Manfaatkan Kompos TPS 3R, Ajak Warga Kembangkan Urban Farming
Cara Kreatif Desa Baktiseraga, Kecamatan Buleleng Berdayakan Warga
Rencananya, hasil panen tanaman pangan dari lahan urban farming ini akan dibagikan kepada warga desa dan dijual dengan melibatkan PKK Desa Baktiseraga.
SINGARAJA, NusaBali
Terobosan inspiratif dilakukan Pemerintah Desa Baktiseraga, Kecamatan/Kabupaten Buleleng dengan menyiapkan ketahanan pangan secara mandiri dan menciptakan kegiatan usaha melalui pengembangan pertanian dengan teknik urban farming. Mereka merancang kebun tanaman pangan dengan luas lahan secara keseluruhan 8 are sejak bulan Januari lalu secara bertahap.
Urban farming yang diterapkan di Desa Baktiseraga mengambil konsep raised bed atau dengan bak tanaman. Untuk pembatas lahan menggunakan batu bata bekas. Pantauan NusaBali di lokasi, Minggu (21/2) di lahan tersebut dibagi menjadi belasan media tanam berbentuk persegi panjang dengan ukuran masing-masing sekitar 1,5 meter x 4 meter. Di media tanam itu diisi dengan sejumlah bibit tanaman pangan dan tanaman obat keluarga. Beberapa warga dilibatkan dalam perawatan tanaman dan saat ini masih dalam tahapan penyemaian bibit.
Perbekel Desa Baktiseraga, I Gusti Putu Armada, mengungkapkan ide awal pengembangan urban farming ini muncul dari rampungnya pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS 3R) di Desa Baktiseraga pada Oktober 2020 lalu. "Kami terbesit ide untuk memanfaatkan kompos hasil produksi TPS3R dengan membuat media tanam dengan mengadopsi teknik urban farming," kata dia saat diwawancarai, Minggu kemarin.
Produksi kompos TPS3R digunakan untuk perawatan tanaman di lahan urban farming ini. Perbekel Gusti Armada tidak ada latar belakang pendidikan pertanian. Hanya saja dia suka melihat-lihat di laman YouTube tentang urban farming dan hal ini coba diterapkan di Desa Baktiseraga, mengingat wilayahnya merupakan bumper kota dengan lahan yang terbatas dan padat penduduk. Harapannya bisa mempengaruhi warga Desa Baktiseraga untuk memanfaatkan lahan pekarangan mereka untuk model urban farming.
"Akhirnya kami berpikir kalau ini bagus dikembangkan karena desa kita ada di kota, kalau berbicara pertanian kami tidak ada di sana, karena di sini hampir semuanya permukiman," ungkapnya. Sebagai langkah awal, pihaknya memanfaatkan lahan tak produktif milik warga. Kata dia, rencana ini mendapat respon positif dari warganya. Pemilik lahan pun merelakan lahannya digunakan secara cuma-cuma. Di lahan tersebut ditanami sejumlah tanaman sayuran seperti kangkung, sawi, pakcoy, dan beberapa jenis toga (tanaman obat keluarga).
Gusti Armada mengatakan, untuk pengerjaan lahan hingga perawatan kebun pihaknya melibatkan warga desa. Rencananya, hasil panen tanaman pangan itu akan dibagikan ke warga desa dan dijual dengan melibatkan PKK Desa Baktiseraga.
Ke depan, pihaknya akan terus mengadakan pendekatan kepada pemilik lahan tak produktif untuk dimanfaatkan menadi kebun pangan dengan teknik urban farming, bahkan dengan sistem sewa. "Artinya kami berencana menyewa namun pemilik lahan tidak mengizinkan. Selagi lahan tersebut tidak digunakan kami dipersilakan memakai. Setiap panen nanti kami bagi hasil panennya," ujarnya.
Untuk biaya urban farming ini dianggarkan dari APBDes 2021 sekitar Rp 40 juta. Sebesar 50 persen lebih untuk tenaga kerja agar sesuai dengan program PTK Padat Karya Tunai. Total yang sudah terserap hingga saat ini belum dihitung, karena baru dimulai.
Dengan program ini diharapkan bisa menunjang ketahanan pangan masyarakat danbisa memutar roda perekonomian di masyarakat. "Dengan ini kami berharap semua jalan kita mendapatkan hasil dari urban farming, lingkungan menjadi hijau dan masyarakat bisa mendapat upah," tandas Gusti Armada. *m
Urban farming yang diterapkan di Desa Baktiseraga mengambil konsep raised bed atau dengan bak tanaman. Untuk pembatas lahan menggunakan batu bata bekas. Pantauan NusaBali di lokasi, Minggu (21/2) di lahan tersebut dibagi menjadi belasan media tanam berbentuk persegi panjang dengan ukuran masing-masing sekitar 1,5 meter x 4 meter. Di media tanam itu diisi dengan sejumlah bibit tanaman pangan dan tanaman obat keluarga. Beberapa warga dilibatkan dalam perawatan tanaman dan saat ini masih dalam tahapan penyemaian bibit.
Perbekel Desa Baktiseraga, I Gusti Putu Armada, mengungkapkan ide awal pengembangan urban farming ini muncul dari rampungnya pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS 3R) di Desa Baktiseraga pada Oktober 2020 lalu. "Kami terbesit ide untuk memanfaatkan kompos hasil produksi TPS3R dengan membuat media tanam dengan mengadopsi teknik urban farming," kata dia saat diwawancarai, Minggu kemarin.
Produksi kompos TPS3R digunakan untuk perawatan tanaman di lahan urban farming ini. Perbekel Gusti Armada tidak ada latar belakang pendidikan pertanian. Hanya saja dia suka melihat-lihat di laman YouTube tentang urban farming dan hal ini coba diterapkan di Desa Baktiseraga, mengingat wilayahnya merupakan bumper kota dengan lahan yang terbatas dan padat penduduk. Harapannya bisa mempengaruhi warga Desa Baktiseraga untuk memanfaatkan lahan pekarangan mereka untuk model urban farming.
"Akhirnya kami berpikir kalau ini bagus dikembangkan karena desa kita ada di kota, kalau berbicara pertanian kami tidak ada di sana, karena di sini hampir semuanya permukiman," ungkapnya. Sebagai langkah awal, pihaknya memanfaatkan lahan tak produktif milik warga. Kata dia, rencana ini mendapat respon positif dari warganya. Pemilik lahan pun merelakan lahannya digunakan secara cuma-cuma. Di lahan tersebut ditanami sejumlah tanaman sayuran seperti kangkung, sawi, pakcoy, dan beberapa jenis toga (tanaman obat keluarga).
Gusti Armada mengatakan, untuk pengerjaan lahan hingga perawatan kebun pihaknya melibatkan warga desa. Rencananya, hasil panen tanaman pangan itu akan dibagikan ke warga desa dan dijual dengan melibatkan PKK Desa Baktiseraga.
Ke depan, pihaknya akan terus mengadakan pendekatan kepada pemilik lahan tak produktif untuk dimanfaatkan menadi kebun pangan dengan teknik urban farming, bahkan dengan sistem sewa. "Artinya kami berencana menyewa namun pemilik lahan tidak mengizinkan. Selagi lahan tersebut tidak digunakan kami dipersilakan memakai. Setiap panen nanti kami bagi hasil panennya," ujarnya.
Untuk biaya urban farming ini dianggarkan dari APBDes 2021 sekitar Rp 40 juta. Sebesar 50 persen lebih untuk tenaga kerja agar sesuai dengan program PTK Padat Karya Tunai. Total yang sudah terserap hingga saat ini belum dihitung, karena baru dimulai.
Dengan program ini diharapkan bisa menunjang ketahanan pangan masyarakat danbisa memutar roda perekonomian di masyarakat. "Dengan ini kami berharap semua jalan kita mendapatkan hasil dari urban farming, lingkungan menjadi hijau dan masyarakat bisa mendapat upah," tandas Gusti Armada. *m
1
Komentar