Dampak Covid-19, Penenun Dirumahkan
Sejak Covid-19 permintaan pasar terus menurun hampir 80 persen, hanya ada beberapa saja.
GIANYAR, NusaBali
Dampak pandemi Covid-19, usaha pembuatan kain tenun sutra Sritama Tenun Ikat di Banjar Sema, Desa Pering, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, mengalami penurunan omzet. Akibatnya, beberapa penenun terpaksa dirumahkan. Meski demikian, usaha tenun ini mencoba tetap bertahan.
Pemilik Sritama Tenun Ikat Wayan Sutama,44, menuturkan di masa pandemi Covid-19, proses pembuatan kain tenun sutra masih berjalan. Hanya saja jumlah penenun hanya sebagian dari biasanya. Sebelum pandemi Covid-19, ada 48 penenun, ditambah tenaga motif atau tukang bebed 8 orang, tukang sapih atau tukang kincir 4 orang, tukang pempen atau tukang kelos 4 orang, dan tukang sasah 2 orang. Total, 66 orang, belum termasuk tukang yang memborong di luar. "Saat ini penenun hanya 18 orang ditambah tukang lainnya 7 orang," jelasnya.
Kondisi itu, jelas Sutama, karena omzet usaha tenun tersebut menurun drastis pasca pandemi Covid-19. Sehingga dia terpaksa mengurangi jumlah penenun. "Sejak Covid-19 permintaan pasar terus menurun hampir 80 persen, hanya ada beberapa saja. Kalau sebelum Covid-19, kami sampai kekurangan barang, dan tidak pernah punya stok," tegasnya.
Berkurangnya jumlah penenun juga berpengaruh pada produksi kain. Jika sebelum pandemi Covid-19 bisa memproduksi kain 250 - 300 lembar per minggu, kini hanya memproduksi kain apabila ada pesanan. Motif kain yang dibuat tergantung permintaan pelanggan. Biasanya pelanggan langsung memberikan contoh. "Kalau kami jarang membuat motif sendiri," lanjutnya.
Untuk menyelesaikan satu kain, membutuhkan waktu 6 - 7 jam tergantung dari kecakapan tukang tenun. Bahkan kadang bisa selesai 1,5 potong kain per 8 jam. "Untuk bahan yang saya gunakan khusus benang sutra," imbuh Sutama.
Lebih lanjut Sutama menjelaskan jika selama ini dirinya tidak mengalami kendala berarti selama proses menenun. "Hanya saja dari nenun benang metris beralih ke benang sutra itu harus belajar lagi. Kalau sudah memahami dan sudah terbiasa nenun, tidak begitu lama belajar," sebutnya.
Pria yang memulai usaha sekitar tahun 2000 ini menghabiskan modal Rp 30 juta. Sejatinya usaha tersebut dari orang tuanya, kemudian tahun 1997 mengalami krisis. Namun tahun 2000 dibangkitkan kembali. Saat itu, kata dia, masih memproduksi kain metris endek dan tahun 2006 beralih ke sutra sampai saat ini. Harga selembar kain sutra antara Rp 350.000 - Rp 400.000, pemasaran masih di Bali.
Salah seorang penenun Ni Wayan Supadmi mengatakan menenun sutra memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Karena benang sutra halus dan benangnya perhelai lebih kecil dari benang katun. "Sedangkan kalau endek kerjanya lebih cepet dapat persarungnya," ujar penenun sejak 15 tahun tersebut. *nvi
Pemilik Sritama Tenun Ikat Wayan Sutama,44, menuturkan di masa pandemi Covid-19, proses pembuatan kain tenun sutra masih berjalan. Hanya saja jumlah penenun hanya sebagian dari biasanya. Sebelum pandemi Covid-19, ada 48 penenun, ditambah tenaga motif atau tukang bebed 8 orang, tukang sapih atau tukang kincir 4 orang, tukang pempen atau tukang kelos 4 orang, dan tukang sasah 2 orang. Total, 66 orang, belum termasuk tukang yang memborong di luar. "Saat ini penenun hanya 18 orang ditambah tukang lainnya 7 orang," jelasnya.
Kondisi itu, jelas Sutama, karena omzet usaha tenun tersebut menurun drastis pasca pandemi Covid-19. Sehingga dia terpaksa mengurangi jumlah penenun. "Sejak Covid-19 permintaan pasar terus menurun hampir 80 persen, hanya ada beberapa saja. Kalau sebelum Covid-19, kami sampai kekurangan barang, dan tidak pernah punya stok," tegasnya.
Berkurangnya jumlah penenun juga berpengaruh pada produksi kain. Jika sebelum pandemi Covid-19 bisa memproduksi kain 250 - 300 lembar per minggu, kini hanya memproduksi kain apabila ada pesanan. Motif kain yang dibuat tergantung permintaan pelanggan. Biasanya pelanggan langsung memberikan contoh. "Kalau kami jarang membuat motif sendiri," lanjutnya.
Untuk menyelesaikan satu kain, membutuhkan waktu 6 - 7 jam tergantung dari kecakapan tukang tenun. Bahkan kadang bisa selesai 1,5 potong kain per 8 jam. "Untuk bahan yang saya gunakan khusus benang sutra," imbuh Sutama.
Lebih lanjut Sutama menjelaskan jika selama ini dirinya tidak mengalami kendala berarti selama proses menenun. "Hanya saja dari nenun benang metris beralih ke benang sutra itu harus belajar lagi. Kalau sudah memahami dan sudah terbiasa nenun, tidak begitu lama belajar," sebutnya.
Pria yang memulai usaha sekitar tahun 2000 ini menghabiskan modal Rp 30 juta. Sejatinya usaha tersebut dari orang tuanya, kemudian tahun 1997 mengalami krisis. Namun tahun 2000 dibangkitkan kembali. Saat itu, kata dia, masih memproduksi kain metris endek dan tahun 2006 beralih ke sutra sampai saat ini. Harga selembar kain sutra antara Rp 350.000 - Rp 400.000, pemasaran masih di Bali.
Salah seorang penenun Ni Wayan Supadmi mengatakan menenun sutra memiliki tingkat kesulitan tersendiri. Karena benang sutra halus dan benangnya perhelai lebih kecil dari benang katun. "Sedangkan kalau endek kerjanya lebih cepet dapat persarungnya," ujar penenun sejak 15 tahun tersebut. *nvi
Komentar