'Dilema Tahanan' dalam Kehidupan
Dalam masa pandemi, krama Bali dihadapkan pada situasi dilematis, apakah melaksanakan yadnya mengikuti tradisi atau situasi, membesuk langsung yang sakit atau berdoa dari rumah, beraktivitas merdeka atau bekerja dari rumah?
Situasi dilematis demikian analog dengan ‘prisoner’s dilemma’, istilahnya John Nash peraih nobel dan penggagas ‘Game Theory’. Dewasa ini, krama Bali dan non-Bali lainnya berada pada titik konflik, antara keyakinan dengan realita, persaudaraan dengan kesehatan, kebebasan dengan penularan dan sebagainya. Bagaimana sebaiknya agar efek negatif kedua yang berlawanan tersebut dapat ditekan seminimal mungkin?
Dilema melaksanakan yadnya berdasar kearifan lokal akan mengokohkan tradisi leluhur memang benar. Tetapi, prinsip ini beresiko menyebarkan virus corona secara masif! Demikian juga, membesuk yang disayang dan dicintai langsung ke rumah sakit tidak menafikan tertular oleh Covid-19. Beraktivitas bebas di luar rumah, walau memerhatikan protokol kesehatan, tidak meniadakan kemungkinan tertular Covid-19! Jadi, bagaimana sebaiknya sikap dan perilaku yang kompromis terhadap dilema demikian? Jawabannya adalah dengan menerapkan ‘zero-sum game theory’.
Teori ini dikemukakan oleh ilmuwan Amerika dan peraih hadiah nobel ekonomi, Thomas C Schelling dan Robert Aumann (2005). ‘Zero-sum game’ menekankan pertimbangan yang matang pada keuntungan yang diperoleh dengan kerugian atau resiko yang harus dibayar. Prinsip ini sejalan dengan konsep keseimbangan (equilibrium), yang dikemukakan oleh Jean Piaget, pencetus teori perkembangan kognitif berkebangsaan Swiss. Untuk meminimalkan resiko negatif, maka keseimbangan struktur kognitif, afektif, dan konatif amat perlu diupayakan maksimal. Agar tidak terjadi resiko, maka diperlukan asosiasi dengan upaya-upaya pencegahan dan penyebaran Covid-19 yang kreatif dan disiplin. Disamping asosiasi, akomodasi terhadap usaha pemerintah dan satuan tugas perlu memeroleh dukungan nyata dari berbagai pihak. Dengan strategi asosiatif dan akomodatif tersebut niscaya kesehatan, kesejahteraan dan kedamian akan segera dapat diraih.
Dalam pendidikan dan pembelajaran, prinsip ‘zero-sum game theory’ dapat diimplementasikan. Untuk itu perlu berpikir cepat (quick thinking), berpikir kreatif (creative thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Ketiga aspek berpikir kritis yang dikemukakan oleh Mason (2008) dapat diintegrasikan untuk memeroleh ekuilibrium. Dalam pakraman di Bali, ‘zero-sum game theory’ antara sastra, tradisi, situasi, dan kondisi riil akan mampu menimbulkan kebaikan dan ketentraman sebagai ‘homo religious, homo sociocus, homo economicus’. Keseimbangan juga dapat menjauhkan krama Bali dari efek dan dampak negatif jaman yang bergerak dan berubah amat cepat.
Meski kerap disepelekan, keseimbangan tubuh sangat dibutuhkan dalam berbagai aktivitas harian. Menjaga keseimbangan tubuh dapat meningkatkan kemampuan gerak secara keseluruhan, menjamin serta menunjang kebugaran, menghindari disabilitas lainnya. Kesimbangan tidak datang secara tiba-tiba, tidak dihadiahkan, ia harus dilatih dengan tekun dan penuh disiplin. Misalnya, keseimbangan di atas satu kaki atau keseimbangan statis belum tentu dimiliki semua orang. Ia harus dilatih! Apabila keseimbangan statis tidak dimiliki, maka akan sulit memiliki keseimbangan dinamis. Semakin besar kebutuhan dan kecepatan yang dibutuhkan oleh tubuh, makan diperlukan sistem keseimbangan dinamis yang lebih baik. Oleh krna itu, kalau tidak memiliki keseimbangan saat diam, maka akan lebih sulit memiliki keseimbangan saat bergerak. ‘Zero-sum game theory’ seakan membuka pintu dan jendela para-vidya dan apara-vidya agar bergerak bermula menghayati tradisi, berlanjut melaksanakan acara, dan bermuara pada tattwa. Asosiasi, akomodasi, dan integrasi dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan pasti akan melahirkan kesehatan, kedamaian dan kesejahteraan. Semoga. *
Prof.Dewa Komang Tantra,MSc,Ph.D.
Komentar