Importir Kedelai Minta Tak Diwajibkan Bina Petani
JAKARTA, NusaBali
Importir kedelai yang tergabung dalam Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo) merasa terbebani dengan kewajiban untuk membina petani lokal sebagai syarat mendapatkan izin impor.
Ketua Umum Akindo Yusan mengatakan, para importir tidak memiliki keahlian dalam bidang budi daya produk pertanian. Sehingga dinilai tak mungkin bisa bermitra dengan petani dalam memasok bibit dan pupuk.
"Seperti kita tahu, importir kan tidak punya ahli-ahli pertanian, tiba-tiba diwajibkan untuk membina petani. Di mana logikanya itu?" ujar Yusan dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IV DPR RI, Rabu (20/1) seperti dikutip dari kompas.com.
Yusan mengatakan, importir adalah pedagang yang keahliannya menjual produk. Maka upaya yang bisa dilakukan yakni mencari alternatif agar proses bisnis lebih efisien untuk mendapatkan harga jual kedelai yang lebih rendah.
"Kami ahli menjual, mencari efisiensi. Tapi kalau diibebani dengan membina petani, itu menjadi unit tersendiri bagi kami untuk memikirkan resources-nya (sumber daya) bagaimana? Jadi ini tidak masuk akal dari segi pedagang," ungkap dia.
Yusan pun mengaku bingung karena imbas kenaikan harga kedelai di dalam negeri akibat tingginya harga di pasar internasional, berujung dengan importir yang bertanggung jawab dalam pembinaan petani lokal.
Ia mengatakan, komoditas kedelai memiliki permintaan dari para perajin tahu dan tempe, serta konsumen di Indonesia. Sehingga, pihak importir kedelai pun memfasilitasi permintaan tersebut.
"Kami pedagang, menyediakan barang untuk memudahkan perajin dan konsumen, menjaga supply dan demand," kata Yusan.
Yusan menekankan, jika nantinya kebijakan importir wajib membina petani lokal disetujui dan dijalankan, maka tambahan biaya produksi akan dibebankan kepada produsen atau industri tahu dan tempe, serta masyarakat.
"Kalau mooditas ini dibebankan cost lagi untuk pembinaan petani, dengan pembibitan dan pupuk, maka ke mana pedagang membebankan biaya ini? Tentu ke produsen dan konsumen, mau tidak mau," pungkasnya.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara importir kedelai terbesar di dunia. Setidaknya 90 persen pasokan kedelai dalam negeri dipenuhi dari impor. Kondisi ini membuat pergerakan harga kedelai dalam negeri sangat terpengaruh dengan harga di pasar internasional, di mana beberapa waktu terakhir harga kedelai sedang melonjak.
Hal itu sempat membuat Gabungan Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo) melakukan aksi mogok produksi pada 1-3 Januari 2021 lalu. Maka salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah menggenjot produksi kedelai lokal, sehingga bisa mengurangi ketergantungan Indonesia dari kedelai impor. *
"Seperti kita tahu, importir kan tidak punya ahli-ahli pertanian, tiba-tiba diwajibkan untuk membina petani. Di mana logikanya itu?" ujar Yusan dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi IV DPR RI, Rabu (20/1) seperti dikutip dari kompas.com.
Yusan mengatakan, importir adalah pedagang yang keahliannya menjual produk. Maka upaya yang bisa dilakukan yakni mencari alternatif agar proses bisnis lebih efisien untuk mendapatkan harga jual kedelai yang lebih rendah.
"Kami ahli menjual, mencari efisiensi. Tapi kalau diibebani dengan membina petani, itu menjadi unit tersendiri bagi kami untuk memikirkan resources-nya (sumber daya) bagaimana? Jadi ini tidak masuk akal dari segi pedagang," ungkap dia.
Yusan pun mengaku bingung karena imbas kenaikan harga kedelai di dalam negeri akibat tingginya harga di pasar internasional, berujung dengan importir yang bertanggung jawab dalam pembinaan petani lokal.
Ia mengatakan, komoditas kedelai memiliki permintaan dari para perajin tahu dan tempe, serta konsumen di Indonesia. Sehingga, pihak importir kedelai pun memfasilitasi permintaan tersebut.
"Kami pedagang, menyediakan barang untuk memudahkan perajin dan konsumen, menjaga supply dan demand," kata Yusan.
Yusan menekankan, jika nantinya kebijakan importir wajib membina petani lokal disetujui dan dijalankan, maka tambahan biaya produksi akan dibebankan kepada produsen atau industri tahu dan tempe, serta masyarakat.
"Kalau mooditas ini dibebankan cost lagi untuk pembinaan petani, dengan pembibitan dan pupuk, maka ke mana pedagang membebankan biaya ini? Tentu ke produsen dan konsumen, mau tidak mau," pungkasnya.
Seperti diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara importir kedelai terbesar di dunia. Setidaknya 90 persen pasokan kedelai dalam negeri dipenuhi dari impor. Kondisi ini membuat pergerakan harga kedelai dalam negeri sangat terpengaruh dengan harga di pasar internasional, di mana beberapa waktu terakhir harga kedelai sedang melonjak.
Hal itu sempat membuat Gabungan Koperasi Tempe dan Tahu Indonesia (Gakoptindo) melakukan aksi mogok produksi pada 1-3 Januari 2021 lalu. Maka salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah menggenjot produksi kedelai lokal, sehingga bisa mengurangi ketergantungan Indonesia dari kedelai impor. *
Komentar