Lokasi Ceruk Masuk Zona Green Belt Proyek Bendungan Tamblang
Ceruk Terpahat pada Tebing Batu Ditemukan di Banjar Kawanan, Desa Bila, Kecamatan Kubutambahan
Kepala Balai Arkeologi Denpasar, I Gusti Made Suarbhawa, mengatakan ceruk yang ditemukan terpahat pada tebing di DAS Tukad Aya kawasan Desa Bila ini dulunya berfungsi sebaga tempat bertapa
SINGARAJA, NusaBali
Sebuah ceruk yang terpahat pada tebing batu ditemukan di Banjar Kawanan, Desa Bila, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng. Ceruk pada tebing batu yang masuk Zona Green Belt kawasan Bendungan Tamblang ini pun sempat ditinjau tim gabungan dari Balai Arkeologi Denpasar, Balai Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Bali, Dinas Kebudayaan Kabupa-ten Buleleng, Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida Kementerian PUPR, dan aparat Desa Bila, Rabu (10/2) siang.
Ceruk pada tebing batu ini ditemukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tukad Aya, yang kini sedang dalam pengerjaan proyek Bendungan Tamblang. Ceruk ini berada di lahan milik keluarga Ketut Gerinda, 77, tepat sisi timur proyek Bendungan Tamblang. Ceruk ini masuk pada Zona Green Belt Bendungan Tamblang---proyek yang berada di perbatasan 4 desa bertetangga, yakni Desa Bila (Kecamatan Kubutamba-han), Desa Sawan (Kecamatan Sawan), Desa Bebetin (Kecamatan Sawan), Desa Sawan (Kecamatan Sawan), dan Desa Bontihing (Keca-matan Kubutambahan).
Pemilik lahan di mana ceruk ditemukan, Ketut Gerinda, mengatakan ceruk yang terpahat di batu berukuran panjang 7 meter dan tinggi 3 meter itu selama ini dipakai sebagai tempat penyimpanan kayu bakar. “Saya sudah temukan ceruk seperti ini, saya kira batu biasa. Karena tidak ada apa-apa dan saya juga biasa-biasa saja, tidak pernah tahu apa sebenarnya batu ini. Saya juga tidak pernah bertanya sama bapak saya, karena sama bodohnya,” ungkap Ketut Gerinda di lokasi temuan ceruk, Rabu kemarin.
Setelah ditelisik oleh tim peneliti Balai Arkeologi Denpasar, ternyata di lahan milik keluarga Ketut Gerinda ditemukan tiga ceruk, dengan ukuran berbeda. Dua ceruk masih dalam keadaan utuh, berada di batuan besar. Sedangkan satu ceruk lainnya berada di pinggiran tebing batu yang lokasinya lebih di atas. Ceruk utama berada pada batuan yang menapak tanah. Panjang ceruk saat diukur tim mencapai 2,65 meter, lebar 1,49 meter, dan tinggi 1,25 meter.
Kepala Balai Arkeologi Denpasar, I Gusti Made Suarbhawa, mengatakan ceruk yang ditemukan di DAS Tukad Aya kawasan Desa Bila ini belum dapat diperkirakan secara pasti angka tahun pembuatannya. Namun, dari dimensi dan bentuk benda yang diduga cagar budaya ini, dipastikan sebagai ceruk yang berfungsi sebaga tempat mencari ketenangan atau tempat bertapa pada zaman dulu.
“Kalau angka tahunnya belum dapat dipastikan, karena belum kami temukan pertanggalan. Ini perlu penelitian lebih lanjut. Tetapi, secara konteks, ceruk ini dulunya dimanfaatkan sebagai tempat pertapaan. Kalau ditarik benang merah dengan tinggalan sejarah lainnya di sekitar DAS Tukad Aya, ceruk ini diperkirakan berasal dari abad XI atau zaman Bali Kuno,” jelas IGM Suarbhawa seusai tinjau lokasi ceruk di Desa Bila, Rabu kemarin.
Menurut Suarbhawa, ceruk ini dipastikan buatan tangan manusia menggunakan teknologi modern pada zamannya. Ceruk saat ini masih utuh di lahan milik Ketut Gerinda, tapi diperkirakan sudah bergeser dari tempatnya semula karena bencana alam. Untungnya, bebatuan yang berisi dua ceruk saat ini masih utuh.
Suarbhawa menyebut tinggalan sejarah berupa ceurk ini ditemukan pada tebing batu. Dimensinya ada kemiripan dengan ceruk yang ditemukan di Tabanan dan Gianyar. “Ceruk ini memang lazim ditemukan di ketinggian tebing, karena dipakai tempat bertapa pada zaman dulu. Tetapi, yang ini nampak sudah terkena longsor,” imbuh Suarbhawa.
Suarbhawa menyebutkan, keberadaan ceruk di Desa Bila ini merupakan bukti bahwa keberadaan Tukad Aya sangat penting sejak zaman dulu, zaman sekarang, hingga zaman yang akan datang. Hal itu dibuktikan dengan sejumlah temuan tinggalan sejarah dari hulu hingga hilir Tukad Aya, yang menunjukkan bukti kehidupan yang sangat kuat.
Di bagian hulu DAS Tukad Aya yang berada di Desa Pakisan, Kecamatan Kubutambahan ada tinggalan prasasti yang menyebut soal masyarakat Desa Pakuan dan Desa Bengkala (Kecamatan Kubutambahan). Prasasti dan tinggalan sejarah berupa sarkofagus lainnya juga ditemukan di Desa Sawan, Desa Bila, dan Desa Bengkala. Termasuk sejumlah relief di tebing-tebing Tukad Aya yang mengindikasi semacam tempat pemujaan. Selain itu, saat penggalian proyek Bendungan Tamblang juga ditemukan terowongan irigasi. “Setidaknya ada benang merah Tukad Aya termanfaatkan untuk kebutuhna dan kesejhateraan yang sam untuk masyarakat di seputraan DAS,” tegas Suarbhawa.
Suarbhawa pun berharap temuan-temuan tinggalan sejarah di DAS Tukad Aya selanjutnya agar dipelihara oleh masyarakat sekitar. Sejumlah temuan di sekitar DAS Tukad Aya, secara niskala merupakan penanda bahwa daerah itu sudah ada yang memanfaatkan dan tidak boleh ada orang lain yang memanfaatkannya.
Menurut Suarbhawa, potensi sejarah yang ada di sepanjang Tukad Aya sangat memungkinkan untuk dilakukan penelitian lebih serius. Namun, hal itu memerlukan sinergisitas dari seluruh pihak terkait, termasuk Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng untuk penetapan objek sebagai cagar budaya.
Suarbhawa pun meminta masyarakat dan pemerintah Desa Bila agar merawat tinggalan sejarah berupa ceruk ini dengan baik, sehingga ke depannya dapat ditata sebagai penunjang keberadaan Bendungan Tamblang. “Kami sarankan untuk dibuatkan akses yang memadai, sehingga bendungan bisa bercerita dengan didukung bukti budaya ini. Jadi, Bendungan Tamblang bukan hanya jadi sarana penyediaan air bersih, tetapi juga bisa sebagai objek wisata konservasi terkait tinggalan sejarahnya.”
Sementara iyu, Direksi Teknis BWS Bali Penida Kementerian PUPR, Nengah Sudiarta, mengatakan posisi ceruk yang ditemukan di Desa Bila aman dari proyek Bendungan Tamblang. “Posisinya ada di Zona Green Belt Bendungan Tamblang, yang nanti berada di atas genangan, sehingga aman. Sedang dikaji akses jalannya, apakah masih layak dibuatkan jalan atau ada akses lain,” papar Nengah Sudiarta yang kemarin ikut tinjau ceruk.
Sementara itu, Perbekel Bila, I Ketut Citarja Yudiarta, berharap ke depannya dapat difasilitasi untuk penataan temuan sejarah di sekitar DAS Tukad Aya oleh pengelola Bendungan Tamblang. “Pikiran kami memang ada keinginna untuk menata kawasan ini menjadi objek pariwisata penunjang bendungan dengan sejarahnya. Kami yang berada di sisi timur bendungan berharap bisa mendapatkan akses dari pemerintah terkait pengembangan desa,” ujar Ketut Citarja.
Sedangkan Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng, Gede Dody Sukma Oktiva Askara, menyebutkan tahun 2021 ini pihaknya menyiapkan anggaran untuk pelatihan dan sertifikasi tim ahli cagar budaya. “Harapannya, dengan pembentukan tim ahli di kabupaten, dapat segera menetapkan sejumlah benda, situs, budaya menjadi cagar budaya,” harap Dody Sukma. *k23
Ceruk pada tebing batu ini ditemukan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tukad Aya, yang kini sedang dalam pengerjaan proyek Bendungan Tamblang. Ceruk ini berada di lahan milik keluarga Ketut Gerinda, 77, tepat sisi timur proyek Bendungan Tamblang. Ceruk ini masuk pada Zona Green Belt Bendungan Tamblang---proyek yang berada di perbatasan 4 desa bertetangga, yakni Desa Bila (Kecamatan Kubutamba-han), Desa Sawan (Kecamatan Sawan), Desa Bebetin (Kecamatan Sawan), Desa Sawan (Kecamatan Sawan), dan Desa Bontihing (Keca-matan Kubutambahan).
Pemilik lahan di mana ceruk ditemukan, Ketut Gerinda, mengatakan ceruk yang terpahat di batu berukuran panjang 7 meter dan tinggi 3 meter itu selama ini dipakai sebagai tempat penyimpanan kayu bakar. “Saya sudah temukan ceruk seperti ini, saya kira batu biasa. Karena tidak ada apa-apa dan saya juga biasa-biasa saja, tidak pernah tahu apa sebenarnya batu ini. Saya juga tidak pernah bertanya sama bapak saya, karena sama bodohnya,” ungkap Ketut Gerinda di lokasi temuan ceruk, Rabu kemarin.
Setelah ditelisik oleh tim peneliti Balai Arkeologi Denpasar, ternyata di lahan milik keluarga Ketut Gerinda ditemukan tiga ceruk, dengan ukuran berbeda. Dua ceruk masih dalam keadaan utuh, berada di batuan besar. Sedangkan satu ceruk lainnya berada di pinggiran tebing batu yang lokasinya lebih di atas. Ceruk utama berada pada batuan yang menapak tanah. Panjang ceruk saat diukur tim mencapai 2,65 meter, lebar 1,49 meter, dan tinggi 1,25 meter.
Kepala Balai Arkeologi Denpasar, I Gusti Made Suarbhawa, mengatakan ceruk yang ditemukan di DAS Tukad Aya kawasan Desa Bila ini belum dapat diperkirakan secara pasti angka tahun pembuatannya. Namun, dari dimensi dan bentuk benda yang diduga cagar budaya ini, dipastikan sebagai ceruk yang berfungsi sebaga tempat mencari ketenangan atau tempat bertapa pada zaman dulu.
“Kalau angka tahunnya belum dapat dipastikan, karena belum kami temukan pertanggalan. Ini perlu penelitian lebih lanjut. Tetapi, secara konteks, ceruk ini dulunya dimanfaatkan sebagai tempat pertapaan. Kalau ditarik benang merah dengan tinggalan sejarah lainnya di sekitar DAS Tukad Aya, ceruk ini diperkirakan berasal dari abad XI atau zaman Bali Kuno,” jelas IGM Suarbhawa seusai tinjau lokasi ceruk di Desa Bila, Rabu kemarin.
Menurut Suarbhawa, ceruk ini dipastikan buatan tangan manusia menggunakan teknologi modern pada zamannya. Ceruk saat ini masih utuh di lahan milik Ketut Gerinda, tapi diperkirakan sudah bergeser dari tempatnya semula karena bencana alam. Untungnya, bebatuan yang berisi dua ceruk saat ini masih utuh.
Suarbhawa menyebut tinggalan sejarah berupa ceurk ini ditemukan pada tebing batu. Dimensinya ada kemiripan dengan ceruk yang ditemukan di Tabanan dan Gianyar. “Ceruk ini memang lazim ditemukan di ketinggian tebing, karena dipakai tempat bertapa pada zaman dulu. Tetapi, yang ini nampak sudah terkena longsor,” imbuh Suarbhawa.
Suarbhawa menyebutkan, keberadaan ceruk di Desa Bila ini merupakan bukti bahwa keberadaan Tukad Aya sangat penting sejak zaman dulu, zaman sekarang, hingga zaman yang akan datang. Hal itu dibuktikan dengan sejumlah temuan tinggalan sejarah dari hulu hingga hilir Tukad Aya, yang menunjukkan bukti kehidupan yang sangat kuat.
Di bagian hulu DAS Tukad Aya yang berada di Desa Pakisan, Kecamatan Kubutambahan ada tinggalan prasasti yang menyebut soal masyarakat Desa Pakuan dan Desa Bengkala (Kecamatan Kubutambahan). Prasasti dan tinggalan sejarah berupa sarkofagus lainnya juga ditemukan di Desa Sawan, Desa Bila, dan Desa Bengkala. Termasuk sejumlah relief di tebing-tebing Tukad Aya yang mengindikasi semacam tempat pemujaan. Selain itu, saat penggalian proyek Bendungan Tamblang juga ditemukan terowongan irigasi. “Setidaknya ada benang merah Tukad Aya termanfaatkan untuk kebutuhna dan kesejhateraan yang sam untuk masyarakat di seputraan DAS,” tegas Suarbhawa.
Suarbhawa pun berharap temuan-temuan tinggalan sejarah di DAS Tukad Aya selanjutnya agar dipelihara oleh masyarakat sekitar. Sejumlah temuan di sekitar DAS Tukad Aya, secara niskala merupakan penanda bahwa daerah itu sudah ada yang memanfaatkan dan tidak boleh ada orang lain yang memanfaatkannya.
Menurut Suarbhawa, potensi sejarah yang ada di sepanjang Tukad Aya sangat memungkinkan untuk dilakukan penelitian lebih serius. Namun, hal itu memerlukan sinergisitas dari seluruh pihak terkait, termasuk Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng untuk penetapan objek sebagai cagar budaya.
Suarbhawa pun meminta masyarakat dan pemerintah Desa Bila agar merawat tinggalan sejarah berupa ceruk ini dengan baik, sehingga ke depannya dapat ditata sebagai penunjang keberadaan Bendungan Tamblang. “Kami sarankan untuk dibuatkan akses yang memadai, sehingga bendungan bisa bercerita dengan didukung bukti budaya ini. Jadi, Bendungan Tamblang bukan hanya jadi sarana penyediaan air bersih, tetapi juga bisa sebagai objek wisata konservasi terkait tinggalan sejarahnya.”
Sementara iyu, Direksi Teknis BWS Bali Penida Kementerian PUPR, Nengah Sudiarta, mengatakan posisi ceruk yang ditemukan di Desa Bila aman dari proyek Bendungan Tamblang. “Posisinya ada di Zona Green Belt Bendungan Tamblang, yang nanti berada di atas genangan, sehingga aman. Sedang dikaji akses jalannya, apakah masih layak dibuatkan jalan atau ada akses lain,” papar Nengah Sudiarta yang kemarin ikut tinjau ceruk.
Sementara itu, Perbekel Bila, I Ketut Citarja Yudiarta, berharap ke depannya dapat difasilitasi untuk penataan temuan sejarah di sekitar DAS Tukad Aya oleh pengelola Bendungan Tamblang. “Pikiran kami memang ada keinginna untuk menata kawasan ini menjadi objek pariwisata penunjang bendungan dengan sejarahnya. Kami yang berada di sisi timur bendungan berharap bisa mendapatkan akses dari pemerintah terkait pengembangan desa,” ujar Ketut Citarja.
Sedangkan Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng, Gede Dody Sukma Oktiva Askara, menyebutkan tahun 2021 ini pihaknya menyiapkan anggaran untuk pelatihan dan sertifikasi tim ahli cagar budaya. “Harapannya, dengan pembentukan tim ahli di kabupaten, dapat segera menetapkan sejumlah benda, situs, budaya menjadi cagar budaya,” harap Dody Sukma. *k23
1
Komentar