Pesan saat Diwisuda
Vedam anucyā-cāryo-nte vāsinam anusāsti, satyam vada, dharmam cara, Svādhyā-yānmā pramadah, ācāryāya priyam dhanam-āhrtya Prajātantum mā vyavac-chetsih, satyānna pramadi tavyam, Dharmānna pramadi-tavyam, kusalānna pramadi-tavyam, Bhutyai na pramadi-tavya
Setelah akhir pembelajarn Veda, guru berpesan kepada para murid: bicara kebenaran, lakukan kewajiban, jangan mengelak dari belajar Veda, jangan memotong garis keturunan, memberi daksina kepada guru sesuai keinginannya. Jangan pernah melenceng dari kebenaran, jangan lepas dari kewajiban, jangan mengabaikan kesejahteraan sendiri, jangan mengabaikan kemakmuran sendiri, jangan mengabaikan belajar dan menyebarkan Veda.
Saat murid diwisuda dan tamat sekolah, mereka diberikan pesan terakhir. Paling tidak ada tujuh pesan. Pertama, satyam vada, yakni bicara kebenaran, tidak pernah melenceng dari prinsip kebenaran. Kedua, dharmam cara, yakni berperilaku dharma, melakukan kewajiban apapun yang ditimpakan padanya. Ketiga, melanjutkan keturunan. Keempat, memberi donasi kepada guru pengajar. Kelima, memperhatikan kesejahteraan dan kemakmuran sendiri. Keenam, tidak putus-putus belajar Veda. Dan ketujuh, ikut serta menyebarluaskan ajaran Veda. Pesan pertama dan kedua ditujukan untuk internal murid, bersifat ke dalam. Pesan ketiga, keempat dan kelima tentang kontribusi, yakni kontribusi untuk diri sendiri dengan memperhatikan kesejahteraan, kontribusi generic dengan melanjutkan keturunan, dan kontribusi kepada orang lain melalui charity. Pesan keenam dan ketujuh berhubungan dengan pemertahanan tradisi, yakni tradisi belajar dan upaya transfer tradisi itu ke generasi berikutnya.
Jika ketujuh pesan itu berhasil dilaksanakan oleh setiap murid yang telah tamat, itu menandakan bahwa pendidikan telah berhasil. Pendidikan mampu membangun karakter pribadi yang tangguh dan bermartabat, membagun SDM yang terampil dan siap bersaing di bursa kerja, membangun SDM yang humanis dengan ikut memikirkan kesejahteraan diri sendiri dan orang lain, membangun SDM yang paham dan cinta dengan tradisinya, serta membangun literasi yang baik di masyarakat. Jika bertentangan dengan ketujuh pesan tersebut, itu artinya dunia pendidikan mesti melakukan perbaikan secara mendasar.
Dalam konteks kehidupan dewasa ini, baik dalam hubungan tatap muka maupun di media sosial, ukuran akan sukses atau tidaknya system pendidikan dapat dengan mudah diketahui. Jika banyak berita hoax dan ujaran kebencian tersebar di media sosial dan yang berkontribusi di dalamnya adalah orang yang telah diwisuda (sarjana) itu artinya pesan ‘satyam vada’ tidak sampai pada murid yang diwisuda. Dia duluan tamat ketimbang kapasitas karakternya. Jika kemudian orang berperilaku adharma dan yang berkecimpung di dalamnya adalah mereka yang telah dinyatakan lulus belajar, itu artinya pesan ‘dharmam cara’ telah gagal. Demikian seterusnya sampai pesan ketujuh.
Bagaimana caranya agar pendidikan mampu mencapai dari ketujuh pesan tersebut? Pendidik harus memastikan bahwa murid telah memiliki kapasitas tersebut di dalam dirinya. Kuncinya disini, dan disini pula missing-nya. Bagaimana kita bisa memastikan bahwa anak yang diwisuda nanti benar-benar memiliki kapasitas itu? Setiap sistem pendidikan pasti memiliki regulasi yang tujuannya untuk itu, tetapi sering tidak sesuai. Dimana letak kekeliruannya? Apakah metode mengajarnya? Atau Silabusnya? Apakah pengajarnya? Atau muridnya? Mungkin kita bisa menggali nilai tersembunyi dari ketujuh pesan itu.
Pesan keenam adalah tidak putus-putus belajar Veda. Disini peserta didik yang telah diwisuda, meskipun nantinya tidak lagi di kelas, ia disarankan untuk tetap belajar Veda sepanjang hayat. Artinya, setelah tamat pembelajaran pun terus berlangsung. Bagaimana caranya agar anak didik untuk secara sadar mau belajar sepanjang hidupnya? Sementara dewasa ini, sebagian besar berpikir bahwa wisuda adalah batas akhir mereka belajar. Bahkan yang lebih tragis, saat sedang menempuh kuliah pun mereka tidak serius belajar, apalagi setelah tamat. Mungkin seni mengajar di zaman dulu yang perlu diintip. Seperti apa seninya? Para guru tidak saja mentransfer pengetahuan kepada anak-anak, atau menjejali mereka dengan berbagai pelajaran, melainkan guru mesti mampu merangsang tumbuhnya benih yang ada di dalam diri anak untuk mencintai pelajaran. Jika cinta akan pengetahuan telah tumbuh pada diri masing-masing anak, maka secara otomatis mereka terus belajar. Jadi, kondisioningnya lebih penting ketimbang pengetahuan yang hendak diajarkan. Seperti apa seni itu? Mari kita temukan.
I Gede Suwantana
Komentar