Perjuangan Hidup Pasutri Lumpuh Kaki di Bresela, Gianyar
Sikap pantang menyerah dipegang teguh oleh I Wayan Cidra,35, warga Banjar Gadungan, Desa Bresela, Kecamatan Payangan, Gianyar.
GIANYAR, NusaBali
Kondisi fisiknya tidak normal karena lumpuh kaki, tidak menghalangi semangatnya untuk bekerja. Sehari-hari ia bekerja metbet atau mengasah dan mengolah kayu dengan mesin listrik. Kayu itu dijadikan beberapa jenis kerajinan tangan untuk souvenir.
Ditemui NusaBali, Selasa (22/11), Cidra asyik mengolah potongan kayu menjadi karya seni. Ia memiliki tempat khusus untuk bekerja di belakang rumah, dekat kandang babi milik saudaranya. “Saya lagi membuat menara,” ujarnya.
Pekerjaan yang sudah ditekuni belasan tahun ini membuat Cidra tak kesulitan. Hanya saja alat-alat yang digunakan selama ini hasil pinjaman orang lain, begitu pula bangunan yang ditempati untuk mengerjakan potongan kayu-kayu tersebut.
Pria 35 tahun itu mengaku hanya menguasai pembuatan tiga jenis souvenir, yakni tempat lilin, tutup botol minuman sampanye dan menara mercusuar. “Dari mesin sampai alat ukir ini saya dikasih pinjam. Sampai listriknya juga saya dibayari,” jelasnya.
Ia menikah dengan Ni Wayan Resminiasih,32, delapan tahun lalu. Cidra menuturkan, sejak balita dirinya terserang tifus yang berujung kelumpuhan. Pada usia 15 tahun, banyak tetangganya menawari pekerjaan kerajinan tangan. Ia pun menyanggupinya karena kedua tangannya masih berfungsi normal.
Resminiasih sendiri juga mengalami nasib serupa dengannya. Kaki istrinya juga lumpuh dan berbentuk X. Akan tetapi, sang istri masih bisa berjalan meski tidak normal. Tapi Tuhan begitu adil, dua insan lumpuh itu dikaruniai seorang putra, Wayan Wisna Putra,7, lahir dengan tubuh normal. Putranya ini sedang bersekolah di salah satu SD di Payangan. “Saya berusaha bekerja untuk membiayai anak saya sekolah dan dapur,” tandas Cidra.
Dalam sehari, orderan kerajinan yang masuk bisa mencapai 100 biji. Dalam satu biji, karyanya dihargai Rp 400. “Jadi sehari saya dapat Rp 40 ribuan,” ungkapnya. Disamping itu, penghasilan lain juga dibantu oleh istri. Sang istri, Resminiasih juga punya kegiatan menghias sok kasi dan bokor menggunakan cat prada. “Untung istri punya tambahan sehingga ada biaya untuk dapur,” terangnya.
Diakuinya, tidak setiap hari dia mendapatkan order tetap dengan jumlah banyak. Tak jarang, ada hari-hari sepi orderan. “Kalau tidak dapat order, saya biasanya minjam uang kepada teman saya yang kasih order,” ujarnya.
Ditambahkannya, selama ini pemerintah tidak terlalu banyak membantu pasangan suami istri lumpuh itu. “Saya dapat beras raskin, tidak banyak, 10 kilogram setiap bulannya,” imbuhnya. “Saya ingin anak saya sukses. Saya ingin bahagiakan anak dan mengubah hidup,” pintanya penuh harap. Ia berharap dapat uluran tangan dari pihak lain. ‘’Baju bekas juga tidak apa-apa,” ungkapnya. * cr62
Ditemui NusaBali, Selasa (22/11), Cidra asyik mengolah potongan kayu menjadi karya seni. Ia memiliki tempat khusus untuk bekerja di belakang rumah, dekat kandang babi milik saudaranya. “Saya lagi membuat menara,” ujarnya.
Pekerjaan yang sudah ditekuni belasan tahun ini membuat Cidra tak kesulitan. Hanya saja alat-alat yang digunakan selama ini hasil pinjaman orang lain, begitu pula bangunan yang ditempati untuk mengerjakan potongan kayu-kayu tersebut.
Pria 35 tahun itu mengaku hanya menguasai pembuatan tiga jenis souvenir, yakni tempat lilin, tutup botol minuman sampanye dan menara mercusuar. “Dari mesin sampai alat ukir ini saya dikasih pinjam. Sampai listriknya juga saya dibayari,” jelasnya.
Ia menikah dengan Ni Wayan Resminiasih,32, delapan tahun lalu. Cidra menuturkan, sejak balita dirinya terserang tifus yang berujung kelumpuhan. Pada usia 15 tahun, banyak tetangganya menawari pekerjaan kerajinan tangan. Ia pun menyanggupinya karena kedua tangannya masih berfungsi normal.
Resminiasih sendiri juga mengalami nasib serupa dengannya. Kaki istrinya juga lumpuh dan berbentuk X. Akan tetapi, sang istri masih bisa berjalan meski tidak normal. Tapi Tuhan begitu adil, dua insan lumpuh itu dikaruniai seorang putra, Wayan Wisna Putra,7, lahir dengan tubuh normal. Putranya ini sedang bersekolah di salah satu SD di Payangan. “Saya berusaha bekerja untuk membiayai anak saya sekolah dan dapur,” tandas Cidra.
Dalam sehari, orderan kerajinan yang masuk bisa mencapai 100 biji. Dalam satu biji, karyanya dihargai Rp 400. “Jadi sehari saya dapat Rp 40 ribuan,” ungkapnya. Disamping itu, penghasilan lain juga dibantu oleh istri. Sang istri, Resminiasih juga punya kegiatan menghias sok kasi dan bokor menggunakan cat prada. “Untung istri punya tambahan sehingga ada biaya untuk dapur,” terangnya.
Diakuinya, tidak setiap hari dia mendapatkan order tetap dengan jumlah banyak. Tak jarang, ada hari-hari sepi orderan. “Kalau tidak dapat order, saya biasanya minjam uang kepada teman saya yang kasih order,” ujarnya.
Ditambahkannya, selama ini pemerintah tidak terlalu banyak membantu pasangan suami istri lumpuh itu. “Saya dapat beras raskin, tidak banyak, 10 kilogram setiap bulannya,” imbuhnya. “Saya ingin anak saya sukses. Saya ingin bahagiakan anak dan mengubah hidup,” pintanya penuh harap. Ia berharap dapat uluran tangan dari pihak lain. ‘’Baju bekas juga tidak apa-apa,” ungkapnya. * cr62
1
Komentar