Wimbakara Pidarta Basa Bali, Bendesa Duta Badung Raih Juara I
DENPASAR, NusaBali
Wimbakara Pidarta (lomba pidato) Basa Bali serangkaian Bulan Bahasa Bali 2021 tingkat Provinsi Bali yang berlangsung di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar, Rabu (17/2) menampilkan peserta yang merupakan para panglingsir desa pakraman, yaitu jro bendesa adat yang diutus mewakili kabupaten/kota se-Bali.
Lomba pidato diikuti oleh 7 peserta dari 9 Kabupaten Kota di Bali, masing -masing, Kabupaten Klungkung, Badung, Gianyar, Karangasem, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar, sedangkan dua kabupaten yakni Tabanan dan Jembrana tahun ini absen dengan tidak mengirimkan dutanya.
Jro Bendesa asal Mengwitani mewakili Kabupaten Badung atas nama I Putu Wendra sukses sebagai jayanti (pemenang) juara I. Disusul Jro Bendesa wakil Kota Denpasar AA Ketut Oka Adnyana menempati juara II dan wakil Karangasem Jro Bendesa Wayan Suarna meraih juara III.
Kelihaian para bendesa menggunakan bahasa Bali sejatinya telah teruji. Seorang jro bendesa yang dalam kesehariannya berhadapan dengan kegiatan adat dalam tata bahasa sor singgih, anggah ungguhing basa harus dikuasainya. Ketika tampil di atas panggung, kemampuan para bendesa baik tata bahasa, tetekes atau intonasi suara tak diragukan lagi. Dewan juri pun mengaku berat memberikan penilaian, karena rata-rata kemampuan basa Bali jro bendesa cukup bagus.
Tim dewan juri yang terdiri dari dosen Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar Dr Drs I Wayan Sugita MSi, dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Hindu Amlapura I Wayan Jatiyasa SPd MPd, dan Dosen Universitas Dwijendra Dr Drs Anak Agung Gde Putera Semadi MSi, mengakui kemampuan para bendesa dalam menggunakan bahasa Bali yang baik dan benar semuanya bagus.
Beberapa catatan dari para juri, yakni pada teknik penyampaian pidato. “Pidato adalah seni berbicara, ada perbedaan antara pidarta dan dharmawecana. Hal itu harus jelas dipahami, karena esensinya memang berbeda. Kalau pidarta bagaimana pembicara harus mampu mempengaruhi, mengajak dan bahkan memprofokasi audiens dari mereka tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan dharma wacana tujuannya jelas, yaitu menyampaikan materi agama agar bisa tersampaikan ke pendengar,” jelas Wayan Sugita yang juga seorang tokoh drama gong.
Wayan Sugita menekankan agar para jro bendesa melestarikan bahasa Bali di masing-masing desa pakraman. “Saya mengajak para tokoh adat, untuk terus melestarikan bahasa Bali, mengajak kaum milenial mendalami bahasa, aksara, dan sastra, semoga nglimbak di masyarakat,” sarannya
Hal senada disampaikan dewan juri lainnya AA Gde Putera Semadi MSi, yang sangat mengapresiasi kegiatan lomba pidato bahasa Bali ini. “Dalam lomba pidarta basa Bali ini, saya melihat semua sudah memenuhi kriteria, baik tema, penampilan, tata busana, tata anggah ungguhing basa, dan pesannya, yang harus sesuai dengan tema yang ditetapkan, mulai pemabah ( pembuka), pengaksama (penyambutan), daging (isi), pangarsa (penutup) sudah terpenuhi,” tuturnya.
Kriteria lomba pidato kali ini, yaitu peserta lomba menyiapkan materi atau naskah pidato yang disusun oleh peserta dengan menggunakan bahasa Bali alus. Waktu penyajian pidato untuk masing-masing peserta adalah 10 – 12 menit. Tema yang diangkat dalam lomba pidato ini, sejalan dengan tema Bulan Bahasa Bali 2021.
Para peserta diberi ruang untuk melihat realitas, mengkritisi, dan mencari solusi atas berbagai masalah hutan sesuai dengan tema Wana Kerthi Sabdaning Taru Mahottama. Tema ini berbicara tentang bagaimana memformulasikan hutan sebagai mahawana, tapawana, dan sri wana.
Dalam konteks mahawana, hutan adalah penyangga kehidupan, tempat sarwa prani hidup, dan saudara tertua manusia dalam tautannya dengan kosmologi Bali. Sementara itu, dalam konteks tapawana, hutan sesungguhnya adalah tempat bertapa, sumber kerahayuan semesta. Di sisi lain, dalam konteks sri wana, hutan adalah tempat memperoleh sandang, pangan, dan papan termasuk juga bahan pengobatan, yang jika dimanfaatkan dengan tepat, hutan bisa mendatangkan guna kaya (penghasilan hidup). *cr74
Jro Bendesa asal Mengwitani mewakili Kabupaten Badung atas nama I Putu Wendra sukses sebagai jayanti (pemenang) juara I. Disusul Jro Bendesa wakil Kota Denpasar AA Ketut Oka Adnyana menempati juara II dan wakil Karangasem Jro Bendesa Wayan Suarna meraih juara III.
Kelihaian para bendesa menggunakan bahasa Bali sejatinya telah teruji. Seorang jro bendesa yang dalam kesehariannya berhadapan dengan kegiatan adat dalam tata bahasa sor singgih, anggah ungguhing basa harus dikuasainya. Ketika tampil di atas panggung, kemampuan para bendesa baik tata bahasa, tetekes atau intonasi suara tak diragukan lagi. Dewan juri pun mengaku berat memberikan penilaian, karena rata-rata kemampuan basa Bali jro bendesa cukup bagus.
Tim dewan juri yang terdiri dari dosen Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar Dr Drs I Wayan Sugita MSi, dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Hindu Amlapura I Wayan Jatiyasa SPd MPd, dan Dosen Universitas Dwijendra Dr Drs Anak Agung Gde Putera Semadi MSi, mengakui kemampuan para bendesa dalam menggunakan bahasa Bali yang baik dan benar semuanya bagus.
Beberapa catatan dari para juri, yakni pada teknik penyampaian pidato. “Pidato adalah seni berbicara, ada perbedaan antara pidarta dan dharmawecana. Hal itu harus jelas dipahami, karena esensinya memang berbeda. Kalau pidarta bagaimana pembicara harus mampu mempengaruhi, mengajak dan bahkan memprofokasi audiens dari mereka tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan dharma wacana tujuannya jelas, yaitu menyampaikan materi agama agar bisa tersampaikan ke pendengar,” jelas Wayan Sugita yang juga seorang tokoh drama gong.
Wayan Sugita menekankan agar para jro bendesa melestarikan bahasa Bali di masing-masing desa pakraman. “Saya mengajak para tokoh adat, untuk terus melestarikan bahasa Bali, mengajak kaum milenial mendalami bahasa, aksara, dan sastra, semoga nglimbak di masyarakat,” sarannya
Hal senada disampaikan dewan juri lainnya AA Gde Putera Semadi MSi, yang sangat mengapresiasi kegiatan lomba pidato bahasa Bali ini. “Dalam lomba pidarta basa Bali ini, saya melihat semua sudah memenuhi kriteria, baik tema, penampilan, tata busana, tata anggah ungguhing basa, dan pesannya, yang harus sesuai dengan tema yang ditetapkan, mulai pemabah ( pembuka), pengaksama (penyambutan), daging (isi), pangarsa (penutup) sudah terpenuhi,” tuturnya.
Kriteria lomba pidato kali ini, yaitu peserta lomba menyiapkan materi atau naskah pidato yang disusun oleh peserta dengan menggunakan bahasa Bali alus. Waktu penyajian pidato untuk masing-masing peserta adalah 10 – 12 menit. Tema yang diangkat dalam lomba pidato ini, sejalan dengan tema Bulan Bahasa Bali 2021.
Para peserta diberi ruang untuk melihat realitas, mengkritisi, dan mencari solusi atas berbagai masalah hutan sesuai dengan tema Wana Kerthi Sabdaning Taru Mahottama. Tema ini berbicara tentang bagaimana memformulasikan hutan sebagai mahawana, tapawana, dan sri wana.
Dalam konteks mahawana, hutan adalah penyangga kehidupan, tempat sarwa prani hidup, dan saudara tertua manusia dalam tautannya dengan kosmologi Bali. Sementara itu, dalam konteks tapawana, hutan sesungguhnya adalah tempat bertapa, sumber kerahayuan semesta. Di sisi lain, dalam konteks sri wana, hutan adalah tempat memperoleh sandang, pangan, dan papan termasuk juga bahan pengobatan, yang jika dimanfaatkan dengan tepat, hutan bisa mendatangkan guna kaya (penghasilan hidup). *cr74
1
Komentar