Produksi Garam Terhenti, Harga Rp 75.000/Kg
AMLAPURA, NusaBali
Produksi garam tradisional di Karangasem terhenti sejak November 2020 akibat musim hujan.
Dampaknya, harga jual beranjak naik dari Rp 50.000 per kilogram jadi Rp 75.000 per kilogram. Stok garam masih berlimpah, mencapai 60 ton yang dikelola Koperasi Garam Amed, Desa Purwakerti, Kecamatan Abang, Karangasem.
Ketua Koperasi Garam Amed, I Nengah Suanda, menegaskan tidak masalah produksi garam terhenti sementara selama musim hujan. Sebab stok garam beberapa tahun sebelumnya masih banyak. “Aktivitas tetap jalan di rumah produksi garam,” jelas Nengah Suanda di Banjar Lebah, Desa Purwakerti, Selasa (9/2). Dikatakan, sejak produksi garam bersertifikat IG (Indikasi Geografis) Garam Amed Bali 2016, nilai jual garam tradisional naik.
Awalnya harga garam kisaran Rp 30.000 hingga Rp 35.000 per kilogram di tahun 2016. Setahun berikutnya naik jadi Rp 50.000 per kilogram, kali ini jadi Rp 75.000 per kilogram. Apalagi telah memiliki pelanggan tetap dari luar Bali, walau volume penjualannya belum ada peningkatan, per tahun mampu jual sekitar 14 ton. Panen garam setiap empat hari sekali, tiap petani hanya mampu berpenghasilan Rp 300.000 hingga Rp 350.000, kali ini telah berpenghasilan Rp 4 juta hingga Rp 6 juta. Tiap petani garam memproduksi rata-rata per empat hari 70 kilogram hingga 90 kilogram. Tiap tahun produksinya efektif 4 bulan, Agustus-November, total produksi seluruh anggota awalnya 32 ton, kali ini mampu berproduksi hingga 70 ton, dengan memanfaatkan lahan pantai yang masih tersisa 2 hektare.
Tiap anggota, memerlukan lahan sekitar 300 meterpersegi dengan cara lahan itu dibagi empat petak. Di tengah petak ada sebuah tinjung (tempat filter air laut berbentuk cubang). Prosesnya membuat garam, keempat petak itu dituangkan air laut. Setelah kena panas sinar matahari selama sehari air laut dari petak diambil dituangkan ke dalam tinjung. Dalam tinjung itu difilter, kemudian hasil filter di tinjung maka air setengah garam dituangkan ke palungan yang terbuat dari batang kelapa. Dalam palungan itulah air setengah garam dikeringkan selama 12 jam, dituangkan pagi lalu sore telah jadi garam. “Walau produksi terhenti, petani garam tetap beraktivitas di rumah produksi, mengemas garam di dua tempat penyimpan garam,” katanya. Sementara Kelian Banjar Lebah I Wayan Suartana juga mengatakan petani garam tetap beraktivitas di tempat penyimpanan garam. *k16
Ketua Koperasi Garam Amed, I Nengah Suanda, menegaskan tidak masalah produksi garam terhenti sementara selama musim hujan. Sebab stok garam beberapa tahun sebelumnya masih banyak. “Aktivitas tetap jalan di rumah produksi garam,” jelas Nengah Suanda di Banjar Lebah, Desa Purwakerti, Selasa (9/2). Dikatakan, sejak produksi garam bersertifikat IG (Indikasi Geografis) Garam Amed Bali 2016, nilai jual garam tradisional naik.
Awalnya harga garam kisaran Rp 30.000 hingga Rp 35.000 per kilogram di tahun 2016. Setahun berikutnya naik jadi Rp 50.000 per kilogram, kali ini jadi Rp 75.000 per kilogram. Apalagi telah memiliki pelanggan tetap dari luar Bali, walau volume penjualannya belum ada peningkatan, per tahun mampu jual sekitar 14 ton. Panen garam setiap empat hari sekali, tiap petani hanya mampu berpenghasilan Rp 300.000 hingga Rp 350.000, kali ini telah berpenghasilan Rp 4 juta hingga Rp 6 juta. Tiap petani garam memproduksi rata-rata per empat hari 70 kilogram hingga 90 kilogram. Tiap tahun produksinya efektif 4 bulan, Agustus-November, total produksi seluruh anggota awalnya 32 ton, kali ini mampu berproduksi hingga 70 ton, dengan memanfaatkan lahan pantai yang masih tersisa 2 hektare.
Tiap anggota, memerlukan lahan sekitar 300 meterpersegi dengan cara lahan itu dibagi empat petak. Di tengah petak ada sebuah tinjung (tempat filter air laut berbentuk cubang). Prosesnya membuat garam, keempat petak itu dituangkan air laut. Setelah kena panas sinar matahari selama sehari air laut dari petak diambil dituangkan ke dalam tinjung. Dalam tinjung itu difilter, kemudian hasil filter di tinjung maka air setengah garam dituangkan ke palungan yang terbuat dari batang kelapa. Dalam palungan itulah air setengah garam dikeringkan selama 12 jam, dituangkan pagi lalu sore telah jadi garam. “Walau produksi terhenti, petani garam tetap beraktivitas di rumah produksi, mengemas garam di dua tempat penyimpan garam,” katanya. Sementara Kelian Banjar Lebah I Wayan Suartana juga mengatakan petani garam tetap beraktivitas di tempat penyimpanan garam. *k16
1
Komentar