Merasa Kecewa, Dua Krama Desa Linggih Walk Out
Paruman Desa Adat Kubutambahan Bahas Pertanggungjawaban Prajuru Berlangsung Tertutup
Dua krama desa linggih walk out karena paruman Desa Adat Kubutambahan batal melibatkan krama desa latan dan krama sampingan, dan hanya melibatkan 33 orang krama desa linggih.
SINGARAJA, NusaBali
Desa Adat Kubutambahan, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, menggelar paruman pertanggungjawaban prajuru Desa Adat Kubutambahan dari 1994 hingga 2021, yang antara lain membahas soal keberadaan lahan duwen pura. Paruman desa berlangsung tertutup di Mandala Utama Pura Bale Agung Desa Adat Kubutambahan pada Saniscara Pasah Kulantir, Sabtu (27/2) pagi. Paruman yang membahas pertanggungjawaban prajuru Desa Adat Kubutambahan dari 1994 hingga 2021 ini hanya melibatkan 33 orang krama desa linggih dan beberapa pejabat instansi terkait yang diundang.
Pelaksanaan paruman desa itu dimulai pada pukul 09.00 Wita dipimpin oleh Pengulu Desa Jro Pasek Ketut Warkadea. Rapat adat itu juga dihadiri Bendesa Madya Majelis Desa Adat (MDA) Kabupaten Buleleng Dewa Putu Budarsa, Camat Kubutambahan I Made Suyasa, Perbekel Desa Kubutambahan Gede Pariadnyana, unsur TNI-Polri, dan 33 anggota krama desa linggih (adalah krama ngarep, merupakan perwakilan panti dadia. Mereka mempunyai hak suara untuk paruman desa dan pengelolaan keuangan desa, Red).
Riak-riak terjadi sejak awal pelaksanaan paruman desa. Sejumlah kelian dadia, krama desa latan (adalah keluarga krama desa linggih yang bertugas melaksanakan upacara dan pembangunan, Red), dan krama desa sampingan (para pendatang, krama tamu yang beragama Hindu, bertugas membantu desa linggih atau desa latan, Red) tak diperkenankan masuk ke areal Utama Mandala Pura. Sangkepan (rapat) itu dikawal ketat pecalang desa dan personel Polres Buleleng dan Polsek Kubutambahan.
Perwakilan Dadia Arya Kebon Tubuh Kubutambahan Ketut Budiada mengaku sangat kecewa tidak diperkenankan masuk, padahal dia mendapat surat undangan resmi paruman desa.
“Kecewa pasti, saya sudah pakai pakaian adat masuk ke sini meninggalkan pekerjaan. Sampai di sini tidak dikasih masuk. Secara pribadi saya tidak ada kepentingan apa-apa, hanya sebagai anggota paruman,” kata Ketut Budiada saat ditemui di Madya Mandala Pura Bale Agung Desa Adat Kubutambahan.
Dia yang mewakili ayahnya sebagai kelian dadia, mendapat surat undangan paruman desa pada Kamis (25/2). Ketut Budiada menjelaskan, dia tidak diizinkan masuk, karena menurut pecalang, surat undangan untuk kelian dadia, krama desa latan, dan krama desa sampingan dicabut, dengan alasan mencegah kerumunan pada masa pandemi.
“Kalau memang ada pencabutan surat, saya belum terima informasi itu. Minimal H-1 lah informasinya biar tidak begini kejadiannya,” ucap Ketut Budiada.
Selain itu saat paruman sedang berlangsung sekitar pukul 11.00 Wita, dua anggota krama desa linggih memutuskan walk out (meninggalkan paruman, Red), karena merasa pelaksanaan paruman tak sesuai dengan kesepakatan mediasi di Kantor Camat Kubutambahan pada 6 Januari 2021 lalu. Kedua anggota krama desa linggih yang melakukan aksi walk out adalah Ngurah Mahkota dan Gede Sumenasa.
Sumenasa ditemui di Madya Mandala Pura Bale Agung, menilai paruman yang membahas pertanggungjawaban melanggar awig-awig Desa Adat Kubutambahan. Hal itu, menurut dia, karena pada paruman desa batal melibatkan krama desa latan dan krama sampingan dan hanya melibatkan 33 orang krama desa linggih. Pembatalan pelibatan dua komponen krama adat itu menurutnya sangat tidak elegan dikaitkan dengan alasan pembatasan kerumunan saat pandemi.
“Kalau karena pandemi, seharusnya formasinya melibatkan semua komponen. Kalau kami hanya mendengarkan 33 orang dari satu komponen krama, sementara di Desa Adat Kubutambahan ini ada ribuan KK. Makanya kami lebih baik keluar saja. Kalau tidak dilibatkan tiga komponen krama desa adat itu, kami tetap akan menolak,” tandas Sumenasa.
Selain masalah kepesertaan paruman, Sumenasa dan Ngurah Mahkota yang melakukan aksi walk out juga masih mempertanyakan kejelasan lahan duwen pura seluas 370 hektare yang saat ini hak guna pakai masih dikuasai oleh pihak ketiga yakni PT Pinang Propertindo. Sengketa ini mulai muncul setelah ada isu pembangunan bandara di Kubutambahan, yang rencananya menggunakan lahan duwen pura Desa Adat Kubutambahan. Bahkan Sumenasa mengklaim sudah memegang bukti terkait kondisi lahan duwen pura saat ini yang disewakan dengan perjanjian tak terbatas kepada pihak ketiga. Seluas 64 hektare dari 370 hektare lahan duwen pura saat ini dalam posisi dilelang karena Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) dipakai jaminan pihak ketiga.
“Alasan kami memperjuangkan bukan untuk pribadi saya, bukan mengacaukan siapa-siapa. Ini realita permasalahan yang ada. Kenapa ada perjanjian tak terbatas dalam kuasa hukum. Padahal desa linggih tak pernah beri surat kuasa pada beliau ini,” tegas dia.
Sementara itu Pengulu Desa Adat Kubutambahan Jro Pasek Ketut Warkadea, ditemui usai paruman, menjelaskan perubahan peserta paruman yang akhirnya hanya melibatkan krama desa linggih sebanyak 33 orang itu, karena situasi pandemi. Warkadea mengaku tak ingin menjadi tersangka pembuatan kerumunan pada masa pandemic, sehingga peserta paruman dibatasi. Menurutnya eliminasi krama desa latan dan krama desa sampingan menurutnya sudah sesuai dengan materi awig-awig Desa Adat Kubutambahan. Tiga komponen desa adat ini disebutnya memiliki tingkatan dan hak kewajiban yang berbeda.
“Hak dan kewajiban tidak sama. Tugas, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan beda. Desa linggih tugas mengadakan rapat, memberikan suara dalam pengambilan keputusan, termasuk sumber dana milik desa dikelola desa linggih. Namanya paruman desa, krama desa latan dan sampingan bukan dalam fungsi paruman, tetapi dalam pelaksanaan tugas fungsi ngayah. Yang mengambil keputusan bale agung desa linggih. Desa linggih yang punya hak pengelolaan keuangan desa adat,” tutur Warkadea yang masih aktif sebagai staf ahli Bupati Buleleng.
Menurut Warkadea, kewenangan penuh dimiliki krama desa linggih, karena sudah mewakili krama desa latan termasuk dadia dan panti. Aksi walk out yang dilakukan dua anggota krama desa linggih, disebutkan hanya tertuang dalam sima dresta dan belum masuk dalam awig. Jika krama menginginkan krama desa latan dan krama desa sampingan ikut menjadi peserta paruman desa, prajuru harus mengubah awig-awig terlebih dahulu, meminta persetujuan dari 33 krama desa linggih. “Harus minta persetujuan desa linggih dulu, mau tidak direvisi. Tetapi saya rasa mau, undang-undang saja bisa diamandemen, hanya saja harus cari waktu dulu untuk mengadopsi keinginan mereka,” ucap Warkadea.
Keputusan paruman yang membahas pertanggungjawaban prajuru sejak 1994 sampai sekarang akan dilakukan siar desa. Puluhan anggota desa linggih yang akan menyampaikan ke krama desa latan yang tak lain adalah bagian dari keluarga desa linggih.
Lalu soal pertanggungjawabannya selama menjabat sebagai pengulu desa yang sering dipanggil JP ini, diakuinya sudah berupaya memperjuangkan aset desa adat. Tak hanya lahan duwen pura saja tetapi lahan pasar, kantor hingga lahan desa yang bersengketa dan masuk proses hukum selama ini. Terkait dengan lahan duwen pura seluas 370 hektare yang kini masih dalam hak guna PT Pinang Propertindo, JP dalam paruman desa itu menyampaikan surat jawaban PT Pinang Propertindo atas sewa lahan duwen pura Desa Adat Kubutambahan. Namun dalam surat konfirmasi pembayaran dari PT Pinang Propertindo Nomor 005/Dir-PP/XII/2020 yang ditandatangani oleh Direktur Keuangan Luky Winata, dijelaskan luas tanah yang disewa sekitar 370 hektare. Tanah itu disewa dari periode 2001-2091 dengan total harga sewa Rp 3.997.978.250. Namun yang baru dibayarkan Rp 2.496.053.750. Sisanya Rp 1.501.933.500 masih ditangguhkan karena pada tahun 2014 lalu saat memohon surat Izin Usaha Agrowisata dan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ditolak oleh Pemkab Bule
leng. Penolakan itu disebut karena lokasi tanah duwen pura Desa Adat Kubutambahan sudah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk bandara.
“Kalau masalah diagunkan Rp 1,4 miliar itu urusan investor. Saya tidak pernah memberikan persetujuan kredit. Saya pastikan lahan duwen pura tidak terancam. Karena dia (PT Pinang) hanya menyewa dan mendapatkan SGB jaminan 30 tahun, setelah itu kembali. Kontrak berakhir 2031,” kata Warkadea.
Dari hasil paruman desa yang diselesaikan dengan 31 orang anggota krama negak diklaim JP menyetujui pertanggungjawaban yang disampaikannya.
Menyangkut persoalan dalam paruman Desa Adat Kubutambahan itu, Bendesa Madya MDA Buleleng Dewa Putu Budarsa menjelaskan tak memiliki otoritas untuk mencampuri persoalan intern Desa Adat Kubutambahan. Namun soal keikutsertaan paruman desa yang belum dapat mengikutsertakan seluruh krama desanya disarankan untuk melakukan revisi awig-awig. “Kami tidak menyalahkan dan membenarkan yang sebenarnya awig-awig sudah bunyi begitu. Kami menyarankan bagaimana menggabungkan hukum adat awig-awig dengan sima dan dresta. Kalau awig-awig tidak paripurna besok-besok akan muncul kejadian seperti ini. Sehingga penggabungan dresta dan sima digabungkan dalam awig-awig,” kata Budarsa. *k23
Pelaksanaan paruman desa itu dimulai pada pukul 09.00 Wita dipimpin oleh Pengulu Desa Jro Pasek Ketut Warkadea. Rapat adat itu juga dihadiri Bendesa Madya Majelis Desa Adat (MDA) Kabupaten Buleleng Dewa Putu Budarsa, Camat Kubutambahan I Made Suyasa, Perbekel Desa Kubutambahan Gede Pariadnyana, unsur TNI-Polri, dan 33 anggota krama desa linggih (adalah krama ngarep, merupakan perwakilan panti dadia. Mereka mempunyai hak suara untuk paruman desa dan pengelolaan keuangan desa, Red).
Riak-riak terjadi sejak awal pelaksanaan paruman desa. Sejumlah kelian dadia, krama desa latan (adalah keluarga krama desa linggih yang bertugas melaksanakan upacara dan pembangunan, Red), dan krama desa sampingan (para pendatang, krama tamu yang beragama Hindu, bertugas membantu desa linggih atau desa latan, Red) tak diperkenankan masuk ke areal Utama Mandala Pura. Sangkepan (rapat) itu dikawal ketat pecalang desa dan personel Polres Buleleng dan Polsek Kubutambahan.
Perwakilan Dadia Arya Kebon Tubuh Kubutambahan Ketut Budiada mengaku sangat kecewa tidak diperkenankan masuk, padahal dia mendapat surat undangan resmi paruman desa.
“Kecewa pasti, saya sudah pakai pakaian adat masuk ke sini meninggalkan pekerjaan. Sampai di sini tidak dikasih masuk. Secara pribadi saya tidak ada kepentingan apa-apa, hanya sebagai anggota paruman,” kata Ketut Budiada saat ditemui di Madya Mandala Pura Bale Agung Desa Adat Kubutambahan.
Dia yang mewakili ayahnya sebagai kelian dadia, mendapat surat undangan paruman desa pada Kamis (25/2). Ketut Budiada menjelaskan, dia tidak diizinkan masuk, karena menurut pecalang, surat undangan untuk kelian dadia, krama desa latan, dan krama desa sampingan dicabut, dengan alasan mencegah kerumunan pada masa pandemi.
“Kalau memang ada pencabutan surat, saya belum terima informasi itu. Minimal H-1 lah informasinya biar tidak begini kejadiannya,” ucap Ketut Budiada.
Selain itu saat paruman sedang berlangsung sekitar pukul 11.00 Wita, dua anggota krama desa linggih memutuskan walk out (meninggalkan paruman, Red), karena merasa pelaksanaan paruman tak sesuai dengan kesepakatan mediasi di Kantor Camat Kubutambahan pada 6 Januari 2021 lalu. Kedua anggota krama desa linggih yang melakukan aksi walk out adalah Ngurah Mahkota dan Gede Sumenasa.
Sumenasa ditemui di Madya Mandala Pura Bale Agung, menilai paruman yang membahas pertanggungjawaban melanggar awig-awig Desa Adat Kubutambahan. Hal itu, menurut dia, karena pada paruman desa batal melibatkan krama desa latan dan krama sampingan dan hanya melibatkan 33 orang krama desa linggih. Pembatalan pelibatan dua komponen krama adat itu menurutnya sangat tidak elegan dikaitkan dengan alasan pembatasan kerumunan saat pandemi.
“Kalau karena pandemi, seharusnya formasinya melibatkan semua komponen. Kalau kami hanya mendengarkan 33 orang dari satu komponen krama, sementara di Desa Adat Kubutambahan ini ada ribuan KK. Makanya kami lebih baik keluar saja. Kalau tidak dilibatkan tiga komponen krama desa adat itu, kami tetap akan menolak,” tandas Sumenasa.
Selain masalah kepesertaan paruman, Sumenasa dan Ngurah Mahkota yang melakukan aksi walk out juga masih mempertanyakan kejelasan lahan duwen pura seluas 370 hektare yang saat ini hak guna pakai masih dikuasai oleh pihak ketiga yakni PT Pinang Propertindo. Sengketa ini mulai muncul setelah ada isu pembangunan bandara di Kubutambahan, yang rencananya menggunakan lahan duwen pura Desa Adat Kubutambahan. Bahkan Sumenasa mengklaim sudah memegang bukti terkait kondisi lahan duwen pura saat ini yang disewakan dengan perjanjian tak terbatas kepada pihak ketiga. Seluas 64 hektare dari 370 hektare lahan duwen pura saat ini dalam posisi dilelang karena Surat Hak Guna Bangunan (SHGB) dipakai jaminan pihak ketiga.
“Alasan kami memperjuangkan bukan untuk pribadi saya, bukan mengacaukan siapa-siapa. Ini realita permasalahan yang ada. Kenapa ada perjanjian tak terbatas dalam kuasa hukum. Padahal desa linggih tak pernah beri surat kuasa pada beliau ini,” tegas dia.
Sementara itu Pengulu Desa Adat Kubutambahan Jro Pasek Ketut Warkadea, ditemui usai paruman, menjelaskan perubahan peserta paruman yang akhirnya hanya melibatkan krama desa linggih sebanyak 33 orang itu, karena situasi pandemi. Warkadea mengaku tak ingin menjadi tersangka pembuatan kerumunan pada masa pandemic, sehingga peserta paruman dibatasi. Menurutnya eliminasi krama desa latan dan krama desa sampingan menurutnya sudah sesuai dengan materi awig-awig Desa Adat Kubutambahan. Tiga komponen desa adat ini disebutnya memiliki tingkatan dan hak kewajiban yang berbeda.
“Hak dan kewajiban tidak sama. Tugas, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan beda. Desa linggih tugas mengadakan rapat, memberikan suara dalam pengambilan keputusan, termasuk sumber dana milik desa dikelola desa linggih. Namanya paruman desa, krama desa latan dan sampingan bukan dalam fungsi paruman, tetapi dalam pelaksanaan tugas fungsi ngayah. Yang mengambil keputusan bale agung desa linggih. Desa linggih yang punya hak pengelolaan keuangan desa adat,” tutur Warkadea yang masih aktif sebagai staf ahli Bupati Buleleng.
Menurut Warkadea, kewenangan penuh dimiliki krama desa linggih, karena sudah mewakili krama desa latan termasuk dadia dan panti. Aksi walk out yang dilakukan dua anggota krama desa linggih, disebutkan hanya tertuang dalam sima dresta dan belum masuk dalam awig. Jika krama menginginkan krama desa latan dan krama desa sampingan ikut menjadi peserta paruman desa, prajuru harus mengubah awig-awig terlebih dahulu, meminta persetujuan dari 33 krama desa linggih. “Harus minta persetujuan desa linggih dulu, mau tidak direvisi. Tetapi saya rasa mau, undang-undang saja bisa diamandemen, hanya saja harus cari waktu dulu untuk mengadopsi keinginan mereka,” ucap Warkadea.
Keputusan paruman yang membahas pertanggungjawaban prajuru sejak 1994 sampai sekarang akan dilakukan siar desa. Puluhan anggota desa linggih yang akan menyampaikan ke krama desa latan yang tak lain adalah bagian dari keluarga desa linggih.
Lalu soal pertanggungjawabannya selama menjabat sebagai pengulu desa yang sering dipanggil JP ini, diakuinya sudah berupaya memperjuangkan aset desa adat. Tak hanya lahan duwen pura saja tetapi lahan pasar, kantor hingga lahan desa yang bersengketa dan masuk proses hukum selama ini. Terkait dengan lahan duwen pura seluas 370 hektare yang kini masih dalam hak guna PT Pinang Propertindo, JP dalam paruman desa itu menyampaikan surat jawaban PT Pinang Propertindo atas sewa lahan duwen pura Desa Adat Kubutambahan. Namun dalam surat konfirmasi pembayaran dari PT Pinang Propertindo Nomor 005/Dir-PP/XII/2020 yang ditandatangani oleh Direktur Keuangan Luky Winata, dijelaskan luas tanah yang disewa sekitar 370 hektare. Tanah itu disewa dari periode 2001-2091 dengan total harga sewa Rp 3.997.978.250. Namun yang baru dibayarkan Rp 2.496.053.750. Sisanya Rp 1.501.933.500 masih ditangguhkan karena pada tahun 2014 lalu saat memohon surat Izin Usaha Agrowisata dan surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ditolak oleh Pemkab Bule
leng. Penolakan itu disebut karena lokasi tanah duwen pura Desa Adat Kubutambahan sudah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) untuk bandara.
“Kalau masalah diagunkan Rp 1,4 miliar itu urusan investor. Saya tidak pernah memberikan persetujuan kredit. Saya pastikan lahan duwen pura tidak terancam. Karena dia (PT Pinang) hanya menyewa dan mendapatkan SGB jaminan 30 tahun, setelah itu kembali. Kontrak berakhir 2031,” kata Warkadea.
Dari hasil paruman desa yang diselesaikan dengan 31 orang anggota krama negak diklaim JP menyetujui pertanggungjawaban yang disampaikannya.
Menyangkut persoalan dalam paruman Desa Adat Kubutambahan itu, Bendesa Madya MDA Buleleng Dewa Putu Budarsa menjelaskan tak memiliki otoritas untuk mencampuri persoalan intern Desa Adat Kubutambahan. Namun soal keikutsertaan paruman desa yang belum dapat mengikutsertakan seluruh krama desanya disarankan untuk melakukan revisi awig-awig. “Kami tidak menyalahkan dan membenarkan yang sebenarnya awig-awig sudah bunyi begitu. Kami menyarankan bagaimana menggabungkan hukum adat awig-awig dengan sima dan dresta. Kalau awig-awig tidak paripurna besok-besok akan muncul kejadian seperti ini. Sehingga penggabungan dresta dan sima digabungkan dalam awig-awig,” kata Budarsa. *k23
1
Komentar