Ujian Nasional Dihapus
Nantinya, ujian akhir bagi siswa SMA/SMK diserahkan ke pemerintah provinsi, sementara untuk level SMP dan SD diserahkan ke kabupaten/kota
Dinas Pendidikan Bali Tunggu Keputusan Resmi Kemendikbud
DENPASAR, NusaBali
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof Dr Muhadjir Effendy putuskan untuk menghapus Ujian Nasional (UN) bagi siswa SD, SMP, SMA/SMK. Salah satu alasannya, UN selama ini menjadi momok yang membuat para siswa stres. Keputusan menghapus UN ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA), 7 tahun silam.
Muhadjir Effendy menyebutkan, keputusan menghapus UN ini tinggal menunggu Instruksi Presiden (Inpres). "Presiden sudah setuju. Saya sudah dipanggil Presiden sebelum jumatan tadi. Prinsipnya, beliau menyetujui, tinggal menunggu Inpres," tutur Muhadjir di Jakarta, Jumat (25/11).
Peniadaan UN akan diberlakukan mulai tahun 2017. Nantinya, ujian akhir bagi siswa sekolah didesentralisasi. Pelaksanaan ujian akhir siswa SMA/SMK diserahkan ke pemerintah provinsi. Semenmtara untuk level SMP dan SD diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota.
"Pelaksanaannya tetap standar nasional. Badan Standardisasi Nasional akan mengawal, mengontrol, dan mengendalikan prosesnya. Jadi, tidak ada lagi itu suplai soal UN ke daerah yang dikawal polisi," tandas menteri yang mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini.
Ditegaskan Muhadjir, kelulusan siswa nantinya akan ditentukan oleh pihak sekolah. Hasil ujian akhir jadi salah satu pertimbangan, bukan sebagai satu-satunya faktor penentu kelulusan
Menurut Muhadjir, UN akan kembali digelar jika level pendidikan di Indonesia kelak sudah merata. Sembari memoratorium UN, Kemendikbud juga akan mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan agar merata se-Indonesia. "Ujian Nasional tetap akan saya lakukan sesuai dengan amanah Mahkamah Agung, kalau semua pendidikan di Indonesia sudah bagus. Makanya nanti akan pemetaan saja. Nanti kita lihat apakah perbaikan di 2017 cukup signifikan," katanya.
Dia menyebutkan, keputusan hapus UN ini tidak melanggar Undang-undang.
"Amar perintah Undang-undang tidak ada Ujian Nasional, yang ada itu evaluasinya nasional," tegas Muhadjir. "(UN dihapus) Biar nggak ada stres tahunan, seperti sekarang.”
Meski tak ada UN, para siswa diingatkan tetap giat belajar. "Saya minta untuk belajar lebih rajin, dan hendaknya meningkatkan kapasitasnya sebagai pelajar, terutama dalam hal karakter, kejujuran, tanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan," paparnya.
Keputusan mendikbud menhapus UN itu sendiri sesuai dengan putusan MA, 7 tahun silam. Dalam catatan detikcom, putusan MA kala itu diketok majelis kasasi hakim agung Abbas Said, dengan anggota Mansyur Kertayasa dan Imam Harijadi, 14 September 2009.
Dalam putusannya, MA menyatakan pemerintah dianggap telah lalai dalam meningkatkan kualitas guru, baik sarana maupun prasarana. Pemerintah diminta untuk memperhatikan terjadinya gangguan psikologis dan mental para siswa sebagai dampak dari penyelenggaran UN.
Putusan MA itu menguatkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, 6 Desember 2007. Kala itu, PT Jakarta menyatakan pemerintah telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya hak-hak atas pendidikan dan hak-hak anak.
Sayangnya, meski putusan MA telah benderang, namun pemerintah tetap menggelar UN. berselang 7 tahun kemudian, barulah pemerintah di bawah Presiden Jokowi bersiap hapus UN. "Dimoratorium, di tahun 2017 ditiadakan," kata Mendikbud Muhadjir Effendy.
Sementara, Komisi X DPR (membidangi masalah pendidikan dan kebudayaan) anggap pemerintah terburu-buru putuskan hapus UN. Anggota Komisi X DPR, Dadang Rusdiana, mengatakan Mendikbud belum melakukan pembicaraan hal tersebut secara intensif kepada Komisi X.
"Mendikbud dengan Komisi X belum bicara intensif. Apa yang dilakukan (Mendikbud sebelumnya) Anies Baswedan waktu itu dengan mengubah bahwa UN bukan alat menjadi kelulusan, saya kira memadai," ujar Dadang, Jumat kemarin.
Dadang tidak memasalahkan keputusan Mendikbud, namun hal yang menjadi persoalan adalah dasar evaluasi. "Pada dasarnya, tidak masalah. Kita harus dalami apa yang menjadi dasar evaluasi, dibutuhkan tingkat pencapaian pembelajaran yang diukur setiap tahun," katanya.
Dadang menilai Mendikbud membuat keputusan yang tergesa-gesa. Dia mengambil contoh saat Muhadjir mencanangkan program full day school yang tidak dikonsultasikan dengan Komisi X DPR. "Saya kira Pak Menteri membuat kebijakan yang terkesan tergesa-gesa, tanpa pengkajian matang. Misal, full day school waktu itu, beliau tidak melakukan pembicaraan dengan Komisi X," ungkapnya.
Sementara itu, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Proovinsi Bali masih menunggu keputusan resmi terkait moratorium UN. Kadisdikpora Bali, Tjokorda Istri Agung (TIA) Kusumawardhani pun tidak mau gegabah berkomentar terkait penangguhan UN tahun 2017 ini.
“Sejauh ini belum ada informasi dan surat resmi yang masuk ke dinas terkait masalah moratorium UN. Kalau sudah ada surat resmi, baru kita tahu apa langkah-langkah kita seandainya UN dimoratorium,” ujar TIA saat dikonfirmasi NusaBali per telepon di Denpasar, Jumat kemarin.
Menurut TIA, pihaknya belum tahu bagaimana mekanisme terkait moratorium yang sudah diajukan menteri beberapa waktu lalu. Karena itu, TIA belum mau berkomentar banyak, meskipun media nasional telah memberitakan pengusulan moratorium UN kepada Presiden.
“Nanti di surat resmi menteri itu akan tertuang seperti apa mekanismenya, apakah berhenti melaksanakan atau diwenangkan kepada pemerintah daerah atau bagaimana? Kalau sekarang, provinsi kan ambilalih SMA/SMK per 1 Januari 2017. Kalau dulu mau ujian SD, SMP, SMA, SMK kan sepenuhnya difasilitasi melalui provinsi. Nah nanti, jika jadi moratorium mekanismenya akan seperti apa?” ujar TIA.
Kalau nanti UN ditiadakan, menurut TIA, hal tersebut memerlukan komunikasi yang baik antara Disdikpora provinsi dan kabupaten/kota. Pasalnya, kebijakan tersebut akan dilaksanakan masing-masing daerah di 34 provinsi se-Indonesia. “Jika sudah ada informasi resmi dari pusat, kita duduk bersama dulu dengan dinas kabupaten/kota. Kalau memang UN dimoratorium, berarti ada langkah-langkah yang harus kita lakukan.” * in
DENPASAR, NusaBali
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof Dr Muhadjir Effendy putuskan untuk menghapus Ujian Nasional (UN) bagi siswa SD, SMP, SMA/SMK. Salah satu alasannya, UN selama ini menjadi momok yang membuat para siswa stres. Keputusan menghapus UN ini sesuai dengan putusan Mahkamah Agung (MA), 7 tahun silam.
Muhadjir Effendy menyebutkan, keputusan menghapus UN ini tinggal menunggu Instruksi Presiden (Inpres). "Presiden sudah setuju. Saya sudah dipanggil Presiden sebelum jumatan tadi. Prinsipnya, beliau menyetujui, tinggal menunggu Inpres," tutur Muhadjir di Jakarta, Jumat (25/11).
Peniadaan UN akan diberlakukan mulai tahun 2017. Nantinya, ujian akhir bagi siswa sekolah didesentralisasi. Pelaksanaan ujian akhir siswa SMA/SMK diserahkan ke pemerintah provinsi. Semenmtara untuk level SMP dan SD diserahkan ke pemerintah kabupaten/kota.
"Pelaksanaannya tetap standar nasional. Badan Standardisasi Nasional akan mengawal, mengontrol, dan mengendalikan prosesnya. Jadi, tidak ada lagi itu suplai soal UN ke daerah yang dikawal polisi," tandas menteri yang mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang ini.
Ditegaskan Muhadjir, kelulusan siswa nantinya akan ditentukan oleh pihak sekolah. Hasil ujian akhir jadi salah satu pertimbangan, bukan sebagai satu-satunya faktor penentu kelulusan
Menurut Muhadjir, UN akan kembali digelar jika level pendidikan di Indonesia kelak sudah merata. Sembari memoratorium UN, Kemendikbud juga akan mengupayakan peningkatan kualitas pendidikan agar merata se-Indonesia. "Ujian Nasional tetap akan saya lakukan sesuai dengan amanah Mahkamah Agung, kalau semua pendidikan di Indonesia sudah bagus. Makanya nanti akan pemetaan saja. Nanti kita lihat apakah perbaikan di 2017 cukup signifikan," katanya.
Dia menyebutkan, keputusan hapus UN ini tidak melanggar Undang-undang.
"Amar perintah Undang-undang tidak ada Ujian Nasional, yang ada itu evaluasinya nasional," tegas Muhadjir. "(UN dihapus) Biar nggak ada stres tahunan, seperti sekarang.”
Meski tak ada UN, para siswa diingatkan tetap giat belajar. "Saya minta untuk belajar lebih rajin, dan hendaknya meningkatkan kapasitasnya sebagai pelajar, terutama dalam hal karakter, kejujuran, tanggung jawab terhadap apa yang dikerjakan," paparnya.
Keputusan mendikbud menhapus UN itu sendiri sesuai dengan putusan MA, 7 tahun silam. Dalam catatan detikcom, putusan MA kala itu diketok majelis kasasi hakim agung Abbas Said, dengan anggota Mansyur Kertayasa dan Imam Harijadi, 14 September 2009.
Dalam putusannya, MA menyatakan pemerintah dianggap telah lalai dalam meningkatkan kualitas guru, baik sarana maupun prasarana. Pemerintah diminta untuk memperhatikan terjadinya gangguan psikologis dan mental para siswa sebagai dampak dari penyelenggaran UN.
Putusan MA itu menguatkan putusan Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, 6 Desember 2007. Kala itu, PT Jakarta menyatakan pemerintah telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya hak-hak atas pendidikan dan hak-hak anak.
Sayangnya, meski putusan MA telah benderang, namun pemerintah tetap menggelar UN. berselang 7 tahun kemudian, barulah pemerintah di bawah Presiden Jokowi bersiap hapus UN. "Dimoratorium, di tahun 2017 ditiadakan," kata Mendikbud Muhadjir Effendy.
Sementara, Komisi X DPR (membidangi masalah pendidikan dan kebudayaan) anggap pemerintah terburu-buru putuskan hapus UN. Anggota Komisi X DPR, Dadang Rusdiana, mengatakan Mendikbud belum melakukan pembicaraan hal tersebut secara intensif kepada Komisi X.
"Mendikbud dengan Komisi X belum bicara intensif. Apa yang dilakukan (Mendikbud sebelumnya) Anies Baswedan waktu itu dengan mengubah bahwa UN bukan alat menjadi kelulusan, saya kira memadai," ujar Dadang, Jumat kemarin.
Dadang tidak memasalahkan keputusan Mendikbud, namun hal yang menjadi persoalan adalah dasar evaluasi. "Pada dasarnya, tidak masalah. Kita harus dalami apa yang menjadi dasar evaluasi, dibutuhkan tingkat pencapaian pembelajaran yang diukur setiap tahun," katanya.
Dadang menilai Mendikbud membuat keputusan yang tergesa-gesa. Dia mengambil contoh saat Muhadjir mencanangkan program full day school yang tidak dikonsultasikan dengan Komisi X DPR. "Saya kira Pak Menteri membuat kebijakan yang terkesan tergesa-gesa, tanpa pengkajian matang. Misal, full day school waktu itu, beliau tidak melakukan pembicaraan dengan Komisi X," ungkapnya.
Sementara itu, Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Proovinsi Bali masih menunggu keputusan resmi terkait moratorium UN. Kadisdikpora Bali, Tjokorda Istri Agung (TIA) Kusumawardhani pun tidak mau gegabah berkomentar terkait penangguhan UN tahun 2017 ini.
“Sejauh ini belum ada informasi dan surat resmi yang masuk ke dinas terkait masalah moratorium UN. Kalau sudah ada surat resmi, baru kita tahu apa langkah-langkah kita seandainya UN dimoratorium,” ujar TIA saat dikonfirmasi NusaBali per telepon di Denpasar, Jumat kemarin.
Menurut TIA, pihaknya belum tahu bagaimana mekanisme terkait moratorium yang sudah diajukan menteri beberapa waktu lalu. Karena itu, TIA belum mau berkomentar banyak, meskipun media nasional telah memberitakan pengusulan moratorium UN kepada Presiden.
“Nanti di surat resmi menteri itu akan tertuang seperti apa mekanismenya, apakah berhenti melaksanakan atau diwenangkan kepada pemerintah daerah atau bagaimana? Kalau sekarang, provinsi kan ambilalih SMA/SMK per 1 Januari 2017. Kalau dulu mau ujian SD, SMP, SMA, SMK kan sepenuhnya difasilitasi melalui provinsi. Nah nanti, jika jadi moratorium mekanismenya akan seperti apa?” ujar TIA.
Kalau nanti UN ditiadakan, menurut TIA, hal tersebut memerlukan komunikasi yang baik antara Disdikpora provinsi dan kabupaten/kota. Pasalnya, kebijakan tersebut akan dilaksanakan masing-masing daerah di 34 provinsi se-Indonesia. “Jika sudah ada informasi resmi dari pusat, kita duduk bersama dulu dengan dinas kabupaten/kota. Kalau memang UN dimoratorium, berarti ada langkah-langkah yang harus kita lakukan.” * in
1
Komentar