Malukat Tak Mesti di Kerumunan
Banyu Pinaruh di Tengah Pandemi Covid-19
GIANYAR, NusaBali
Ancaman klaster malukat ini tentu tak bisa disebut mengada-ada. Karena di banyak tempat, sebelum Bali dirajam pandemi mulai Maret 2020, tradisi malukat kerap membuahkan kerumunan.
SATGAS Penanggulangan Covid-19 seluruh kabupaten/kota se- Bali, tentu amat galau. Karena penularan pandemi dengan klaster-klaster terbaru, masih sangat mungkin terjadi. Tak terkecuali, klaster malukat (pembersihan diri secara niskala) dengan tirta di tempat-tempat tertentu.
Klaster malukat di beji (sumber mata air), dimaksud jadi ancaman, terutama saat umat Hindu Bali malukat pada Hari Suci Banyu Pinaruh, seperti saat Redite Paing Sinta, Minggu (31/1) ini. Ancaman klaster malukat tentu tak bisa disebut mengada-ada. Karena di banyak tempat, sebelum Bali dirajam pandemi mulai Maret 2020, tradisi malukat ini kerap membuahkan kerumunan. Kondisi akibat dari kebiasaan umat Hidu Bali malukat hanya di beberapa tempat, sehingg numplek. Tempat dimaksud antara lain sejumlah pura yang areanya menyatu dengan beji (area yang berisi mata air atau pancuran yang disucikan), beji, hingga titik-titik pantai tertentu. Fanatisme dan ‘rasa’ berlebihan yang menyatakan beji atau titik pantai tertentu lebih suci, bagus, penuh aura, hingga baik untuk malukat, menjadikan umat kerap menciptakan kerumunan. Selama ini, ahli pandemi mengakui kerumunan merupakan salah satu media paling efektif bagi virus mematikan itu menulari orang-orang sehat .
Penekun sastra Hindu Bali I Dewa Ketut Soma mengakui, jika meyakini malukat sebagai media pelebur mala atau leteh (kotor diri secara niskala), maka akan sanga baik diawali pemahaman tentang praktik agama itu sendiri. Malukat, salah satu praktik agama Hindu yang berlandaskan atas pemahaman tentang konsep agama tirta. Konsep agama ini diyakini kuat oleh pemeluk Hindu baik di Bali, nusantara, bahkan India, karena manusia tercipta dari air. Bentuknya berupa kama bang (sel telur dari Rahim ibu) dan kama putih atau sperma berupa zat utama dari tubuh kaum laki-laki. Dua kama ini bertemu, berproses secara biologis, hingga lahir manusia. ‘’Kita lahir dari zat cair itu, dari air. Sehingga saat meninggal, embali lagi ke air. Terbukti, prosesi pemuliaan roh saat ngaben diakhiri dengan nganyut (melarung abu jenazah),’’ jelas laki-laki asal Desa Satra, Kecamatan Klungkung ini.
Menurut Dewa Soma, dari konsep agama tirta itu, salah satunya diperkuat dengan tradisi ritual Banya Pinaruh. Ritual ini bermakna penajaman budi dan pikiran dalam penguasaan ilmu pengetahun (pinaruh) atau wruh, bersarana air, tirta (banyu). Puncak penajaman itu terjadi melalui rasa syukur dan berterima kasih atas kekuatan Sang Hyang Aji Sarawati, Sang Maha Pengetahuan, sehari sebelum Banyu Pinaruh.
‘’Setelah Banyu Pinaruh, pengetahuan dihormati dan diabdikan untuk kerahayuan bersama, buka untuk menghancurkan,’’ jelasnya.
Jelas Dewa Soma, malukat untuk membersihkan diri dan lebih meresapkan ilmu pengetahuan ke diri. Maka umat sedapat mungkin malukat ke sumber-sumber mata air. Misalnya, ke patirtaan, kelubatan, pancoran, anakan, atau pantai yang merupakan gabungan dari pelbagai air mengalir ke sungai. Malukat juga bisa ke sulinggih dengan air yang telah deri kekuatan puja mantra. Bisa juga malukat secara sederhana. Dengan menghaturkan canang di tempat yang airnya dianggap bersih dan suci. ‘’Makanya, di tengah pandemi Covid-19 ini, malukat tak harus ke beji ramai, atau beji ada pura, atau pantai,’’ ujarnya.
Dewa Soma.
Jika mengacu oemahamna tentang agamar tirta tersbeut, jelas Dewa Soma, umat Hindu tak perlu jauiyh-jauh, apakagi berdsakan berubut air suci. Karena kebaisaan itu akan sangat tak cocok untuk pencegaahoenularan pandemic Covid-19. Demi keamanan bersama dan terjauhkan dari pandei ini, sebaiknya masyakat mengatur diri saat malukat hinggatak terjadi kerumunan.
Menurutnya, apa pun keadaan jagat ini, malukat tak boleh dilarang. ‘’Karena malukat ini bagian dari tradisi ritual Hindu Bali yang sangat penting bagi kehidupan baik sekala dan niskala,’’ jelas pegawai di Dinas Kebudayaan Klungkung ini.
Terkait fanatisme umat malukat hanya ke tempat tertentu, jlas Dew soma, sebaiknya fanatisme itu perlu diluruskan. Karena air dari semua mata air berupa bulakan, pancoran, kelebutan, pantai, memiliki kasiat yang sama. Karena semua air embas (mengalir) dari urat nadi alam. Oleh karena itu, para tokoh adat, agama, prajuru desa, agar memberikan pemahaman, bahwa dimana pun ‘kasiat’ air itu sama sepanjang bersih dan tempatnya disucikan. ‘’Tak mesti malukat harus ke beji pura, apalagi dengan cara rebutan air hingga berkerumun. Ini jelas bahaya di tengah pandemi,’’ ujarnya. *wilasa
1
Komentar