Mengintip Bonus Demografi di Kala Pandemi
Data Sensus Penduduk 2020 yang baru dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa jumlah penduduk di Provinsi Bali adalah sebanyak 4,32 Juta Jiwa, atau naik sebesar 426,65 ribu bila dibandingkan dengan kondisi pada Tahun 2010.
Penulis : Sony Puji Triasmoro, SST.
Statistisi Muda di BPS Kabupaten Badung
Selain angka tersebut, hajatan demografi rutinan sepuluh tahun sekali tersebut juga memberikan informasi terkait persentase penduduk usia produktif (15-64 tahun) di Provinsi Bali yakni sebesar 70,96 persen. Dengan demikian rasio ketergantungan (Dependency Ratio) pada tahun tersebut berada pada angka 40,9 yang dapat dimaknai untuk setiap 100 penduduk usia produktif, mereka harus menanggung sebanyak 41 penduduk usia non produktif. Semestinya jika melihat angka tersebut kita dapat membayangkan ilustrasi betapa menjanjikannya kondisi ekonomi sebuah keluarga apabila dari lima anggota keluarga tersebut hanya dua yang tidak produktif alias tidak bekerja dan tiga anggota keluarga lainnya produktif alias bekerja.
Ilustrasi tersebut mungkin dapat menunjukkan gambaran suatu periode dalam ilmu kependudukan yang disebut sebagai bonus demografi. Bonus demografi sendiri secara sederhana dapat diartikan pada kondisi dimana struktur penduduk didominasi oleh penduduk usia produktif, yakni penduduk yang berusia 15 sampai dengan 64 tahun. Untungnya, untuk Indonesia, masa periode bonus demografi tersebut diprediksi akan terus berlangsung hingga tahun 2030. Artinya kesempatan yang sangat langka tersebut mestinya menjadi satu peluang ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia dan di Provinsi Bali pada khususnya karena tentunya dengan sumber daya jumlah penduduk produktif yang tinggi dapat menggerakkan roda perekonomian sehingga pendapatan per kapita akan meningkat dan berujung pada kesejahteraan masyarakat.
Gambaran manis tersebut tentunya memiliki berbagai asumsi yang harus menyertai agar jendela kesempatan (window of opportunity) itu tidak berlalu dengan percuma. Asumsi dasar pertama yang harus dipenuhi adalah kualitas dari penduduk usia produktif tentunya harus benar-benar berkualitas. Asumsi kedua yang tidak kalah pentingnya adalah lapangan perkerjaan yang masif dan berkualitas harus dibuka sebanyak mungkin di berbagai sektor perekonomian untuk menampung para penduduk usia produktif tersebut.
Namun harapan serta prediksi tidak mesti berjalan seiring sejalan. Upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam usahanya mengecap manisnya bonus demografi seakan-akan sirna semenjak tahun lalu muncul virus baru yang bernama Coronavirus Disease-19 (Covid-19). Munculnya virus ini membuat perekonomian di Bali selama setahun terakhir ini berkontraksi negatif dan mengalami resesi. Pandemi yang telah berulang tahun pertamanya ini menghantam sektor perekonomian Bali yang selama ini mengandalkan dan bertumpu kepada sektor pariwisata. Terguncang hebatnya perekonomian di Bali dibandingkan daerah lain di Indonesia diakibatkan karena sektor pariwisata adalah sektor yang mengandalkan pergerakan, aktifitas rekreasi dan aktifitas hiburan manusia. Kegiatan-kegiatan inilah yang sementara waktu harus dihentikan atau dibatasi agar penyebaran cirus Covid-19 ini terkendali dan tidak semakin menyebar.
Berdasarkan data dari BPS Provinsi Bali, sejak pandemi Covid-19 ini bermula di periode awal tahun 2020, telah mengakibatkan perekonomian Bali tumbuh negatif berturut-turut selama tiga kuartal. Dan tentunya bisa dipastikan bahwa angka Pertumbuhan ekonomi Bali pada tahun 2020 secara total akan terkontraksi cukup dalam. Akibat pandemi inilah yang menyebabkan peluang Indonesia merasakan manfaat bonus demografi semakin mengecil.
Di tengah upaya menurunkan angka kasus terkonfirmasi yang kian hari semakin meningkat, peluang memaksimalkan bonus demografi yang tidak terulang lagi dalam seratus tahun mendatang tetap harus diupayakan. Mengapa? Karena jumlah penduduk usia produktif yang besar, bagai pisau permata dua yang dapat menjadikan kebahagiaan maupun menjadi bencana. Apabila penduduk usia produktif tersebut tidak berkualitas dan mempunya keahlian, ditambah dengan tidak adanya lapangan kerja yang menampung mereka, maka menjadikan momentum yang bernama bonus demografi ini akan berakhir sia-sia dan lebih parahnya lagi menjadi bencana demografi. Bencana demografi yang dimaksud tersebut dapat berupa pengangguran yang tinggi serta ditambah dengan kemiskinan yang meningkat.
Data Ketenagakerjaan Provinsi Bali, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional Agustus 2020 menunjukkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Bali berada pada angka 5,63 persen. Angka ini meningkat hampir 4 kali lipat apabila dibandingkan periode yang sama tahun 2019 yang berkisar hanya 1,52 persen. Angka pengangguran yang meningkat sangat tinggi ini menjadi alarm bagi stakeholder terkait dalam kaitannya melihat peluang manfaat bonus demografi. Ketiadaan lapangan kerja yang dapat menampung penduduk usia produktif ini harus segera diberikan solusi. Tidak hanya bagi pemenuhan kebutuhan pokok mereka, tetapi juga untuk jangka panjang kesempatan bonus demografi dapat dimanfaatkan secara optimal.
Kenaikan angka pengangguran akibat pandemi Covid-19 ini jika dikaitkan dengan potensi bonus demografi tentunya menyedihkan. Besarnya tenaga kerja produktif yang tersedia tidak bisa terserap akibat beberapa sektor ekonomi yang terpaksa harus berhenti akibat tidak adanya aktifitas pariwisata. Walaupun pemerintah pusat maupun provinsi sudah mencanangkan apa yang disebut sebagai adaptasi kebiasan baru atau era new normal agar sektor ekonomi dapat terus berjalan, namun kebijakan tersebut tidak serta merta dapat langsung membuat sektor pariwisata yang menjadi pondasi perekeonomian Bali dapat bangkit dengan secepatnya. Apalagi mengingat ujung pandemi ini belum dapat diprediksi kapan akan berakhir.
Tentunya kita tidak bisa melupakan asumsi pertama agar bonus demografi dapat menjadi pintu masuk kesejahteraan yakni meningkatkan kualitas penduduk usia produktif. Jalan termudah adalah melalui pendidikan, dan kita semua tahu akibat pandemi ini kualitas pembelajaran di sekolah tidak semaksimal yang bisa diberikan di masa normal. Semenjak akhir maret tahun lalu sampai dengan sekarang, sekolah masih ditutup dan pembelajaran dilakukan secara daring. Hal ini menyebabkan terjadinya potensi penurunan kualitas pendidikan.
Tentunya strategi pembelajaran yang sudah dirancang oleh pemerintah tersebut harus tetap mempertimbangkan keefektifan pembelajaran dan muaranya adalah kualitas pendidikan yang tidak mengalami penurunan. Generasi muda (usia 15-40 tahun) juga harus dibekali dengan keterampilan, kemampuan berwirausaha, penguasaan teknologi informasi, dan soft skill yang memadai agar mereka dapat berkontribusi maksimal di pasar kerja meskipun di tengah pandemi. Sehingga apabila tiba waktunya pandemi ini berakhir, mereka sudah dibekali dengan senjata yang dapat digunakan untuk memutar roda perekonomian lebih cepat sehingga kita tidak masuk ke dalam bahaya apa yang disebut fenomena middle income trap, yaitu suatu kondisi ketika sebuah negara yang telah berhasil memasuki kelompok middle income terjebak dalam stagnasi pertumbuhan ekonomi. Sehingga berakibat negara tersebut tak juga beranjak menjadi negara maju (high income country).
Akhirnya semua pihak harus terus yakin bahwa pandemik ini akan segera berakhir. Memang dunia tidak akan lagi kembali seperti semula. Tetapi peluang bonus demografi tidak akan terulang kembali. Sehingga peluang untuk masuk ke jajaran negara maju harus terus diupayakan oleh berbagai pihak dan tentunya membutuhkan sinergitas dari kita semua.
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar