Cucu Raja Terakhir Kerajaan Karangasem yang Piawai Menari Sejak Kecil
Maestro Tari Legong Dr dr AA Ayu Bulan Trisna Jelantik Tutup Usia
Prof Made Bandem menyebut Ayu Bulan Trisna justru melestarikan dan mengembangkan seni tradisi Bali di luar Bali dengan mendirikan ‘bengkel’ tari Bali di Jakarta hingga sekarang.
AMLAPURA, NusaBali
Maestro Tari Legong, Dr dr AA Ayu Bulan Trisna Jelantik,74, tutup usia di Rumah Sakit Siloam Semanggi Jakarta, Rabu (24/2) pukul 00.30 Wita. Ayu Bulan Trisna meninggal dunia setelah cukup lama menderita sakit kanker pankreas. Perempuan kelahiran Deventer, Belanda 8 September 1947 ini merupakan cucu dari Raja terakhir Kerajaan Karangasem, Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem atau putri sulung dari Dr dr AA Made Jelantik.
Menurut Adik sepupu AA Ayu Bulan Trisna, yakni Anak Agung Made Kosalia sejak kecil Ayu Bulan Trisna sudah piawai menari. Bahkan sejak umur 10 tahun ditunjuk Presiden Soekarno menari di Istana Presiden Tampaksiring, Gianyar.
“Saat ada tamu kehormatan berkunjung ke Kerajaan Karangasem pasti disambut dengan tarian yang dibawakan Ayu Bulan Trisna,” cerita Ketua Badan Pengelola Puri Agung Karangasem dan Ketua Badan Pengelola Objek Wisata Tirtagangga ini saat ditemui di kediamannya Puri Kanginan, Jalan Sultan Agung Amlapura, Rabu (24/2).
AA Kosalia mengatakan Ayu Bulan Trisna juga dikenal sebagai penari oleg tamulilingan dan pernah berpasangan dengan Prof Dr I Made Bandem. Selain aktif menari juga mendirikan Sanggar Tari Ayu Bulan pada tahun 1994 di Jakarta, spesialis mengajar tari-tarian klasik Bali.
Dikatakannya almarhumah telah dimakamkan di Kompleks Pemakaman Sandiego Hills Paradise Karawang, Jawa Barat, Rabu pagi kemarin. "Kami dari keluarga di Puri Karangasem hanya mendoakan, sedangkan keluarga Puri Karangasem yang tinggal di Jakarta langsung hadir di acara pemakaman," ujar AA Kosalia.
Ayu Bulan Trisna meraih gelar dokter spesialis THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Jerman, kemudian jadi dosen di Fakultas Kedokteran Universitas, Padjajaran Bandung. Dikutip dari Wikipedia, Ayu Bulan Trisna Jelantik menggeluti dunia tari pertama kali di Puri sang kakek, yakni Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem yang merupakan raja terakhir dari Kerajaan Karangasem. Dia mencari dan memanggil guru tari untuk Bulan Trisna. Guru yang dipanggil oleh sang kakek antara lain Bagus Bongkasa dan Gusti Biang Sengog.
Bulan Trisna kecil mengenal tari tradisional Bali ketika usia 7 tahun dan pada saat usianya menginjak 10 tahun Bulan Trisna diundang oleh Presiden Soekarno ke Istana Presiden di Tampaksiring, Gianyar untuk menghibur para tamu Istana. Mentor utamanya adalah Anak Agung Mandera dan Gusti Made Sengog, penari Legong generasi pertama.
Saat usia 11 tahun, Bulan Trisna pernah menari Oleg di Jakarta untuk pertama kalinya. Menurut Bulan Trisna, menari merupakan pelepasan emosi, kreativitas, kegembiraan, bergerak dengan penuh penjiwaan, dan sebagai sarana berdoa. Kecintaan Ayu Bulan Trisna Djelantik pada tari tak hanya sebatas gerak saja, tetapi dia juga mendirikan bengkel tari yang diberi nama Ayu Bulan pada tahun 1994. Salah satu kreasi tari ciptaan yang telah dibuatnya ialah tari Legong Asmarandana.
Pada tahun 1971, Ayu Bulan Trisna memutuskan untuk menikah dan berhenti menari. Dia kemudian melanjutkan studi medisnya di Munich, Jerman, dan setelah menikah dengan suaminya Soejoto, dia memiliki karir dan tinggal di luar negeri selama beberapa tahun termasuk di India dan Amerika Serikat. Dia kembali ke Indonesia setelah 40 tahun di luar negeri dan tinggal di Bandung. Dia mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, dan bekerja sebagai dokter spesialis telinga. Ayu Bulan Trisna juga masih menjadi ketua Masyarakat Asia Tenggara untuk Pendengaran Suara.
Pada akhirnya setelah menikah, Bulan Trisna tetap menari ketika melanjutkan studi di Jerman, Belanda dan Belgia. Sampai saat tutup usia, Bulan Trisna tetap aktif menekuni dunia tari bahkan setelah pensiun sebagai pegawai negeri dan staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung.
Ayu Bulan Trisna memiliki sebuah sanggar tari bernama Bengkel Tari Ayu Bulan yang aktif mengadakan bengkel dan pentas baik di Indonesia maupun di banyak negara lain. Dia menampilkan legong klasik bersama kelompok tarinya, yang berbasis di Jakarta. Dia juga berkolaborasi dalam koreografi dengan orang lain, seperti Retno Maruti, ahli tari klasik Jawa.
Sementara berpulangnya maestro legong, AA Ayu Bulan Trisna membawa duka mendalam bagi para budayawan dan pegiat seni. Salah satunya yang dirasakan Prof Dr I Made Bandem MA yang merupakan teman dekat mendiang. Maestro seni yang juga guru besar bidang Etnomusikologi ini telah mengenal sosok Ayu Bulan Trisna sejak lama. “Saya mengenal beliau sejak kita masih kecil sesungguhnya, karena kita sering sekali menari bersama di tahun 50-an. Jadi kami ini berkali-kali mengikuti misi kesenian ke luar negeri yang dikirim oleh pemerintah Republik Indonesia, Presiden Soekarno, untuk menegaskan diplomasi kebudayaan,” ungkap Prof Bandem kepada NusaBali saat dihubungi, Rabu kemarin.
Kemudian pada tahun 1964, Prof Bandem bersama dengan mendiang Ayu Bulan Trisna bersama-sama berangkat ke Filipina. Dilanjutkan di tahun 1965 keduanya bersama-sama berangkat ke Korea Utara, China, dan Jepang. Di tahun yang sama, keduanya dipersiapkan untuk berangkat ke Romania dan ke Hungaria.
“Kalau melihat dari kehormatan itu, mengikuti misi kesenian, seperti itu saya rasa. Ibu Bulan adalah seorang maestro sesungguhnya. Seorang maestro seni, jadi beliau lama di Peliatan (Ubud), belajar Legong Keraton. Kemudian sekarang ini sesudah beliau pensiun dari tugasnya sebagai ahli THT, itu beliau sangat gencar sekali memperhatikan perkembangan-perkembangan seni tradisi Bali itu,” kenang Prof Bandem.
Yang mengagumkan dari sosok Ayu Bulan Trisna, yaitu tentang bagaimana mendiang melestarikan dan mengembangkan seni tradisi Bali justru di luar Pulau Bali dengan mendirikan ‘bengkel’ tari Bali di Jakarta yang hidup sampai sekarang. Sanggar seninya kini telah berkembang hingga memiliki beberapa cabang. Juga, mendiang aktif menggelar beberapa festival, pagelaran, hingga kompetisi seni.
Sebelumnya, pada 6 September 2020 silam, Prof Bandem sempat kembali berkomunikasi dengan intens dengan mendiang Ayu Bulan Trisna, mendiskusikan mengenai buku Tari Legong. “Buku ini sesungguhnya telah terbit 2 tahun lalu, dan diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. Tapi sekarang, buku itu sedang kita sempurnakan, sedang kita terjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, untuk dicetak dan dikembangkan supaya ini bisa bersifat internasional,” terangnya.
Kala itu, Prof Bandem telah mengetahui kondisi mendiang Ayu Bulan Trisna yang tengah sakit, namun komunikasi masih tetap terjaga. Terakhir, Selasa (23/2), Prof Bandem pun sempat mengirimkan pesan kepada mendiang.
“Kemarin sore saya kirim WA kepada beliau, saya ada di Sanur. Itu kebetulan saya kirim WA kepada beliau, mudah-mudahan beliau tetap sehat, karena kan sudah lama mengidap kanker pankreas. Lalu akhirnya tadi pagi saya mendengar beliau berpulang,” kata mantan Ketua STSI Denpasar (kini ISI Denpasar) dan Rektor ISI Jogjakarta ini.
Mendiang diketahui senang melakukan kontak dengan kolega-koleganya di Bali. Menurut Prof Bandem, kesibukan mendiang yang sering bepergian ke luar negeri membuat mendiang selalu berusaha mendekatkan diri dengan Bali, karena itulah, komunikasi dengan rekan-rekannya di Peliatan (Ubud), hingga di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar terjalin dengan baik. *k16, cr74
Menurut Adik sepupu AA Ayu Bulan Trisna, yakni Anak Agung Made Kosalia sejak kecil Ayu Bulan Trisna sudah piawai menari. Bahkan sejak umur 10 tahun ditunjuk Presiden Soekarno menari di Istana Presiden Tampaksiring, Gianyar.
“Saat ada tamu kehormatan berkunjung ke Kerajaan Karangasem pasti disambut dengan tarian yang dibawakan Ayu Bulan Trisna,” cerita Ketua Badan Pengelola Puri Agung Karangasem dan Ketua Badan Pengelola Objek Wisata Tirtagangga ini saat ditemui di kediamannya Puri Kanginan, Jalan Sultan Agung Amlapura, Rabu (24/2).
AA Kosalia mengatakan Ayu Bulan Trisna juga dikenal sebagai penari oleg tamulilingan dan pernah berpasangan dengan Prof Dr I Made Bandem. Selain aktif menari juga mendirikan Sanggar Tari Ayu Bulan pada tahun 1994 di Jakarta, spesialis mengajar tari-tarian klasik Bali.
Dikatakannya almarhumah telah dimakamkan di Kompleks Pemakaman Sandiego Hills Paradise Karawang, Jawa Barat, Rabu pagi kemarin. "Kami dari keluarga di Puri Karangasem hanya mendoakan, sedangkan keluarga Puri Karangasem yang tinggal di Jakarta langsung hadir di acara pemakaman," ujar AA Kosalia.
Ayu Bulan Trisna meraih gelar dokter spesialis THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Jerman, kemudian jadi dosen di Fakultas Kedokteran Universitas, Padjajaran Bandung. Dikutip dari Wikipedia, Ayu Bulan Trisna Jelantik menggeluti dunia tari pertama kali di Puri sang kakek, yakni Anak Agung Anglurah Ketut Karangasem yang merupakan raja terakhir dari Kerajaan Karangasem. Dia mencari dan memanggil guru tari untuk Bulan Trisna. Guru yang dipanggil oleh sang kakek antara lain Bagus Bongkasa dan Gusti Biang Sengog.
Bulan Trisna kecil mengenal tari tradisional Bali ketika usia 7 tahun dan pada saat usianya menginjak 10 tahun Bulan Trisna diundang oleh Presiden Soekarno ke Istana Presiden di Tampaksiring, Gianyar untuk menghibur para tamu Istana. Mentor utamanya adalah Anak Agung Mandera dan Gusti Made Sengog, penari Legong generasi pertama.
Saat usia 11 tahun, Bulan Trisna pernah menari Oleg di Jakarta untuk pertama kalinya. Menurut Bulan Trisna, menari merupakan pelepasan emosi, kreativitas, kegembiraan, bergerak dengan penuh penjiwaan, dan sebagai sarana berdoa. Kecintaan Ayu Bulan Trisna Djelantik pada tari tak hanya sebatas gerak saja, tetapi dia juga mendirikan bengkel tari yang diberi nama Ayu Bulan pada tahun 1994. Salah satu kreasi tari ciptaan yang telah dibuatnya ialah tari Legong Asmarandana.
Pada tahun 1971, Ayu Bulan Trisna memutuskan untuk menikah dan berhenti menari. Dia kemudian melanjutkan studi medisnya di Munich, Jerman, dan setelah menikah dengan suaminya Soejoto, dia memiliki karir dan tinggal di luar negeri selama beberapa tahun termasuk di India dan Amerika Serikat. Dia kembali ke Indonesia setelah 40 tahun di luar negeri dan tinggal di Bandung. Dia mengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, dan bekerja sebagai dokter spesialis telinga. Ayu Bulan Trisna juga masih menjadi ketua Masyarakat Asia Tenggara untuk Pendengaran Suara.
Pada akhirnya setelah menikah, Bulan Trisna tetap menari ketika melanjutkan studi di Jerman, Belanda dan Belgia. Sampai saat tutup usia, Bulan Trisna tetap aktif menekuni dunia tari bahkan setelah pensiun sebagai pegawai negeri dan staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung.
Ayu Bulan Trisna memiliki sebuah sanggar tari bernama Bengkel Tari Ayu Bulan yang aktif mengadakan bengkel dan pentas baik di Indonesia maupun di banyak negara lain. Dia menampilkan legong klasik bersama kelompok tarinya, yang berbasis di Jakarta. Dia juga berkolaborasi dalam koreografi dengan orang lain, seperti Retno Maruti, ahli tari klasik Jawa.
Sementara berpulangnya maestro legong, AA Ayu Bulan Trisna membawa duka mendalam bagi para budayawan dan pegiat seni. Salah satunya yang dirasakan Prof Dr I Made Bandem MA yang merupakan teman dekat mendiang. Maestro seni yang juga guru besar bidang Etnomusikologi ini telah mengenal sosok Ayu Bulan Trisna sejak lama. “Saya mengenal beliau sejak kita masih kecil sesungguhnya, karena kita sering sekali menari bersama di tahun 50-an. Jadi kami ini berkali-kali mengikuti misi kesenian ke luar negeri yang dikirim oleh pemerintah Republik Indonesia, Presiden Soekarno, untuk menegaskan diplomasi kebudayaan,” ungkap Prof Bandem kepada NusaBali saat dihubungi, Rabu kemarin.
Kemudian pada tahun 1964, Prof Bandem bersama dengan mendiang Ayu Bulan Trisna bersama-sama berangkat ke Filipina. Dilanjutkan di tahun 1965 keduanya bersama-sama berangkat ke Korea Utara, China, dan Jepang. Di tahun yang sama, keduanya dipersiapkan untuk berangkat ke Romania dan ke Hungaria.
“Kalau melihat dari kehormatan itu, mengikuti misi kesenian, seperti itu saya rasa. Ibu Bulan adalah seorang maestro sesungguhnya. Seorang maestro seni, jadi beliau lama di Peliatan (Ubud), belajar Legong Keraton. Kemudian sekarang ini sesudah beliau pensiun dari tugasnya sebagai ahli THT, itu beliau sangat gencar sekali memperhatikan perkembangan-perkembangan seni tradisi Bali itu,” kenang Prof Bandem.
Yang mengagumkan dari sosok Ayu Bulan Trisna, yaitu tentang bagaimana mendiang melestarikan dan mengembangkan seni tradisi Bali justru di luar Pulau Bali dengan mendirikan ‘bengkel’ tari Bali di Jakarta yang hidup sampai sekarang. Sanggar seninya kini telah berkembang hingga memiliki beberapa cabang. Juga, mendiang aktif menggelar beberapa festival, pagelaran, hingga kompetisi seni.
Sebelumnya, pada 6 September 2020 silam, Prof Bandem sempat kembali berkomunikasi dengan intens dengan mendiang Ayu Bulan Trisna, mendiskusikan mengenai buku Tari Legong. “Buku ini sesungguhnya telah terbit 2 tahun lalu, dan diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. Tapi sekarang, buku itu sedang kita sempurnakan, sedang kita terjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, untuk dicetak dan dikembangkan supaya ini bisa bersifat internasional,” terangnya.
Kala itu, Prof Bandem telah mengetahui kondisi mendiang Ayu Bulan Trisna yang tengah sakit, namun komunikasi masih tetap terjaga. Terakhir, Selasa (23/2), Prof Bandem pun sempat mengirimkan pesan kepada mendiang.
“Kemarin sore saya kirim WA kepada beliau, saya ada di Sanur. Itu kebetulan saya kirim WA kepada beliau, mudah-mudahan beliau tetap sehat, karena kan sudah lama mengidap kanker pankreas. Lalu akhirnya tadi pagi saya mendengar beliau berpulang,” kata mantan Ketua STSI Denpasar (kini ISI Denpasar) dan Rektor ISI Jogjakarta ini.
Mendiang diketahui senang melakukan kontak dengan kolega-koleganya di Bali. Menurut Prof Bandem, kesibukan mendiang yang sering bepergian ke luar negeri membuat mendiang selalu berusaha mendekatkan diri dengan Bali, karena itulah, komunikasi dengan rekan-rekannya di Peliatan (Ubud), hingga di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar terjalin dengan baik. *k16, cr74
1
Komentar