Pencipta Pengalantaka dalam Sistem Penanggalan Bali Penentu Rahina Purnama-Tilem
Praktisi Wariga asal Buleleng, I Gede Marayana Terima Penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama
Dalam hitungan matematis yang dituangkan dalam diagram pengalantaka, setiap Purnama dan Tilem akan jatuh di hari, wewaran dan wuku yang sama setiap 9 oton atau lima tahun sekali.
SINGARAJA, NusaBali
I Gede Marayana, 72, praktisi wariga yang juga penyusun kalender Bali, mendapat penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama dari Gubernur Bali Wayan Koster saat penutupan Bulan Bahasa Bali di Taman Budaya Bali (Art Center) Denpasar, Minggu (28/2). Penghargaan diberikan kepada salah satu putra terbaik gumi Panji Sakti ini karena dinilai telah mengabdikan diri untuk pelestarian Bahasa, Aksara dan Sastra Bali. Penghargaan ini diberikan kepada Marayana setelah dia berhasil menciptakan pengalantaka dalam sistem penanggalan Bali yang dipakai untuk menghitung jatuhnya rahina Purnama-Tilem. Pengalantaka Marayana pada tahun 2019 lalu juga telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Nasional.
Capaian yang didapatkan pensiunan staf Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Buleleng ini bukan dalam waktu yang singkat. Dia pertama kali tertarik dengan wariga sejak tahun 1975 silam. Saat itu dia baru berusia 26 tahun dan mengabdi sebagai anggota sekaa teruna (ST) di Banjar Adat Galiran, Desa Baktiseraga, Kecamatan/Kabupaten Buleleng. Marayana mengaku tak memiliki cita-cita sebagai penyusun kalender. Ditemui di kantor Dinas Kebudayaan Buleleng, Kamis (3/3) Gede Marayana mengatakan ketertarikannya pada penghitungan dewasa ayu yang selalu menjadi patokan kegiatan agama dan adat di Bali sudah dirasakannya sejak muda.
Minatnya pun semakin meningkat saat almarhum ayahnya, I Nyoman Pasek yang keseharian sebagai petani sangat sering menggunakan ala ayuning dewasa di setiap kali melakukan pekerjaaannya di sawah. Ditambah lagi kepercayaan krama Banjar Adat Galiran kepadanya, secara tidak langsung mengarahkan Marayana mempelajari pedewasaan. Kemudian pada tahun 1979, Bali melangsungkan upacara besar Eka Dasa Rudra di Besakih yang jatuh setiap 100 tahun sekali.
Rasa penasarannya saat itu menghantarkan anak sulung pasangan almarhum I Nyoman Pasek dengan Ni Nengah Wangi ini, mulai mempelajari ilmu wariga. Awalnya dia hanya mempelajari soal pengalantaka, sebuah ilmu yang menghitung jatuhnya Purnama dan Tilem hitungan tahun Saka. Marayana yang saat itu masih bertugas sebagai staf Dinas PU Buleleng setelah mempelajari sebuah buku pengalantaka, berinisiatif mengaplikasikan perhitungan matematis yang selama ini dipahaminya dalam seluruh proyek pembangunan.
Saat mencoba mendalami ilmu pengalantaka dia menemukan penghitungan tak hanya sistematis menggunakan sasih, wuku dan wewaran, tetapi juga ditemukannya rumus sangat matematis. Namun untuk dapat memastikan rumus matematisnya dapat diterapkan dan relevan, ayah empat anak ini pun memperdalam ilmu khusus pengalantaka kurang lebih selama 10 tahun. Pengembangan ilmu pengalantaka itu pun dia sempurnakan dengan mencari referensi di Gedong Krtya Singaraja.
Referensi yang ditemukan salah satunya sistem penyusunan kalender oleh Ida Bagus Sugriwa, putra Buleleng. Rumus pengalantakanya itu kemudian dituangkan dalam bentuk diagram pengalantaka yang mengadopsi ilmu ukur tanah polygon.
“Selama ini orang mengenal wariga menilai sangat tradisional, padahal jika dikaji ilmu wariga sama dengan ilmu jyotisa dalam agama, atau ilmu astronomi, yang dapat dibuktikan keilmiahannya,” jelas alumni Sekolah Teknik Mesin (STM) ini. Dalam hitungan matematisnya yang dituangkan dalam diagram pengalantaka, setiap purnama dan tilem akan jatuh di hari, wewaran dan wuku yang sama setiap 9 oton atau lima tahun sekali. Setelah ilmu penghitungan matematisnya sempurna, tokoh adat di Buleleng ini di tahun 1980-an melanjutkan pembelajaran ilmu astronomi untuk menyusun kalender.
Hingga penyusunan kalender pertamanya diterbitkan tahun 1993.
Menurut suami almarhum Ni Made Kerti ini dalam sistematika penyusunan kalender Bali menurutnya dalam penentuan sasih mengacu pada 3 unsur. Yakni surya (matahari), candra (bulan) dan bintang (rasi bintang). Bahkan penentuan sasih kasa (pertama) ditentukan setelah terbitnya bintang kartika (uluku). Secara kasat mata dan telah melalui penelitian ahli astronomi Jepang terbitnya bintang kartika dapat dilihat langsung dari Pantai Ponjok Batu, Desa Bukti, Kecamatan Tejakula, Buleleng.
Namun sebelum duduk sebagai ahli astronomi Bali saat ini, Marayana telah melalui dan menyaksikan perjalanan serta perkembangan penyusunan kalender di Bali. Kalender dengan penangggalan Bali pertama yang diterbitkan Parisada Hindu Bali pada tahun 1959, yang menyatukan sistem penghitungan purnama-tilem antara Bali Utara dan Bali Selatan. Perbedaan sistem pengitungan itu disebutnya berkali-kali disempurnakan, yakni pada tahun 1963, 1971 hingga 1979 saat pelaksanaan Eka Dasa Rudra.
Lalu pada tahun 1990 PHDI Bali membentuk tim pengkaji wariga, yang kemudian menemukan ilmu kalender Nirayana yang berlaku di India. Ilmu penanggalan Nirayana ini pun resmi diberlakukan pada tahun 1991 mengganti sistem pengalantaka eka sungsang yang sebelumnya dipakai. Pergolakan penanggalan Bali di intern terus terjadi hingga penggunaan sistem nirayana menemukan kerancuan rumus pada tahun 1994.
Kemudian kesaksian Marayana di tahun 1996, sistem nirayana yang dinilai rancu diseminarkan oleh Marayana dengan menggandeng salah satu universitas.
Dia bergerak dengan misi tetap mempertahankan penghitungan dengan sistem pengalantaka eka sungsang. Waktu yang ditunggu-tunggunya pun akhirnya tiba pada tahun 1998 ada inisiatif mengubah sistem pengalantaka nirayana oleh tokoh adat di Bali yang beberapa kali menunjukkan kerancuan rumus saat diaplikasikan di Bali.
Paruman sulinggih saat itu digelar pada tanggal 25 Juli 1998 dengan agenda penyempurnaan pengalantaka. Saat itu pun para tokoh di Bali sempat ingin menggantikan sistem pengalantaka dari eka sungsang menjadi sistem tri lingga. Penyempuranaan yang dilakukan tahun ini melihat perayaan Hari Raya Nyepi pada tahun 1993-1998 dengan sistem nirayana ditemukan kerancuan.
Salah satunya dibuktikan dengan jatuhnya tilem kesanga berubah dari biasanya bulan Maret (penanggalan eka sungsang) bergeser ke bulan April (nirayana). Pengamatan pensiunan ASN Dinas PU tahun 2005 ini kerancuan itu diprediksi berdampak pada tahun 2001 silam, yakni terjadi masalah pesasihan dua kali tilem katiga dan dua kali purnama kapat.
Kerancuan itu kembali membuat tokoh adat dan pihak berwenang di Bali melakukan paruman sulinggih pada 18 September 2001 di wantilan Watukaru. Paruman itu digelar oleh PHDI Bali dan Pusat. Saat itu pun Marayana mendapatkan kesempatan untuk tampil dan memaparkan diagram pengalantaka dan sistem penanggalan Bali yang selama puluhan tahun dipegang teguh olehnya. Dia pun saat itu mengaku mendapat tugas mengkaji dua sistem kalender nirayana dan eka sungsang.
Dalam kajian itu pun dia mendapatkan kesamaan dalam sejarah penyusunan kalender memiliki 4 aspek yakni unsur perhitungan, sistematis, geografis dan religious unsur pedewasaan. Ternyata dalam kajiannya sistem nirayana dengan sistem penanggalan Bali memiliki unsur berbeda pada aspek geografisnya.
Tolak ukur pencarian tilem yang didasari bajeging surya (matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa) secara nasional di Indonesia terjadi pada bulan Maret. Sedangkan di India di waktu yang bersamaan, posisi matahari atas garis khatulistiwa sudah condong 5 derajat, sehingga penentuan hari raya tilemnya jatuh pada bulan April.
Paruman sulinggih 2001 dengan hasil kajian Marayana akhirnya memberlakukan kembali sistem kalender Bali dengan sistem pengalantaka eka sungsang hingga saat ini. “Sistem kalender Bali punya pakem wuku pedewasaan dan lain-lain. Harapannya bagaimanapun kita di Bali pemerintah dan Desa Adat agar menyatu dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Saya juga berharap jangan sampai kalender itu dikaji dengan tolak ukur luar Bali. Bila perlu penetapan Nyepi diperdakan sistematika kalender Bali,” tegas dia.
Soal pewarisan ilmu wariga yang dimilikinya Marayana pun kini bergabung menjadi dosen di STKIP Agama Hindu Singaraja sebagai dosen pengajar wariga. Sementara itu Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng, Gede Dody Oktiva Askara mengaku bersyukur atas pencapaian yang diraih Marayana. Selanjutnya pemerintah menurut Dody akan berkoordinasi dengan sekolah-sekolah di Buleleng yang memiliki klub astronomi seperti SMAN Bali Mandara. Sehingga ilmu yang dimiliki oleh Marayana dapat dipelajari oleh generasi muda Buleleng.
“Kami di pemerintah sejauh ini hanya dapat mempormosikan sosok bapak Marayana dengan ilmu wariga dan kalender yang disusun. Harapannya seluruh masyarakat tahu ada penyusun kalender dari Buleleng yang sudah mendapatkan penghargaan dan ilmunya diakui sebagai WBTB,” ungkap Dody yang juga mantan Camat Buleleng ini. *k23
Capaian yang didapatkan pensiunan staf Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Buleleng ini bukan dalam waktu yang singkat. Dia pertama kali tertarik dengan wariga sejak tahun 1975 silam. Saat itu dia baru berusia 26 tahun dan mengabdi sebagai anggota sekaa teruna (ST) di Banjar Adat Galiran, Desa Baktiseraga, Kecamatan/Kabupaten Buleleng. Marayana mengaku tak memiliki cita-cita sebagai penyusun kalender. Ditemui di kantor Dinas Kebudayaan Buleleng, Kamis (3/3) Gede Marayana mengatakan ketertarikannya pada penghitungan dewasa ayu yang selalu menjadi patokan kegiatan agama dan adat di Bali sudah dirasakannya sejak muda.
Minatnya pun semakin meningkat saat almarhum ayahnya, I Nyoman Pasek yang keseharian sebagai petani sangat sering menggunakan ala ayuning dewasa di setiap kali melakukan pekerjaaannya di sawah. Ditambah lagi kepercayaan krama Banjar Adat Galiran kepadanya, secara tidak langsung mengarahkan Marayana mempelajari pedewasaan. Kemudian pada tahun 1979, Bali melangsungkan upacara besar Eka Dasa Rudra di Besakih yang jatuh setiap 100 tahun sekali.
Rasa penasarannya saat itu menghantarkan anak sulung pasangan almarhum I Nyoman Pasek dengan Ni Nengah Wangi ini, mulai mempelajari ilmu wariga. Awalnya dia hanya mempelajari soal pengalantaka, sebuah ilmu yang menghitung jatuhnya Purnama dan Tilem hitungan tahun Saka. Marayana yang saat itu masih bertugas sebagai staf Dinas PU Buleleng setelah mempelajari sebuah buku pengalantaka, berinisiatif mengaplikasikan perhitungan matematis yang selama ini dipahaminya dalam seluruh proyek pembangunan.
Saat mencoba mendalami ilmu pengalantaka dia menemukan penghitungan tak hanya sistematis menggunakan sasih, wuku dan wewaran, tetapi juga ditemukannya rumus sangat matematis. Namun untuk dapat memastikan rumus matematisnya dapat diterapkan dan relevan, ayah empat anak ini pun memperdalam ilmu khusus pengalantaka kurang lebih selama 10 tahun. Pengembangan ilmu pengalantaka itu pun dia sempurnakan dengan mencari referensi di Gedong Krtya Singaraja.
Referensi yang ditemukan salah satunya sistem penyusunan kalender oleh Ida Bagus Sugriwa, putra Buleleng. Rumus pengalantakanya itu kemudian dituangkan dalam bentuk diagram pengalantaka yang mengadopsi ilmu ukur tanah polygon.
“Selama ini orang mengenal wariga menilai sangat tradisional, padahal jika dikaji ilmu wariga sama dengan ilmu jyotisa dalam agama, atau ilmu astronomi, yang dapat dibuktikan keilmiahannya,” jelas alumni Sekolah Teknik Mesin (STM) ini. Dalam hitungan matematisnya yang dituangkan dalam diagram pengalantaka, setiap purnama dan tilem akan jatuh di hari, wewaran dan wuku yang sama setiap 9 oton atau lima tahun sekali. Setelah ilmu penghitungan matematisnya sempurna, tokoh adat di Buleleng ini di tahun 1980-an melanjutkan pembelajaran ilmu astronomi untuk menyusun kalender.
Hingga penyusunan kalender pertamanya diterbitkan tahun 1993.
Menurut suami almarhum Ni Made Kerti ini dalam sistematika penyusunan kalender Bali menurutnya dalam penentuan sasih mengacu pada 3 unsur. Yakni surya (matahari), candra (bulan) dan bintang (rasi bintang). Bahkan penentuan sasih kasa (pertama) ditentukan setelah terbitnya bintang kartika (uluku). Secara kasat mata dan telah melalui penelitian ahli astronomi Jepang terbitnya bintang kartika dapat dilihat langsung dari Pantai Ponjok Batu, Desa Bukti, Kecamatan Tejakula, Buleleng.
Namun sebelum duduk sebagai ahli astronomi Bali saat ini, Marayana telah melalui dan menyaksikan perjalanan serta perkembangan penyusunan kalender di Bali. Kalender dengan penangggalan Bali pertama yang diterbitkan Parisada Hindu Bali pada tahun 1959, yang menyatukan sistem penghitungan purnama-tilem antara Bali Utara dan Bali Selatan. Perbedaan sistem pengitungan itu disebutnya berkali-kali disempurnakan, yakni pada tahun 1963, 1971 hingga 1979 saat pelaksanaan Eka Dasa Rudra.
Lalu pada tahun 1990 PHDI Bali membentuk tim pengkaji wariga, yang kemudian menemukan ilmu kalender Nirayana yang berlaku di India. Ilmu penanggalan Nirayana ini pun resmi diberlakukan pada tahun 1991 mengganti sistem pengalantaka eka sungsang yang sebelumnya dipakai. Pergolakan penanggalan Bali di intern terus terjadi hingga penggunaan sistem nirayana menemukan kerancuan rumus pada tahun 1994.
Kemudian kesaksian Marayana di tahun 1996, sistem nirayana yang dinilai rancu diseminarkan oleh Marayana dengan menggandeng salah satu universitas.
Dia bergerak dengan misi tetap mempertahankan penghitungan dengan sistem pengalantaka eka sungsang. Waktu yang ditunggu-tunggunya pun akhirnya tiba pada tahun 1998 ada inisiatif mengubah sistem pengalantaka nirayana oleh tokoh adat di Bali yang beberapa kali menunjukkan kerancuan rumus saat diaplikasikan di Bali.
Paruman sulinggih saat itu digelar pada tanggal 25 Juli 1998 dengan agenda penyempurnaan pengalantaka. Saat itu pun para tokoh di Bali sempat ingin menggantikan sistem pengalantaka dari eka sungsang menjadi sistem tri lingga. Penyempuranaan yang dilakukan tahun ini melihat perayaan Hari Raya Nyepi pada tahun 1993-1998 dengan sistem nirayana ditemukan kerancuan.
Salah satunya dibuktikan dengan jatuhnya tilem kesanga berubah dari biasanya bulan Maret (penanggalan eka sungsang) bergeser ke bulan April (nirayana). Pengamatan pensiunan ASN Dinas PU tahun 2005 ini kerancuan itu diprediksi berdampak pada tahun 2001 silam, yakni terjadi masalah pesasihan dua kali tilem katiga dan dua kali purnama kapat.
Kerancuan itu kembali membuat tokoh adat dan pihak berwenang di Bali melakukan paruman sulinggih pada 18 September 2001 di wantilan Watukaru. Paruman itu digelar oleh PHDI Bali dan Pusat. Saat itu pun Marayana mendapatkan kesempatan untuk tampil dan memaparkan diagram pengalantaka dan sistem penanggalan Bali yang selama puluhan tahun dipegang teguh olehnya. Dia pun saat itu mengaku mendapat tugas mengkaji dua sistem kalender nirayana dan eka sungsang.
Dalam kajian itu pun dia mendapatkan kesamaan dalam sejarah penyusunan kalender memiliki 4 aspek yakni unsur perhitungan, sistematis, geografis dan religious unsur pedewasaan. Ternyata dalam kajiannya sistem nirayana dengan sistem penanggalan Bali memiliki unsur berbeda pada aspek geografisnya.
Tolak ukur pencarian tilem yang didasari bajeging surya (matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa) secara nasional di Indonesia terjadi pada bulan Maret. Sedangkan di India di waktu yang bersamaan, posisi matahari atas garis khatulistiwa sudah condong 5 derajat, sehingga penentuan hari raya tilemnya jatuh pada bulan April.
Paruman sulinggih 2001 dengan hasil kajian Marayana akhirnya memberlakukan kembali sistem kalender Bali dengan sistem pengalantaka eka sungsang hingga saat ini. “Sistem kalender Bali punya pakem wuku pedewasaan dan lain-lain. Harapannya bagaimanapun kita di Bali pemerintah dan Desa Adat agar menyatu dalam pelaksanaan upacara keagamaan. Saya juga berharap jangan sampai kalender itu dikaji dengan tolak ukur luar Bali. Bila perlu penetapan Nyepi diperdakan sistematika kalender Bali,” tegas dia.
Soal pewarisan ilmu wariga yang dimilikinya Marayana pun kini bergabung menjadi dosen di STKIP Agama Hindu Singaraja sebagai dosen pengajar wariga. Sementara itu Kepala Dinas Kebudayaan Buleleng, Gede Dody Oktiva Askara mengaku bersyukur atas pencapaian yang diraih Marayana. Selanjutnya pemerintah menurut Dody akan berkoordinasi dengan sekolah-sekolah di Buleleng yang memiliki klub astronomi seperti SMAN Bali Mandara. Sehingga ilmu yang dimiliki oleh Marayana dapat dipelajari oleh generasi muda Buleleng.
“Kami di pemerintah sejauh ini hanya dapat mempormosikan sosok bapak Marayana dengan ilmu wariga dan kalender yang disusun. Harapannya seluruh masyarakat tahu ada penyusun kalender dari Buleleng yang sudah mendapatkan penghargaan dan ilmunya diakui sebagai WBTB,” ungkap Dody yang juga mantan Camat Buleleng ini. *k23
Komentar