Nanik Indarti Lawan Diskriminasi Lewat Seni
DENPASAR, NusaBali.com
Diskriminasi merupakan hal yang bisa terjadi pada semua orang. Nanik Indarti juga mengalami hal ini. Namun, pengalaman ini tidak membuat dirinya berhenti berkarya. Lewat seni, ia bangkit melawan diskriminasi yang dirasakannya.
Melalui Bincang Inklusi yang diadakan DNetwork secara daring lewat Instagram pada Jumat (12/2/2021), Nanik membagi pengalamannya. Nanik Indarti merupakan seorang achondroplasia. Achondroplasia sendiri adalah gangguan pertumbuhan tulang yang ditandai dengan tubuh kerdil dan tidak proporsional.
Nanik Indarti yang juga merupakan seniman teater berusaha bangkit dan melawan diskriminasi yang ia alami. Ia membuat Teater Unik Project yang adalah komunitas kesenian teater sesuai dengan latar belakang Nanik. Komunitas ini berdiri pada tahun 2018.
Hal ini bermula dari pemikirannya yang tertarik dengan kata unik. “Aku berpikir, aku perempuan tapi berbeda dari orang lain, aku perempuan unik. Akhirnya itu jadi ikonik, sehingga aku buat komunitas yang mudah diingat orang dan membuat kata unique project,” ungkapnya dalam Bincang Inklusi.
Komunitas ini ia buat untuk mewadahi teman-teman bertubuh mini agar bisa berkarya dan berkreasi dengan bebas. “Aku berusaha membuat komunitas agar berkelanjutan kedepannya,” jelas Nanik.
Dunia seni ia pilih karena menurut pengalamannya seni bisa menerima siapa saja tanpa memandang wujud fisik seseorang. “Aku ingin teman-teman bisa menerima diri mereka. Aku sendiri bisa mulai menerima diriku saat aku mulai berkuliah di kampusku,” ujar Sarjana Seni Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Karya pertama dari project ini pada tahun 2018 yaitu ‘Sepatu yang Sama, Kisah Jiwa dan Angka’. Karya ini dikreasikan bersama 11 orang lainnya dari berbagai kota seperti Malang, Blitar, Banyuwangi, Aceh, Kalimantan, Kulonprogo, dan Jogja. “Ini bermula dari mulut ke mulut, sampai aku mengumpulkan info dari banyak kampus,” cerita Nanik.
Kala itu latihan bahkan dilakukan secara jarak jauh, via grup WhatsApp. “Empat hari sebelum pentas baru mereka semua bisa datang dan berkumpul langsung di Jogja,” tutur Nanik.
Selain itu, Nanik juga sempat meluncurkan buku dengan judul ‘Aku Perempuan Unik’. Buku ini berisi pengalaman dan cerita dari 7 orang wanita. “Ini tentang perjalanan panjang penerimaan diri yang butuh keluasan hati yang tidak mudah,” jelas Nanik. Buku ini pun masih dijual secara independen oleh Nanik sendiri.
Bagi Nanik, seni menjadi titik balik dalam hidupnya. “Bagi aku, seni bahkan jadi penyelamat hidup yang memberi makna hidup lebih luas lagi,” ungkapnya antusias. Ia ingin melalui seni yang lebih hidup, lebih dalam, bisa membicarakan diskriminasi dan mengangkatnya lewat pertunjukkan teater, hingga akhirnya banyak orang juga tahu dan lebih terbuka.
Pada tahun 2019, Nanik juga sempat membuat pentas lagi, dengan topik yang masih sama. Kali ini lewat komunitasnya membuat banyak yang terhubung lewat sosial media yang terhubung sampai saat ini. “Sekarang sudah sampai 50an lebih di grup Whatsapp untuk saling diskusi dan sharing membicarakan apa saja. Harapannya bisa buat karya bersama,” jelas Nanik.
Selama pandemi komunitas ini pun tetap mengadakan kegiatan diskusi setiap akhir pekan. “Semuanya dilakukan daring, karena itulah cara satu-satunya bisa berinteraksi dengan orang lain saat ini,” tutur Nanik. Nanik sendiri saat ini bekerja freelance setelah pada tahun 2016 dirinya resign dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta.
Diakui Nanik, ia dan komunitasnya sedang mempersiapkan sebuah project. “Iya, kami sedang berusaha membuat sesuatu. Surprise pokoknya,” ungkapnya sembari tertawa kecil.
Nanik juga punya keinginan untuk membuat sekolah. “Keinginan saya kedepannya adalah membangun sekolah nonformal di Jogja untuk bisa mengasah ketrampilan dan kreatifitas karena banyak yang belum bisa mengakses pendidikan dengan baik,” ungkapnya.
Terakhir, Nanik berharap agar masyarakat mulai harus mampu melihat kemampuan yang dimiliki teman-teman tanpa melihat visual. “Memang saat ini sudah cukup menerima, cuma infrastruktur untuk disabilitas perlu ditingkatkan dan masih banyak jadi PR bagi pemerintah juga ya. Ini tentunya perlu kerjasama masyarakat luas dan pemerintah juga untuk bisa menerima orang-orang disabilitas dan menciptakan lingkungan yang ramah, karena perbedaan yang ada pada disabilitas adalah kewajaran yang ada di bumi,” ujar Nanik. Nanik juga berpesan untuk teman-teman disabilitas, agar bisa mencari komunitas yang bisa mewadahi diri dan mau belajar membuka diri.*
Nanik Indarti yang juga merupakan seniman teater berusaha bangkit dan melawan diskriminasi yang ia alami. Ia membuat Teater Unik Project yang adalah komunitas kesenian teater sesuai dengan latar belakang Nanik. Komunitas ini berdiri pada tahun 2018.
Hal ini bermula dari pemikirannya yang tertarik dengan kata unik. “Aku berpikir, aku perempuan tapi berbeda dari orang lain, aku perempuan unik. Akhirnya itu jadi ikonik, sehingga aku buat komunitas yang mudah diingat orang dan membuat kata unique project,” ungkapnya dalam Bincang Inklusi.
Komunitas ini ia buat untuk mewadahi teman-teman bertubuh mini agar bisa berkarya dan berkreasi dengan bebas. “Aku berusaha membuat komunitas agar berkelanjutan kedepannya,” jelas Nanik.
Dunia seni ia pilih karena menurut pengalamannya seni bisa menerima siapa saja tanpa memandang wujud fisik seseorang. “Aku ingin teman-teman bisa menerima diri mereka. Aku sendiri bisa mulai menerima diriku saat aku mulai berkuliah di kampusku,” ujar Sarjana Seni Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Karya pertama dari project ini pada tahun 2018 yaitu ‘Sepatu yang Sama, Kisah Jiwa dan Angka’. Karya ini dikreasikan bersama 11 orang lainnya dari berbagai kota seperti Malang, Blitar, Banyuwangi, Aceh, Kalimantan, Kulonprogo, dan Jogja. “Ini bermula dari mulut ke mulut, sampai aku mengumpulkan info dari banyak kampus,” cerita Nanik.
Kala itu latihan bahkan dilakukan secara jarak jauh, via grup WhatsApp. “Empat hari sebelum pentas baru mereka semua bisa datang dan berkumpul langsung di Jogja,” tutur Nanik.
Selain itu, Nanik juga sempat meluncurkan buku dengan judul ‘Aku Perempuan Unik’. Buku ini berisi pengalaman dan cerita dari 7 orang wanita. “Ini tentang perjalanan panjang penerimaan diri yang butuh keluasan hati yang tidak mudah,” jelas Nanik. Buku ini pun masih dijual secara independen oleh Nanik sendiri.
Bagi Nanik, seni menjadi titik balik dalam hidupnya. “Bagi aku, seni bahkan jadi penyelamat hidup yang memberi makna hidup lebih luas lagi,” ungkapnya antusias. Ia ingin melalui seni yang lebih hidup, lebih dalam, bisa membicarakan diskriminasi dan mengangkatnya lewat pertunjukkan teater, hingga akhirnya banyak orang juga tahu dan lebih terbuka.
Pada tahun 2019, Nanik juga sempat membuat pentas lagi, dengan topik yang masih sama. Kali ini lewat komunitasnya membuat banyak yang terhubung lewat sosial media yang terhubung sampai saat ini. “Sekarang sudah sampai 50an lebih di grup Whatsapp untuk saling diskusi dan sharing membicarakan apa saja. Harapannya bisa buat karya bersama,” jelas Nanik.
Selama pandemi komunitas ini pun tetap mengadakan kegiatan diskusi setiap akhir pekan. “Semuanya dilakukan daring, karena itulah cara satu-satunya bisa berinteraksi dengan orang lain saat ini,” tutur Nanik. Nanik sendiri saat ini bekerja freelance setelah pada tahun 2016 dirinya resign dari Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta.
Diakui Nanik, ia dan komunitasnya sedang mempersiapkan sebuah project. “Iya, kami sedang berusaha membuat sesuatu. Surprise pokoknya,” ungkapnya sembari tertawa kecil.
Nanik juga punya keinginan untuk membuat sekolah. “Keinginan saya kedepannya adalah membangun sekolah nonformal di Jogja untuk bisa mengasah ketrampilan dan kreatifitas karena banyak yang belum bisa mengakses pendidikan dengan baik,” ungkapnya.
Terakhir, Nanik berharap agar masyarakat mulai harus mampu melihat kemampuan yang dimiliki teman-teman tanpa melihat visual. “Memang saat ini sudah cukup menerima, cuma infrastruktur untuk disabilitas perlu ditingkatkan dan masih banyak jadi PR bagi pemerintah juga ya. Ini tentunya perlu kerjasama masyarakat luas dan pemerintah juga untuk bisa menerima orang-orang disabilitas dan menciptakan lingkungan yang ramah, karena perbedaan yang ada pada disabilitas adalah kewajaran yang ada di bumi,” ujar Nanik. Nanik juga berpesan untuk teman-teman disabilitas, agar bisa mencari komunitas yang bisa mewadahi diri dan mau belajar membuka diri.*
1
Komentar