Proses Lama, Diserbu Tenunan Imitasi
Tantangan Pelestarian Kain Tenun Tradisional Bali
Dengan berkembangnya teknologi mesin, banyak pabrik yang menghasilkan motif songket dan endek tiruan. Hasilnya, banyak kain tiruan yang dijual dengan harga yang lebih murah.
DENPASAR, NusaBali
Pemprov Bali bekerjasama dengan Dekranasda Bali dan pihak terkait menggelar pameran IKM (industri Kecil dan Menengah), beberapa waktu lalu. Pameran bertajuk ‘Bali Bangkit’ ini dilaksanakan di areal Taman Budaya atau Art Center, Jalan Nusa Indah, Denpsar.
Pameran ini menarik perhatian para pengunjung. Pengunjung tak hanya dimanjkaan seguhan produk tenun jadi. Pameran juga memperkenalkan bagaimana perajin memintal benang dan menenun menjadi lembaran kain tenun pelbagai motif dan ragam seni.
Di antaranya, tampak seorang ibu menenun gulungan benang menjadi kain songket. Tak jarang, ada satu atau dua pengunjung yang berhenti sejenak melihat kegiatannya menenun. Dialah Ni Kadek Winiyanti, seorang perajin songket asal Banjar Kebon, Desa Telaga Tawang, Kecamatan Sidemen, Karangasem.
Dirinya bersama 45 perajin lainnya bergabung dalam kelompok Tenun Songket Arta Sedana. Kendati produksi utamanya adalah kain songket, namun kelompok ini juga memproduksi kain endek. Sebelum kelompok ini berdiri di tahun 2016, para perajin songket biasanya memproduksi dan memasarkan kain secara individu melalui perantara pengepul.
Rata-rata, para perajin kain tenun ini merupakan ibu rumah tangga yang juga menenun untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Keterampilan menenun ini pun dapat dikatakan merupakan sebuah warisan. Seperti dilakoni Ni Kadek Winiyanti. Keluarganya mulai dari sang ibu dan sang nenek juga merupakan penenun. Sehingga dirinya telah belajar lama dan fasih menenun sejak kecil.
Awalnya dia belajar menenun motif pepolosan atau standar dulu atau tanpa motif. Setelah itu, dia membuat selendang yang kecil-kecil. Dari selendang kecil tersebut, baru berlanjut menenun destar/udeng, lanjut saput. ‘’Selanjutnya saya menenun kain untuk kamen yang lebih sulit. Lalu belajar tentang motif,” ujarnya pada NusaBali di sela-sela kegiatannya menenun, Sabtu (6/3).
Kegiatan menenun dilakukan di sela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga dan kewajiban sebagai krama Bali. “Kadang kalau dari jam 7 pagi bisa menenun sampai jam 9 lalu istirahat dulu. Dua jam bisa duduk, istirahat 1 jam. Jam 1 itu istirahat, selanjutnya lagi menenun,” lanjutnya.
Kegiatan itu dilakoninya hingga petang, bahkan hingga pukul 9 malam. Namun tidak setiap hari jadwal tersebut bisa dilakukan. “Kan kadang kita sebagai orang Bali nika kan mekrama. Banyak pekerjaan,” lanjutnya.
Tergantung bahan, jenis warna, dan motif, Kadek Winiyanti dapat menghasilkan selembar kain sepanjang 120 hingga 180 cm dalam satu bulan. Jika motif dan warna yang digunakan lebih beragam, pengerjaannya bisa memakan waktu satu bulan lebih. Motif-motif yang dipakai hiasan kain songket produksinya, yaitu motif-motif yang diambil dari pawayangan.
Menjadi perajin kain tenun tradisional Bali bukannya tanpa tantangan. Kini seiring dengan berkembangnya teknologi mesin, banyak pabrik yang menghasilkan motif songket dan endek tiruan. Hasilnya, banyak kain tiruan yang dijual dengan harga yang lebih murah, yang berdampak pada produktivitas perajin kain tradisional.
Dirinya pun berharap bagi para pengusaha yang membuat kain bordir tiruan tersebut agar juga berkreasi, membuat motif sendiri agar tidak meniru motif yang dibuat oleh perajin kain asli. Pernah, dirinya bersama kelompok tenunnya mematenkan motif songket karyanya, namun tetap saja ada oknum-oknum nakal yang meniru. “Kita tertantang bikin motif baru, tapi jadi males, nanti bikin lagi terus ditiru lagi. Kan kita yang pusing,” terangnya.
Adanya alat tenun yang didemonstrasikan langsung oleh Ni Kadek Winiyanti di Pameran IKM Bali Bangkit ini sendiri merupakan salah satu upaya agar pengunjung dapat melihat proses produksi dan nilai dari kain songket asli.
“Kan konsumen atau masyarakat itu tidak tahu, bagaimana caranya kok bisa mahal. Langsung kita praktekkan di sini, langsung kita jelaskan. Langsung kita kasi masukan Dinasnya, kalau kita jual songket memang harus dipraktekkan,” terang wanita asal Sidemen, Karangasem ini.
Adapun kain-kain karya para penenun dari Arta Sedana ini biasanya memiliki pelanggan tetap. Adapula yang disalurkan ke salon-salon untuk rias Bali. Selain itu, pemasaran kain tenun ini juga dilakukan melalui media sosial.*cr74
Pemprov Bali bekerjasama dengan Dekranasda Bali dan pihak terkait menggelar pameran IKM (industri Kecil dan Menengah), beberapa waktu lalu. Pameran bertajuk ‘Bali Bangkit’ ini dilaksanakan di areal Taman Budaya atau Art Center, Jalan Nusa Indah, Denpsar.
Pameran ini menarik perhatian para pengunjung. Pengunjung tak hanya dimanjkaan seguhan produk tenun jadi. Pameran juga memperkenalkan bagaimana perajin memintal benang dan menenun menjadi lembaran kain tenun pelbagai motif dan ragam seni.
Di antaranya, tampak seorang ibu menenun gulungan benang menjadi kain songket. Tak jarang, ada satu atau dua pengunjung yang berhenti sejenak melihat kegiatannya menenun. Dialah Ni Kadek Winiyanti, seorang perajin songket asal Banjar Kebon, Desa Telaga Tawang, Kecamatan Sidemen, Karangasem.
Dirinya bersama 45 perajin lainnya bergabung dalam kelompok Tenun Songket Arta Sedana. Kendati produksi utamanya adalah kain songket, namun kelompok ini juga memproduksi kain endek. Sebelum kelompok ini berdiri di tahun 2016, para perajin songket biasanya memproduksi dan memasarkan kain secara individu melalui perantara pengepul.
Rata-rata, para perajin kain tenun ini merupakan ibu rumah tangga yang juga menenun untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Keterampilan menenun ini pun dapat dikatakan merupakan sebuah warisan. Seperti dilakoni Ni Kadek Winiyanti. Keluarganya mulai dari sang ibu dan sang nenek juga merupakan penenun. Sehingga dirinya telah belajar lama dan fasih menenun sejak kecil.
Awalnya dia belajar menenun motif pepolosan atau standar dulu atau tanpa motif. Setelah itu, dia membuat selendang yang kecil-kecil. Dari selendang kecil tersebut, baru berlanjut menenun destar/udeng, lanjut saput. ‘’Selanjutnya saya menenun kain untuk kamen yang lebih sulit. Lalu belajar tentang motif,” ujarnya pada NusaBali di sela-sela kegiatannya menenun, Sabtu (6/3).
Kegiatan menenun dilakukan di sela-sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga dan kewajiban sebagai krama Bali. “Kadang kalau dari jam 7 pagi bisa menenun sampai jam 9 lalu istirahat dulu. Dua jam bisa duduk, istirahat 1 jam. Jam 1 itu istirahat, selanjutnya lagi menenun,” lanjutnya.
Kegiatan itu dilakoninya hingga petang, bahkan hingga pukul 9 malam. Namun tidak setiap hari jadwal tersebut bisa dilakukan. “Kan kadang kita sebagai orang Bali nika kan mekrama. Banyak pekerjaan,” lanjutnya.
Tergantung bahan, jenis warna, dan motif, Kadek Winiyanti dapat menghasilkan selembar kain sepanjang 120 hingga 180 cm dalam satu bulan. Jika motif dan warna yang digunakan lebih beragam, pengerjaannya bisa memakan waktu satu bulan lebih. Motif-motif yang dipakai hiasan kain songket produksinya, yaitu motif-motif yang diambil dari pawayangan.
Menjadi perajin kain tenun tradisional Bali bukannya tanpa tantangan. Kini seiring dengan berkembangnya teknologi mesin, banyak pabrik yang menghasilkan motif songket dan endek tiruan. Hasilnya, banyak kain tiruan yang dijual dengan harga yang lebih murah, yang berdampak pada produktivitas perajin kain tradisional.
Dirinya pun berharap bagi para pengusaha yang membuat kain bordir tiruan tersebut agar juga berkreasi, membuat motif sendiri agar tidak meniru motif yang dibuat oleh perajin kain asli. Pernah, dirinya bersama kelompok tenunnya mematenkan motif songket karyanya, namun tetap saja ada oknum-oknum nakal yang meniru. “Kita tertantang bikin motif baru, tapi jadi males, nanti bikin lagi terus ditiru lagi. Kan kita yang pusing,” terangnya.
Adanya alat tenun yang didemonstrasikan langsung oleh Ni Kadek Winiyanti di Pameran IKM Bali Bangkit ini sendiri merupakan salah satu upaya agar pengunjung dapat melihat proses produksi dan nilai dari kain songket asli.
“Kan konsumen atau masyarakat itu tidak tahu, bagaimana caranya kok bisa mahal. Langsung kita praktekkan di sini, langsung kita jelaskan. Langsung kita kasi masukan Dinasnya, kalau kita jual songket memang harus dipraktekkan,” terang wanita asal Sidemen, Karangasem ini.
Adapun kain-kain karya para penenun dari Arta Sedana ini biasanya memiliki pelanggan tetap. Adapula yang disalurkan ke salon-salon untuk rias Bali. Selain itu, pemasaran kain tenun ini juga dilakukan melalui media sosial.*cr74
1
Komentar