Panglukatan Ramai, Branded Nirmala dan Mitos Populer
GIANYAR, NusaBali
KEBERADAAN tempat malukat atau panglukatan terutama beji dan pantai, ada yang sangat ramai, sedang, hingga sepi umat.
Kondisi itu tak bisa dipungkiri, terutama saat Hari Suci Banyu Pinaruh. Namun keramaian itu tak luput dari keberhasilan pengelolaan tempat malukat. Dampaknya, ada tempat malukat punya branded nirmala atau suci, selebihnya dipromosikan dengan mitos-mitos kerakyatan.
Pencinta seni budaya Bali Kadek Agus Astawa menilai selama ini umat yang malukat sering memfavoritkan tempat tertentu. Ada tempat malukat yang dianggap sangat beraura magis, ada pula yang dianggap beraura sedang dan biasa-biasa. Akibatnya, tempat malukat yang terkenal beraura magis sangat padat didatangi para umat, sedangkan tempat melukat yang dianggap kurang tenget tak banyak menarik pemedek.
Pada dasarnya malukat dilakukan sebagai wujud menyerap daya energi air untuk meneduhkan pikiran. ‘’Padahal, jika hakikat dan maknanya dipahami dengan baik dan benar, sesuai sastra agama Hindu, dimana pun tempat panglukatan itu sama,’’ jelas laki-laki asal Banjar/Lingkungan Pasdalem, Kelurahan Gianyar, Gianyar ini.
Menurut seniman topeng yang akrab dipanggil Dek Dog, selama ini tempat malukat diramaikan umat karena beberapa alasan. Antara lain, tempat tersebut secara langsung dan tak langsung telah dipromosikan oleh pengelola. Biasanya, tempat malukat yang ramai punya tradisi mitos yang kuat. Dalam arti, dikaitkan dengan keberadaan kisah tertentu yang bertalian dengan penyembuhan penyakit atau cerita mistis di tempat melukat.
Menurutnya, semua tempat melukat memiliki mitos tersendiri. Namun yang membedakan ada yang ditulis dan ada yang tidak. Misalnya, mitos atau cerita keberadaan beji desa tak banyak yang ditulis atau pun sampai dipublikasikan.
‘’Akibatnya, ada tempat malukat yang punya branded, popular. Ada juga tempat melukat yang sedang dalam promosi, dan tempat yang jauh dari mitos tentang kekuatan energi air’’ jelasnya.
Menurut Dek Dog, meski sama-sama berlandaskan konsep agama tirta, tradisi malukat berbeda degan nuur (mohon) Tirta Pakuluh, misal untuk karya agung. Jika malukat, bisa dilakukan dimana dan kapan saja sesuai kebutuhan atas tambahan ‘energi baru’ dari kekuatan tirta untuk kehidupan. Sedangkan nuur tirta, patut (wajib) diambil di tempat-tempat atau beji yang telah ditentukan dan waktunya pun pasti.
Malukat Banyu Pinaruh sama dengan malukat Babayuhan di sembilan atau 11 pancoran (kucuran air dari mata air). Dalam arti, dimana saja boleh, asal ada kelebutan (mata air) yang jauh dari kesan leteh (kotor secara niskala) dan sekala atau semacam terjadi pencemaran lingkungan. Intinya, dengan konsep agama tirta ini, untuk malukat banyu pinaruh, tak harus ke tempat-tempat tenget (angker) atau pendeta yang dianggap sakti. Namun seiring dengan kecanggihan teknologi media sosial, banyak umat mendapatkan info-info tentang tempat malukat baru. Tapi tak jarang, ada umat malukat ke tempat-tempat tertentu karena girang kajakan (senang ke tempat tertentu karena diajak-ajak) orang lain. Mereka mendapat tempat malukat, bukan atas pemahaman tentang makna malukat itu sendiri.
‘’Sederhananya, seperti dilakukan para tetua kita sejak lampau bahkan kini, malukat dengan peleburan brahma pun tak masalah,’’ ujar Dek Dog. Peleburan brahma dimaksud dengan cara mengambil air bersih, lanjut dilemparkan ke atas atap dapur. Tetesan air itu lah dipercikkan ke tubuh bahkan diminum, karena diyakini sebagai tirta palebur mala (kotoran diri). Biasanya, sebelum air dilempar ke atas atap dapur, maka disertai mantra (jika mampu mengucapkan) atau ucap-ucap seperti bahasa Bali halus biasa. Ucapan itu, intinya mohon agar Ida Bhatara Brahma mapaica panugerahan tirta palebur mala. Biasanya, tirta ini ‘mujarab’ untuk melebur perasaan leteh saat datang dari upacara kematian di setra (kuburan) atau terbangun dari mimpi buruk. *lsa
1
Komentar