Terkenang Pujian, Kini Nikmati Hari Tua
Pemain/Pembina Drama Gong I Wayan Pudja
GIANYAR, NusaBali
Penggemar pertunjukan seni drama gong di Bali terutama era 1980an, pasti teringat dengan tampilan pemeran seorang papatih werda (tua).
Berdandan polos, alamai, dengan kekhasan ngemil mako (mengisap tembakau). Dia tiada lain, I Wayan Pudja,82, asal Banjar Seseh, Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Kini, karena usia sudah kepala delapan, kakek 7 cucu ini tentu tak lagi bisa main drama. "Dua tahun sebelum ada Covid-19, kalau dibilang terpaksa, ya terpaksa saya diam di rumah sambil nongosin (menunggu) istri sakit," ujar peraih Wija Kusuma Gianyar (2007) dan Dharma Kusuma Provinsi Bali (2008) ini saat ditemui di kediamannya, Jumat (15/1) lalu.
Kata dia, istrinya (almarhum) Ni Made Kapat ketika itu mengalami linglung pasca jatuh saat boncengan sepeda motor. "Harus dijaga, biar tidak sampai ke luar rumah. Sehingga saya juga harus di rumah sambil menyapu, cabut rumput. Sampai ada Corona begini, saya akhirnya memutuskan untuk tidak ke mana-mana, karena faktor usia juga," ujar bapak 5 anak ini.
Istrinya, Ni Made Kapat meninggal dunia Mei 2020. Kini, Wayan Pudja menghabiskan waktu di rumah saja bersama anak, menantu dan cucu. Mengerjakan apa yang bisa dikerjakan di usianya yang tak lagi gagah seperti saat memerankan Patih Werda.
Tongkat estafet kesenimannya tidak berpindah ke anak-anaknya. Namun Wayan Pudja telah membina cukup banyak Sekaa Drama Gong di Bali. "Jumlahnya banyak, tapi yang saya ingat hanya beberapa,” ujarnya. Diantaranya Drama Gong Desa Panjer Denpasar, di Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Klungkung, Desa Pangyangan, Jembrana, Tapak Gangsul Denpasar, Dan sejumlah sekaa Drama Gong di Kabupaten Gianyar.
Atas jasanya itu, Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan seni Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni bertepatan dengan perayaan HUT Pemprov Bali ke-50, 14 Agustus 2008. Hingga saat ini, Wayan Pudja juga tetap dipercaya sebagai pembina dan pengamat drama gong di Bali, khususnya Gianyar. Dia juga masih dipercaya sebagai pembina seni di Bali bersama maestro seni lain, antara lain Prof Dr I Waya Dibia dan Prof Dr I Made Bandem. "Astungkara masih dipercaya membina dan mengamati drama gong klasik di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB)," ujarnya.
Meski tahun 2020 lalu PKB tidak digelar, Wayan Pudja tetap intens mengikuti perkembangan drama gong klasik. Salah satunya yang ditonton di televisi. Secara umum, Wayan Pudja melihat baru beberapa sekaa drama gong yang menampilkan lakon, alur dan pertunjukan seni yang mumpuni. Sebagian besarnya lagi, perlu dibina lagi. "Apa mereka yang menjadi sutradara dalam grup pertunjukan, tidak mau melihat petunjuk provinsi? Atau, tidak mengerti mau belajar? Sehingga banyak saya amati keluar dari petunjuk," jelasnya.
Petunjuk yang dimaksud diantaranya struktur cerita yang lepas-lepas dan alur cerita yang melompat-lompat. "Pertunjukan seni itu bisa dikatakan makanan bagi otak manusia. Sama dengan makanan nasi bagi perut. Kalau tidak serasi, kurang enak, nafsu makan kurang. Begitu juga kalau seni, alur tidak nyambung tidak enak ditonton," terangnya.
Menurutnya, drama gong adalah pertunjukan teater yang mengungkap dinamika masyarakat pada masanya, dipanggungkan debgan polesan seni. "Banyak juga yang lepas dari logika pada zamannya. Contoh, kisah keraton Jayaprana yang pernah saya tonton di TV. Sekejap saja saya nonton sudah tidak menarik hati," ungkapnya.
Menurutnya, kisah tersebut lepas dari logika pada zamannya. Jayaprana cerita di Bali, maka busananya juga harus busana Bali. Kejadiannya di Buleleng, masih satu-kesatuan dengan daerah di Bali lainnya. Sehingga penggarapannya bisa dengan menggali apa yang ada, dan tak lepas dari zamannya," ungkapnya.
Namun dia mengapresiasi ada beberapa sekaa seni yang sudah bagus menampilkan suguhan drama gong. Agar drama gong tetap eksis, Wayan Pudja berharap pemerintah tetap menyediakan panggung pentas. Artinya, tetap diagendakan setiap PKB maupun even-even seni lain. Drama gong klasik harus dijaga eksistensinya karena dalam dialog antar pemain sarat pendidikan karakter. "Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang lumrah pada zamannya. Sehingga mudah ditangkap masyarakat," ujar pemeran Rajapala hingga Gatotkaca ini.
Lakon drama, tidak melulu harus cerita masa lalu. "Bagus juga berinovasi membuat cerita baru. Tapi harus sesuai dengan zamannya. Bingkai struktur, alur cerita, dan pengkarakteran harus sesuai dengan jamannya," jelasnya.
Wayan Pudja mengaku sebagai seniman lebih menikmati pujian ketimbang material. Sehingga ketika seni ini mulai kental hitung-hitungan duit, dia pilih mundur perlahan. "Pertengahan tahun 1980 saya mulai mundur. Tahun 1980 akhir sudah tidak pentas lagi. Karena orientasi dan pakem drama gong saat itu sudah bergeser," ujarnya.
Pada era 1970-an, Wayan Pudja sangat menikmati berkesenian. Terlebih jika ada yang memuji aktingnya, dia merasakan kesenangan luar biasa. "Dapat sanjungan positif itu kepuasan. Anggap saja senangnya hati 75 persen, materi 25 persen. Tapi pertengahan 1980 menjadi terbalik. Urusan material dominan, ‘senang hati’nya kecil. Contoh, biar dapat bagian lebih banyak, sekaa gong yang harusnya dipakai 30 orang dikurangi hanya dipakai 15 orang. Ini yang saya tidak suka," kenangnya.
Untuk diketahui, Wayan Pudja, pernah sukses sebagai pemain terbaik pria tingkat Provinsi Bali dengan peran I Gede Basur. Prestasi ini tak lepas dari kepiawaian dan karismanya di atas pentas. Pria yang juga guru sekolah ini menggeluti seni drama sejak Tahun 1962. Saat itu dia telah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Guru Tingkat Atas (SGA) Singaraja. Ketika itu, usianya 24 tahun. Wayan Pudja berkesenian sembari menekuni profesinya sebagai guru.
Suami dari Ni Made Kapat ini memulai kiprah berkesenian sebagai pencetus pembentukan drama janger di Puri Singapadu. Lanjut membentuk di Banjar Seseh, diiringi gong dengan lakon Rajapala.
Dia pernah bergabung dengan drama Gong Samara, Banjar Palak, Desa Sukawati. Drama Gong Cakra Buana, Banjar Dlodtangluk, serta memimpin pementasan Drama Gong ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, bersama Yayasan Saraswati. Wayan Pudja pernah memperkuat drama gong Kesatria Budaya, Bintang Bali Timur, Bara Budaya dan Drama Gong Bali Dwipa. Wayan Pudja kian dikenal, dia diminta pentas ke desa-desa. Pentas baginya adalah sebuah kesenangan. Meskipun harus pintar pintar mengatur waktu karena pekerjaan utamanya adalah guru di SMPN 2 Sukawati. *nvi
Kata dia, istrinya (almarhum) Ni Made Kapat ketika itu mengalami linglung pasca jatuh saat boncengan sepeda motor. "Harus dijaga, biar tidak sampai ke luar rumah. Sehingga saya juga harus di rumah sambil menyapu, cabut rumput. Sampai ada Corona begini, saya akhirnya memutuskan untuk tidak ke mana-mana, karena faktor usia juga," ujar bapak 5 anak ini.
Istrinya, Ni Made Kapat meninggal dunia Mei 2020. Kini, Wayan Pudja menghabiskan waktu di rumah saja bersama anak, menantu dan cucu. Mengerjakan apa yang bisa dikerjakan di usianya yang tak lagi gagah seperti saat memerankan Patih Werda.
Tongkat estafet kesenimannya tidak berpindah ke anak-anaknya. Namun Wayan Pudja telah membina cukup banyak Sekaa Drama Gong di Bali. "Jumlahnya banyak, tapi yang saya ingat hanya beberapa,” ujarnya. Diantaranya Drama Gong Desa Panjer Denpasar, di Desa Kusamba, Kecamatan Dawan, Klungkung, Desa Pangyangan, Jembrana, Tapak Gangsul Denpasar, Dan sejumlah sekaa Drama Gong di Kabupaten Gianyar.
Atas jasanya itu, Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan seni Dharma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni bertepatan dengan perayaan HUT Pemprov Bali ke-50, 14 Agustus 2008. Hingga saat ini, Wayan Pudja juga tetap dipercaya sebagai pembina dan pengamat drama gong di Bali, khususnya Gianyar. Dia juga masih dipercaya sebagai pembina seni di Bali bersama maestro seni lain, antara lain Prof Dr I Waya Dibia dan Prof Dr I Made Bandem. "Astungkara masih dipercaya membina dan mengamati drama gong klasik di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB)," ujarnya.
Meski tahun 2020 lalu PKB tidak digelar, Wayan Pudja tetap intens mengikuti perkembangan drama gong klasik. Salah satunya yang ditonton di televisi. Secara umum, Wayan Pudja melihat baru beberapa sekaa drama gong yang menampilkan lakon, alur dan pertunjukan seni yang mumpuni. Sebagian besarnya lagi, perlu dibina lagi. "Apa mereka yang menjadi sutradara dalam grup pertunjukan, tidak mau melihat petunjuk provinsi? Atau, tidak mengerti mau belajar? Sehingga banyak saya amati keluar dari petunjuk," jelasnya.
Petunjuk yang dimaksud diantaranya struktur cerita yang lepas-lepas dan alur cerita yang melompat-lompat. "Pertunjukan seni itu bisa dikatakan makanan bagi otak manusia. Sama dengan makanan nasi bagi perut. Kalau tidak serasi, kurang enak, nafsu makan kurang. Begitu juga kalau seni, alur tidak nyambung tidak enak ditonton," terangnya.
Menurutnya, drama gong adalah pertunjukan teater yang mengungkap dinamika masyarakat pada masanya, dipanggungkan debgan polesan seni. "Banyak juga yang lepas dari logika pada zamannya. Contoh, kisah keraton Jayaprana yang pernah saya tonton di TV. Sekejap saja saya nonton sudah tidak menarik hati," ungkapnya.
Menurutnya, kisah tersebut lepas dari logika pada zamannya. Jayaprana cerita di Bali, maka busananya juga harus busana Bali. Kejadiannya di Buleleng, masih satu-kesatuan dengan daerah di Bali lainnya. Sehingga penggarapannya bisa dengan menggali apa yang ada, dan tak lepas dari zamannya," ungkapnya.
Namun dia mengapresiasi ada beberapa sekaa seni yang sudah bagus menampilkan suguhan drama gong. Agar drama gong tetap eksis, Wayan Pudja berharap pemerintah tetap menyediakan panggung pentas. Artinya, tetap diagendakan setiap PKB maupun even-even seni lain. Drama gong klasik harus dijaga eksistensinya karena dalam dialog antar pemain sarat pendidikan karakter. "Bahasa yang digunakan adalah bahasa yang lumrah pada zamannya. Sehingga mudah ditangkap masyarakat," ujar pemeran Rajapala hingga Gatotkaca ini.
Lakon drama, tidak melulu harus cerita masa lalu. "Bagus juga berinovasi membuat cerita baru. Tapi harus sesuai dengan zamannya. Bingkai struktur, alur cerita, dan pengkarakteran harus sesuai dengan jamannya," jelasnya.
Wayan Pudja mengaku sebagai seniman lebih menikmati pujian ketimbang material. Sehingga ketika seni ini mulai kental hitung-hitungan duit, dia pilih mundur perlahan. "Pertengahan tahun 1980 saya mulai mundur. Tahun 1980 akhir sudah tidak pentas lagi. Karena orientasi dan pakem drama gong saat itu sudah bergeser," ujarnya.
Pada era 1970-an, Wayan Pudja sangat menikmati berkesenian. Terlebih jika ada yang memuji aktingnya, dia merasakan kesenangan luar biasa. "Dapat sanjungan positif itu kepuasan. Anggap saja senangnya hati 75 persen, materi 25 persen. Tapi pertengahan 1980 menjadi terbalik. Urusan material dominan, ‘senang hati’nya kecil. Contoh, biar dapat bagian lebih banyak, sekaa gong yang harusnya dipakai 30 orang dikurangi hanya dipakai 15 orang. Ini yang saya tidak suka," kenangnya.
Untuk diketahui, Wayan Pudja, pernah sukses sebagai pemain terbaik pria tingkat Provinsi Bali dengan peran I Gede Basur. Prestasi ini tak lepas dari kepiawaian dan karismanya di atas pentas. Pria yang juga guru sekolah ini menggeluti seni drama sejak Tahun 1962. Saat itu dia telah menyelesaikan pendidikan di Sekolah Guru Tingkat Atas (SGA) Singaraja. Ketika itu, usianya 24 tahun. Wayan Pudja berkesenian sembari menekuni profesinya sebagai guru.
Suami dari Ni Made Kapat ini memulai kiprah berkesenian sebagai pencetus pembentukan drama janger di Puri Singapadu. Lanjut membentuk di Banjar Seseh, diiringi gong dengan lakon Rajapala.
Dia pernah bergabung dengan drama Gong Samara, Banjar Palak, Desa Sukawati. Drama Gong Cakra Buana, Banjar Dlodtangluk, serta memimpin pementasan Drama Gong ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, bersama Yayasan Saraswati. Wayan Pudja pernah memperkuat drama gong Kesatria Budaya, Bintang Bali Timur, Bara Budaya dan Drama Gong Bali Dwipa. Wayan Pudja kian dikenal, dia diminta pentas ke desa-desa. Pentas baginya adalah sebuah kesenangan. Meskipun harus pintar pintar mengatur waktu karena pekerjaan utamanya adalah guru di SMPN 2 Sukawati. *nvi
1
Komentar