditawar Rp 2 juta per buah. Modal Magangsing itu belum termasuk tali yang dipakai untuk melontarkan gangsing dijual Rp 150.000.
Permainan tradisional ini biasanya dimainkan oleh dua kelompok yang masing-masing beranggotakan 4 orang. Dua kelompok ini dibagi menjadi kelompok pemukul dan dipukul. Kelompok dipukul mendapat kesempatan melempar gangsingnya ke dalam arena lebih dulu. Kemudian kelompok pemukul akan menyerang dengan melempar gangsing lawan. Gangsing yang bisa bertahan dan berputar lebih lama yang akan mendapatkan poin.
Sementara itu, pelestarian Magangsing di catur desa pada tahun 2020, mendapat perhatian Pemkab Buleleng. Pemkab memberikan bantuan bangunan dan arena Magangsing di Desa Munduk.
Kini, arena di atas lahan seluas satu hektare lebih milik Desa Adat Munduk itu menfasilitasi masyarakat melestarikan permainan gangsing di Buleleng. “Kami sangat bersyukur ada dukungan pemerintah terhadap pelestarian tradisi magangsing dengan penyediaan arena gangsing yang representatif,” ujar Niryasa. *k23
Komentar