DPRD Bali Didesak Bikin Perda Batasi Aktivitas Sampradaya
Karena ‘SKB PHDI-MDA Bali Belum Efektif
DENPASAR, NusaBali
Sejumlah perwakilan elemen masyarakat yang tergabung dalam Forum Koordinasi (Fokor) Hindu Bali datangi DPRD Bali di Gedung Dewan, Niti Mandala Denpasar, Rabu (27/1) siang.
Mereka desak DPRD Bali membuat Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur secara tegas pembatasan aktivitas Sampradaya Non Dresta Bali di Pulau Dewata. Elemen masyarakat yang hadir ke DPRD Bali, Rabu kemarin, dikoordinasikan langsung Ketua Umum Fokor Hindu Bali, I Wayan Bagiartha Negara, didampingi Ketua Suastika Bali Ida Bagus Giri Suprayana dan Pengurus Cakrawahyu Bali I Made Suasta. Mereka diterima Wakil Ketua DPRD Bali dari Fraksi Golkar Nyoman Sugawa Korry, anggota Komisi I DPRD Bali AA Gde Agung Suyoga (Fraksi PDIP), I Wayan Gunawan (Fraksi Golkar), dan Dr Somvir (Fraksi Gabungan).
Dalam pertemuan tersebut, Wayan Bagiartha Negara menegaskan kehadiran mereka ke DPRD Bali karena adanya situasi tidak kondusif di masyarakat yang bisa menimbulkan konflik horizontal. “Sampradaya Non Dresta Bali secara masif dan terstruktur melakukan aktivitas yang sangat menganggu. Sampai ada penistaan dan penghinaan terhadap simbol leluhur orang Bali," ujar Bagiartha Negara.
Bagiartha Negara menegaskan, kerawanan ini sempat diredam dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) PHDI Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali. Namun, SKB PHDI Bali-MDA Provinsi Bali tersebut tidak mengakar di akar rumput.
"Ketika kami turun ke desa adat, pemahaman di akar rumput sangat rendah. Bahkan, ada yang tidak paham sama sekali. Banyak prajuru desa adat terima SKB PHDI Bali-MDA Provinsi Bali ini, tetapi mereka tidak paham esensinya. Ada yang paham esensi setengah, tapi tidak berani melaksanakannya karena bisa berimplikasi hukum," papar Bagiartha.
Menurut Bagiartha, ada kejadian di mana pihak desa adat memasang baliho dan spanduk yang isinya menolak keberadaan Sampradaya Non Dresta Bali. Namun, kemudian ada perintah dari MDA Kecamatan untuk menurunkan baliho dan spanduk tersebut. "Ini yang benar mana? Dalam SKB PHDI-MDA Provinsi Bali kan jelas ada pembatasan. Tapi. Majelis Alit justru mencopot baliho (tolak Sampradaya Non Dresta Bali, Red) yang dipasang desa adat," sesal Bagiartha.
Soal siapa yang akan bertanggung jawab ketika persoalan ini menjadi rentetan hukum, menurut Bagiartha, tidak ada penanggungjawabnya. "Siapa subjek hukum? Siapa objek hukum? Di sini perlu ada ketegasan hukum. Kita bisa mengacu dengan keputusan negara soal organisasi radikal di Indonesia. Ada SKB Menteri secara tertulis, tanpa ada implikasi hukum terkait keputusan SKB terhadap organisasi radikal," papar Bagiartha yang juga Bendesa Adat Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan.
Bagiartha menegaskan, karena SKB PHDI Bali-MDA Provinsi Bali terkait pembatasan aktivitas Sampradaya Non Dresta Bali tidak efektif di akar rumput, maka perlu dibuat Perda atau minimal Peraturan Gubernur (Pergub yang mengatur tegas soal keberadaan Sampradaya Non Dresta Bali. Dalam hal ini, harus ada formula yang jelas.
“(Dengan Perda atau Pergub, Red) Gubernur Bali bisa menindak bersama bawahannya, tanpa ada rentetan hukum. Demikian juga desa adat. Kita ingin ada aturan yang inline dari atas ke bawah," tegas mantan penyidik di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Provinsi Bali ini kepada NusaBali seusai pertemuan kemarin.
Paparan senada juga disampaikan perwakilan Cakra Wahyu Bali, Made Suasta. Menurut Made Suasta, SKB PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali soal pembatasan aktivitas Sampradaya Non Dresta Bali harus dipertegas dengan regulasi lebih kuat, sehiungga bisa dilakukan penindakan tanpa berimplikasi hukum.
“Tidak hanya sebatas koordinatif dan lepas begitu saja setelah SKB. Artinya, sebuah keputusan itu tidak hanya di tataran elite, tapi bisa diterapkan sampai ke bawah. Kalau hanya selesai di atas, tetap rawan gesekan di tingkat bawah. Apalagi, desa adat itu adalah otonom dan punya dresta masing-masing," tandas Suasta.
Sementara itu, anggota Komisi I DPRD Bali, Dr Somvir, menyatakan mendukung Pokor Hindu Bali untuk memperkuat desa adat. Menurut Dr Somvir, sebetulnya sudah ada keputusan PHDI Bali, MDA Provinsi Bali, dan sikap resmi DPRD Bali terkait keberadaan Hare Krishna atau Sampradaya Non Dresta Bali lainnya yang selama ini menjadi masalah.
Somvir menyebutkan, Hare Krishna, Sai Baba, dan Sampradaya Non Dresta Bali yang semuanya dari India itu ada juga anggotanya aktif di desa adat. "Jadi, harus ada penelitian lebih jelas, jangan sampai ini menjadi konflik baru di Bali. Saya mendukung supaya Sampradaya ini harus hormati desa adat dan upacara di Bali. Saya datang dari India juga, tapi saya dukung MDA Provinsi Bali. Cuma, untuk Sampradaya ini, ke mana mereka bernaung, pembinaan harus dipikirkan supaya mereka gabung ke tradisi," ujar Somvir anggota DPRD Bali dari NasDem Dapil Buleleng ini.
Sedangkan Wakil Ketua DPRD Bali, Nyoman Sugawa Korry, berjanji akan menindaklanjuti aspirasi Fokor Hindu Bali. "Dari seluruh dialog ini, kita semua sepakat menjaga desa adat di Bali. Dengan SKB PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali, harus dilaksanakan sosialiasi yang intensif sehingga tujuan SKB tersebut dipahami dan dimengerti serta dilaksanakan di tingkat bawah," kata Sugawa Korry.
Menurut Sugawa Korry, DPRD Bali akan memberikan dorongan kepada eksekutif dalam hal ini Gubernur Bali agar aspirasi Pokor Hindu Bali ini bisa terwujud. "MDA Provinsi Bali kan fungsinya mengkoordinasikan. Desa adat otonom dan independen. Maka, harus dibangun komunikasi sebaik-baiknya, sehingga keputusan di MDA dan PHDI itu bisa dilaksanakan di level bawah," ujar politisi senior asal Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Buleleng yang juga Ketua DPD I Golkar Bali ini.
Soal adanya aktivitas Hare Krishna dan Sampradaya Non-Dresta Bali lainnya yang melanggar ketertiban serta keamanan dalam artian oknum, menurut Sugawa Korry, DPRD Bali sudah sepakat harus ada sikap tegas. "Kami DPRD Bali sudah putuskan ketika ada yang melanggar hukum, mengganggu keamanan dan ketertiban, maka silahkan ditindak secara hukum," katanya. *nat
Dalam pertemuan tersebut, Wayan Bagiartha Negara menegaskan kehadiran mereka ke DPRD Bali karena adanya situasi tidak kondusif di masyarakat yang bisa menimbulkan konflik horizontal. “Sampradaya Non Dresta Bali secara masif dan terstruktur melakukan aktivitas yang sangat menganggu. Sampai ada penistaan dan penghinaan terhadap simbol leluhur orang Bali," ujar Bagiartha Negara.
Bagiartha Negara menegaskan, kerawanan ini sempat diredam dengan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) PHDI Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali. Namun, SKB PHDI Bali-MDA Provinsi Bali tersebut tidak mengakar di akar rumput.
"Ketika kami turun ke desa adat, pemahaman di akar rumput sangat rendah. Bahkan, ada yang tidak paham sama sekali. Banyak prajuru desa adat terima SKB PHDI Bali-MDA Provinsi Bali ini, tetapi mereka tidak paham esensinya. Ada yang paham esensi setengah, tapi tidak berani melaksanakannya karena bisa berimplikasi hukum," papar Bagiartha.
Menurut Bagiartha, ada kejadian di mana pihak desa adat memasang baliho dan spanduk yang isinya menolak keberadaan Sampradaya Non Dresta Bali. Namun, kemudian ada perintah dari MDA Kecamatan untuk menurunkan baliho dan spanduk tersebut. "Ini yang benar mana? Dalam SKB PHDI-MDA Provinsi Bali kan jelas ada pembatasan. Tapi. Majelis Alit justru mencopot baliho (tolak Sampradaya Non Dresta Bali, Red) yang dipasang desa adat," sesal Bagiartha.
Soal siapa yang akan bertanggung jawab ketika persoalan ini menjadi rentetan hukum, menurut Bagiartha, tidak ada penanggungjawabnya. "Siapa subjek hukum? Siapa objek hukum? Di sini perlu ada ketegasan hukum. Kita bisa mengacu dengan keputusan negara soal organisasi radikal di Indonesia. Ada SKB Menteri secara tertulis, tanpa ada implikasi hukum terkait keputusan SKB terhadap organisasi radikal," papar Bagiartha yang juga Bendesa Adat Gadungan, Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan.
Bagiartha menegaskan, karena SKB PHDI Bali-MDA Provinsi Bali terkait pembatasan aktivitas Sampradaya Non Dresta Bali tidak efektif di akar rumput, maka perlu dibuat Perda atau minimal Peraturan Gubernur (Pergub yang mengatur tegas soal keberadaan Sampradaya Non Dresta Bali. Dalam hal ini, harus ada formula yang jelas.
“(Dengan Perda atau Pergub, Red) Gubernur Bali bisa menindak bersama bawahannya, tanpa ada rentetan hukum. Demikian juga desa adat. Kita ingin ada aturan yang inline dari atas ke bawah," tegas mantan penyidik di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Provinsi Bali ini kepada NusaBali seusai pertemuan kemarin.
Paparan senada juga disampaikan perwakilan Cakra Wahyu Bali, Made Suasta. Menurut Made Suasta, SKB PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali soal pembatasan aktivitas Sampradaya Non Dresta Bali harus dipertegas dengan regulasi lebih kuat, sehiungga bisa dilakukan penindakan tanpa berimplikasi hukum.
“Tidak hanya sebatas koordinatif dan lepas begitu saja setelah SKB. Artinya, sebuah keputusan itu tidak hanya di tataran elite, tapi bisa diterapkan sampai ke bawah. Kalau hanya selesai di atas, tetap rawan gesekan di tingkat bawah. Apalagi, desa adat itu adalah otonom dan punya dresta masing-masing," tandas Suasta.
Sementara itu, anggota Komisi I DPRD Bali, Dr Somvir, menyatakan mendukung Pokor Hindu Bali untuk memperkuat desa adat. Menurut Dr Somvir, sebetulnya sudah ada keputusan PHDI Bali, MDA Provinsi Bali, dan sikap resmi DPRD Bali terkait keberadaan Hare Krishna atau Sampradaya Non Dresta Bali lainnya yang selama ini menjadi masalah.
Somvir menyebutkan, Hare Krishna, Sai Baba, dan Sampradaya Non Dresta Bali yang semuanya dari India itu ada juga anggotanya aktif di desa adat. "Jadi, harus ada penelitian lebih jelas, jangan sampai ini menjadi konflik baru di Bali. Saya mendukung supaya Sampradaya ini harus hormati desa adat dan upacara di Bali. Saya datang dari India juga, tapi saya dukung MDA Provinsi Bali. Cuma, untuk Sampradaya ini, ke mana mereka bernaung, pembinaan harus dipikirkan supaya mereka gabung ke tradisi," ujar Somvir anggota DPRD Bali dari NasDem Dapil Buleleng ini.
Sedangkan Wakil Ketua DPRD Bali, Nyoman Sugawa Korry, berjanji akan menindaklanjuti aspirasi Fokor Hindu Bali. "Dari seluruh dialog ini, kita semua sepakat menjaga desa adat di Bali. Dengan SKB PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali, harus dilaksanakan sosialiasi yang intensif sehingga tujuan SKB tersebut dipahami dan dimengerti serta dilaksanakan di tingkat bawah," kata Sugawa Korry.
Menurut Sugawa Korry, DPRD Bali akan memberikan dorongan kepada eksekutif dalam hal ini Gubernur Bali agar aspirasi Pokor Hindu Bali ini bisa terwujud. "MDA Provinsi Bali kan fungsinya mengkoordinasikan. Desa adat otonom dan independen. Maka, harus dibangun komunikasi sebaik-baiknya, sehingga keputusan di MDA dan PHDI itu bisa dilaksanakan di level bawah," ujar politisi senior asal Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Buleleng yang juga Ketua DPD I Golkar Bali ini.
Soal adanya aktivitas Hare Krishna dan Sampradaya Non-Dresta Bali lainnya yang melanggar ketertiban serta keamanan dalam artian oknum, menurut Sugawa Korry, DPRD Bali sudah sepakat harus ada sikap tegas. "Kami DPRD Bali sudah putuskan ketika ada yang melanggar hukum, mengganggu keamanan dan ketertiban, maka silahkan ditindak secara hukum," katanya. *nat
Komentar