MUTIARA WEDA: Perdebatan
Anu-mātre-‘pi vaidharmye jāyamāne-‘vipascitah, Asangatā sadā nāsti kimutā-‘varana cyutih. (Gaudapada Mandukya Karika, IV.97)
Ide pluralitas tentang Atman dinyatakan oleh mereka yang bodoh, pendekatan mereka menutupi hal yang tak terkondisi. Di mana kemudian penghancuran dari selubung sifat murni Atman?
SEPERTINYA, pernyataan Gaudapada di atas merupakan jawaban bagi pendebat yang menentangnya. Gaudapada merupakan perintis dari ajaran Advaita Vedanta. Prinsip dan komentar-komentarnya atas Mandukya Upanisad adalah cikal bakal gerakan non-dualis yang kemudian diformat kembali dan disebar-luaskan oleh Adi Sankaracharya. Konten yang ditampilkan dalam komentar (karika) ini merefleksikan bagaimana dialektika pemikiran di masa itu. Ini menandakan bahwa pemikiran-pemikiran yang beragam telah ada sejak awal dan saling debat satu dengan yang lainnya. Ada dua pemikiran atau lebih yang saling berkonfrontasi, adu argumentasi, saling menemukan kelemahan lawan, dan saling memperkuat pendapatnya sendiri.
Pemikiran yang lucid dan pemahaman individu yang gemilang terjadi dan tetap terjaga dari zaman ke zaman oleh karena sistem pendidikan memberikan ruang dialektika seperti ini. Guna memantapkan pemahamannya terhadap sebuah subjek, seorang murid harus diadu dalam argumentasi. Jika dia mampu mempertahankan pendapatnya dan mampu mengalahkan musuh debatnya, maka dia layak dinyatakan lulus dan memiliki pemahaman serta kemampuan di bidangnya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan pemahaman yang baru dan segar hadir di sana karena para penyanggah menghadirkan masalah yang tidak terduga sebelumnya. Ketika masalah tersebut dapat diatasi saat itu juga, maka ini semacam kebaharuan ide. Semakin orang mampu menggali permasalahan ke dalam subjek pelajaran tertentu, semakin kaya jawaban yang bisa ditemukan. Tidak sedikit, jawaban yang timbul surprise baik bagi penyanggah maupun yang disanggah.
Teks di atas mengindikasikan bahwa lawan Gaudapada waktu itu adalah mereka yang memiliki pemahaman bahwa atman bersifat plural seperti halnya samkhya. Lawan mungkin menyanggah bahwa berdasarkan pengalaman individu, jiva merupakan penikmat dari objek suka dan duka. Masing-masing individu mengalami bentuk pengalaman yang berbeda-beda, sehingga disimpulkan bahwa jiva masing-masing orang berbeda-beda. Sementara Gaudapada berpendapat bahwa jiva adalah tunggal. Tidak ada perbedaan antara jiva yang ada pada si A dengan jiva yang ada pada si B. Yang membedakan hanyalah nama dan rupanya saja di wilayah prakrti. Ketika ditarik ke atas, ketika seluruh ikatan prakrti selesai, jiva tidak lagi tampak berbeda-beda, melainkan ia tunggal yang menyelimuti segala sesuatu. Gaudapada menyebut mereka yang memiliki pandangan bahwa jiva itu banyak sebagai orang bodoh, sebab jika individualitas masih tetap dipertahankan, lalu bagaimana jiva itu bisa melepaskan diri dari segala identitasnya, sebab individu itu adalah sebuah identitas.
Jika atman masih berada dalam identitas, maka ia masih dipengaruhi oleh ahamkara, sebab segala identitas berada dalam wilayah kerja ahamkara. Jika masih terbelenggu oleh ahamkara, lalu bagaimana jiva itu kemudian disebut terbebas dari segala belenggu? Demikian perdebatannya, sehingga Adi Sankaracharya memformatnya ke dalam dictum Advaita Vedanta yang sangat terkenal Brahmo satyam jagat mithya, jivo brahmaiva na parah — Hanya Brahman yang nyata, alam semesta tidak nyata, secara prinsip jiva dan Brahman tidak berbeda. Hanya ketika seseorang mampu melenyapkan secara sempurna selubung atman akan mengalami langsung bahwa dirinya adalah Satcitnanda.
Kemuliaan dari perbedaan pandangan ini adalah mereka berupaya saling mengungguli satu dengan yang lainnya, saling merendahkan pendapat orang lain, tetapi mereka tidak saling meniadakan eksistensi masing-masing. Kemenangan dalam perdebatan tidak serta merta menghilangkan pihak yang kalah, melainkan memberikan mereka kesempatan untuk meningkatkan pemahamannya, sementara mereka yang menang memperoleh penghargaan. Sehingga, mereka yang kalah masih tetap eksis dan yang menang akan semakin berkibar. Namun, pada suatu masa, subjek yang pernah kalah dulu itu ketika diperdebatkan kembali oleh pendukung mereka yang terpelajar, bisa mengungguli subjek yang pernah memenangkannya dulu. Dari sini mungkin bisa disimpulkan bahwa kemenangan secara bergantian ini terjadi oleh karena mereka memperdebatkan satu kebenaran yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Siapa pun dari mereka yang menguasai secara sempurna sudut pandangnya akan merajai semua perdebatan. *
I Gede Suwantana
Komentar