Krama Usung Bade Harus Nyeberangi Sungai
Krama Banjar Tegalambengan, Desa Pakraman Sudimara, Kecamatan/Kabupaten Tabanan harus terjun menyeberangi sungai jika hendak menuju setra (kuburan) untuk lakukan upacara kematian (Pitra Yadnya).
Lokasi Setra Diapit Sungai di Banjar Tegalambengan, Sudimara, Tabanan
TABANAN, NusaBali
Maklum saja, lokasi setra berada di antara dua tukad (sungai) dan kebun milik warga banjar lain. Kelian Dinas Banjar Tegalambengan, I Kade Suanada,53, mengungkapkan hanya krama Banjar Tegalambengan saja menuju ke setra harus melewati sungai. Hal ini dilakukan karena setra diapit dua sungai, yakni Sungai Yeh Nu di sebelah timur dan Sungai Yeh Empas di sebelah barat. "Selain diapit dua sungai, di sebelah utaranya ada tegalan warga yang jaraknya cukup jauh, namun tidak ada jalan menuju ke setra. Kondisi geografisnya memang seperti itu," ungkap Suanada saat ditemui, Sabtu (19/11).
Menurutnya posisi setra tersebut berada di sebelah utara banjar dengan jarak sekitar 800 meter. Sedangkan dari sungai yang lebarnya 10 meter menuju ke setra berjarak kira-kira 50 meter. Semua perlengkapan upacara baik bade, dan upakara, harus dibawa melewati sungai selebar 10 meter itu, sebab merupakan jalan satu-satunya.
Biasanya krama lebih senang jika airnya setinggi dada orang dewasa, dibandingkan selutut. Jika airnya tinggi (sedada orang dewasa), bade dan peralatan lainnya tinggal didorong saja di atas air. "Sudah pasti krama basah-basahan,” katanya. Apakah upacaranya berbeda? Suanada mengatakan tak ada bedanya kalau soal upacaranya. Hanya saja kebanyakan krama melaksanakan upacara ngelanus (tanpa ada batas waktu) artinya selesai melaksanakan upacara pengabenan (membakar mayat) langsung melaksanakan upacara meperoras (upacara meningkatkan kesucian roh) hingga langsung ngelinggihan Dewa Pitara (roh sudah suci) di merajan rong telu rumah krama bersangkutan. "Jarang ada krama yang meninggal dikubur, melainkan langsung dilakukan pembakaran, setelah itu langsung ngayut (pengembalian uncur Panca Maha Bhuta) di sungai ini," tutur Suanada.
Pengalaman unik pernah dialami warga sekitar dua tahun lalu. “Karena arus sungai cukup deras saat itu kompor pembakar mayat sampai hanyut saat diseberangkan ke setra. Namun insiden yang lebih fatal dari itu belum pernah terjadi,” katanya. Biasanya kalau air sungai deras, saat nyeberang dibentangkan tali untuk berpegangan. Ada juga sampai dibikinkan rakit agar lebih gampang nyeberang.
Suanada menambahkan setra seluas 10 are itu sudah sejak dulu berlokasi di sana. Karena kondisinya diapit dua sungai saat ini areal setra sudah terkikis sekitar 10 meter. "Makanya saat ini krama setempat sudah menanami pohon bambu agar tidak makin tergerus air," imbuh Suanada.
Apakah ke depan akan membangun jembatan, Suanada mengaku belum ada rencana, sebab ada sejumlah pertimbangan yang harus dibicarakan bersama dengan krama adat. Sementara salah seorang krama yang anggota keluarganya diaben, Jumat (18/11) lalu, Luh Putu Pasmiati, 29, mengaku tidak ada kendala pada jalannya upacara meskipun harus melewati sungai. Hanya saja saat membawa upakara memakai rakit dari bambu. "Karena ini sudah kebiasaan kami walapun sulit dan basah-basahan ya tidak masalah," ungkap wanita asal Kediri yang menikah ke Banjar Tegalambengan ini. * cr61
1
Komentar