18 Pasang Pengantin Urunan Masing-masing Rp 600.000 untuk Beli Sapi
Hari Ini, Desa Adat Pengotan, Kecamatan Bangli Laksanakan Tradisi Ritual Nikah Massal
Karena situasi pandemi Covid-19, prosesi nikah massal di Pura Penataran Agung, Desa Adat Pengotan dibagi dalam beberapa sesi, berdasarkan hasil undian nomor urut.
BANGLI, NusaBali
Tradisi ritual nikah massal (nganten barengan) kembali digelar Desa Adat Pengotan, Kecamatan Bangli pada Wraspati Pon Wariga, Kamis (18/3) ini. Ritual nikah massal kali ini akan diikuti 18 pasangan calon pengantin, di mana mereka urunan masing-masing Rp 600.000 untuk membeli seekor sapi. Karena masih situasi pandemi Covid-19, pasangan pengantin yang mengikuti upacara di Pura Penataran Agung, Desa Adat Pengotan diatur sedemikian rupa, menggunakan sistem nomor urut.
Bendesa Adat Pengotan, Jro Wayan Kopok, mengatakan 18 pasangan pengantin dalam nikah massal kali ini berasal dari 6 banjar di Desa Pengotan dan 1 banjar dari Desa Landih, Kecamatan Bangli. Khusus untuk pengantin dari Desa Landih hanya 1 pasangan.
Ada pun pasangan pengantin dari 6 banjar di Desa Adat Pengotan, masing-masing asal Banjar Dlod Umah (5 pasang), Banjar Dalam Umah (4 pasang), Banjar Tiying Desa (3 pasang), Banjar Yoh (2 pasang), Banjar Padpadan (2 pasang), dan Banjar Besenga (1 pasang). Banjar Penyebeh, Banjar Besenge,
Jro Wayan Kopok menyebutkan, pertemuan antara keluarga calon pengantin dengan prajuru Desa Adat Pengotan sudah dilaksanakan, Senin (15/3) lalu. Melalui pertemuan tersebut, keluarga calon pengantin menyampaikan keikutsertaan dalam pelaksanaan nikah massal kali ini, disertai dengan membawa canang taksu. “Berdasarkan pertemuan tersebut, terdata ada 18 pasangan calon pengantin akan mengikuti prosesi nganten bareng,” jelas Jro Kopok di Desa Pengotan, Rabu (17/3).
Jro Kopok menyebutkan, prosesi nikah massal kali ini sedikit berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya, mengingat situasi pendem Covid-19. Bedanya, prosesi tidak dilangsungkan bersamaan di Pura Penataran Agung sebagaimana biasanya, melainkan dibagi dalam beberapa sesi. Siapa dapat sesi berapa, itu tergantung hasil undian nomor urut.
Yang jelas, masing-masing sesi hanya diikuti 3 pasangan pengantin, sehingga nikah massal kali ini akan berlangsung dalam 6 sesi. Selain itu, pengiring pasangan pengantin juga dibatasi. Yang diperkenankan ikut mengiringi hanya keluarga yang membawa sarana upacara saja. "Kami telah memberikan nomor urut kepada masing-masing pasangan calon pengantin. Nanti saat upacara, para calon pengantin akan dipanggil,” terang Jro Kopok.
Meski dibagi dalam 6 sesi, Jro Kopok memastikan tidak ada prosesi yang dikurangi dalam ritual nikah massal di tengah pandemi Covid-19 ini. Seluruh rentetan upacara berlangsung seperti biasa. Demikian pula tahapan-tahapan upacaranya, berlangsung seperti biasa.
Menurut Jro Kopok, tahapan dalam nikah massal ini diawali dengan melaksanakan ritual ‘Sangkepan Nganten’ di jaba Pura Penataran Agung, Desa Adat Pengotan. Setelah sangkepan tersebut, dilajutkan dengan penyampaian hasil pesangkepan kepada seluruh krama adat. “Hasilnya disampaikan kepada krama, seperti siapa-siapa saja pasangan yang akan mengikuti upacara perkawinan massal kali ini," papar Jro Kopok.
Tahapan berikutnya adalah persiapan sarana upacara, termasuk nampah (menyembelih) sapi yang dibeli dari urunan para calon pengantin. Setelah daging sapi diolah, selanjutnya munggah (ditelatakan) di Bale Agung. "Sapi ini digunakan untuk balung medan yang nantinya diserahkan bagi prajuru dan krama desa," katanya.
Begitu segala persiapan rampung, barulah pasangan calon pengantin dipanggil untuk mengikuti acara pokok nikah massal. Para calon pengantin beriringan menuju Pura Penataran Agung untuk mengikuti rangkaian prosesi, mulai dari Nista Mandala Pura. Terakhir, pasangan calon pengantin duduk di ‘Bale Nganten’ Pura Penataran Agung.
Semua duduk berjejer dalam dua baris, di mana pasangan pengantin dalam posisi saling berhadapan. Duduknya dipisah antara laki-laki dan perempuan. Mereka duduk sambil nginang atau mengunyah sirih bersama, sebagai penanda bahwa sudah menjadi krama adat. Tidak hanya itu, mempelai perempuan nantinya ngunggahan damar kurung, yang dimaksudkan untuk memohon tuntunan dari Ida Sang Hyang Widhi, agar pasangan pengantin ini mampu menjalani kehidupan berumah tangga yang berjalan harmonis.
Jro Kokop mengatakan, setelah ritual ngunggahang damar kurung oleh mempelai perempuan, prosesi nikah massal dilanjut dengan mepamit di Sanggar Agung, sebagai pertanda berakhirnya rangkaian prosesi upacara nikah massal. Selanjutnya, pasangan pengantin kembali ke rumah masing-masing.
Disinggung terkait acara resepsi pernikahan, kata Jro Kopok, sepenuhnya diserahkan kepada keluarga masing-masing. Namun, pasangan pengantin yang menggelar resepsi pernikahan diingatkan untuk displin dalam penerapan protokol kesehatan cegah Covid-19. "Jika ada yang melaksanakan resepsi dipersilakan, namun harus disiplin dalam penerapan protokol kesehatan," tegas Jro Kopok.
Menurut Jro Kopok, dalam prosesi nikah massal ini, pasangan pengantin hanya dikenakan uang tunai masing-masing Rp 600.000, selain juga beberapa kewajiban lainnya termasuk membawa nasi empat rontong atau setara 10 kilogram sebagai kawisan buat dibagikan kepada krama adat. Uang Rp 600.000 tersebut untuk membeli seekor sapi secara patungan dengan pasangan pengantin lainnya, yang digunakan sebagai sarana upacara.
“Kalau pada zaman kerajaan dulu, satu pasangan pengantin wajib menghaturkan satu ekor sapi,” jelas Jro Kopok. Dan, uang Rp 600.000 ini jatuh lebih ringan dibanding jika menikah secara mandiri sebagai-mana layaknya di Bali, yang biasa menghabiskan biaya puluhan juta rupiah.
Tradisi ritual nikah massal itu sendiri dilaksanakan Desa Adat Pengotan dua kali dalam setahun, yakni pada Sasih Kapat (bulan keempat sistem penanggalan Bali) dan Sasih Kadasa (bulan ke-10 sistem penanggalan Bali). Khusus nikah massal hari ini, adalah tradisi untuk Sasih Kadasa.
Tradisi ritual nikah massal ini sudah tertuang dalam awig (aturan adat). Karenanya, tradisi ini ditaati betul. Sekalipun dari keluarga kaya raya, tetap saja harus menikah secara massal. Pernikahan massal diikuti baik laki-laki yang notabene menetap di Desa Pengotan maupun perempuan yang menikah ke luar. Bagi perempuan yang menikah ke luar, mereka tetap mengikuti rangkaian perkawinan massal di Desa Pengotan. Setelah nikah massal, selanjutnya mereka mengikuti sang suami.
Menurut Jro Kopok, ada pantangan bagi pasangan mempelai yang baru mengikuti prosesi nikah massal. Mereka selama tiga hari tidak boleh melewati rurung adat (jalan adat). Bila rumahnya berada di sebelah barat rurung adat, mereka tidak boleh ke sebelah timur, demikian pula sebaliknya. Seteleh tiga hari, mereka dibolehkan ke luar dan dilanjutkan dengan prosesi membawa tipat bantal dari rumah purusa (laki-laki) ke rumah pradana (perempuan).
Sedangkan untuk perempuan dari Desa Adat Pengotan yang menikah ke luar desa, mereka tidak terkena pantangan melintasi rurung adat selama 3 hari. Sebab, seusai upacara nikah massal di Pura Penataran Agung, mereka langsung mengikuti suaminya ke desa masing-masing. *esa
Bendesa Adat Pengotan, Jro Wayan Kopok, mengatakan 18 pasangan pengantin dalam nikah massal kali ini berasal dari 6 banjar di Desa Pengotan dan 1 banjar dari Desa Landih, Kecamatan Bangli. Khusus untuk pengantin dari Desa Landih hanya 1 pasangan.
Ada pun pasangan pengantin dari 6 banjar di Desa Adat Pengotan, masing-masing asal Banjar Dlod Umah (5 pasang), Banjar Dalam Umah (4 pasang), Banjar Tiying Desa (3 pasang), Banjar Yoh (2 pasang), Banjar Padpadan (2 pasang), dan Banjar Besenga (1 pasang). Banjar Penyebeh, Banjar Besenge,
Jro Wayan Kopok menyebutkan, pertemuan antara keluarga calon pengantin dengan prajuru Desa Adat Pengotan sudah dilaksanakan, Senin (15/3) lalu. Melalui pertemuan tersebut, keluarga calon pengantin menyampaikan keikutsertaan dalam pelaksanaan nikah massal kali ini, disertai dengan membawa canang taksu. “Berdasarkan pertemuan tersebut, terdata ada 18 pasangan calon pengantin akan mengikuti prosesi nganten bareng,” jelas Jro Kopok di Desa Pengotan, Rabu (17/3).
Jro Kopok menyebutkan, prosesi nikah massal kali ini sedikit berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya, mengingat situasi pendem Covid-19. Bedanya, prosesi tidak dilangsungkan bersamaan di Pura Penataran Agung sebagaimana biasanya, melainkan dibagi dalam beberapa sesi. Siapa dapat sesi berapa, itu tergantung hasil undian nomor urut.
Yang jelas, masing-masing sesi hanya diikuti 3 pasangan pengantin, sehingga nikah massal kali ini akan berlangsung dalam 6 sesi. Selain itu, pengiring pasangan pengantin juga dibatasi. Yang diperkenankan ikut mengiringi hanya keluarga yang membawa sarana upacara saja. "Kami telah memberikan nomor urut kepada masing-masing pasangan calon pengantin. Nanti saat upacara, para calon pengantin akan dipanggil,” terang Jro Kopok.
Meski dibagi dalam 6 sesi, Jro Kopok memastikan tidak ada prosesi yang dikurangi dalam ritual nikah massal di tengah pandemi Covid-19 ini. Seluruh rentetan upacara berlangsung seperti biasa. Demikian pula tahapan-tahapan upacaranya, berlangsung seperti biasa.
Menurut Jro Kopok, tahapan dalam nikah massal ini diawali dengan melaksanakan ritual ‘Sangkepan Nganten’ di jaba Pura Penataran Agung, Desa Adat Pengotan. Setelah sangkepan tersebut, dilajutkan dengan penyampaian hasil pesangkepan kepada seluruh krama adat. “Hasilnya disampaikan kepada krama, seperti siapa-siapa saja pasangan yang akan mengikuti upacara perkawinan massal kali ini," papar Jro Kopok.
Tahapan berikutnya adalah persiapan sarana upacara, termasuk nampah (menyembelih) sapi yang dibeli dari urunan para calon pengantin. Setelah daging sapi diolah, selanjutnya munggah (ditelatakan) di Bale Agung. "Sapi ini digunakan untuk balung medan yang nantinya diserahkan bagi prajuru dan krama desa," katanya.
Begitu segala persiapan rampung, barulah pasangan calon pengantin dipanggil untuk mengikuti acara pokok nikah massal. Para calon pengantin beriringan menuju Pura Penataran Agung untuk mengikuti rangkaian prosesi, mulai dari Nista Mandala Pura. Terakhir, pasangan calon pengantin duduk di ‘Bale Nganten’ Pura Penataran Agung.
Semua duduk berjejer dalam dua baris, di mana pasangan pengantin dalam posisi saling berhadapan. Duduknya dipisah antara laki-laki dan perempuan. Mereka duduk sambil nginang atau mengunyah sirih bersama, sebagai penanda bahwa sudah menjadi krama adat. Tidak hanya itu, mempelai perempuan nantinya ngunggahan damar kurung, yang dimaksudkan untuk memohon tuntunan dari Ida Sang Hyang Widhi, agar pasangan pengantin ini mampu menjalani kehidupan berumah tangga yang berjalan harmonis.
Jro Kokop mengatakan, setelah ritual ngunggahang damar kurung oleh mempelai perempuan, prosesi nikah massal dilanjut dengan mepamit di Sanggar Agung, sebagai pertanda berakhirnya rangkaian prosesi upacara nikah massal. Selanjutnya, pasangan pengantin kembali ke rumah masing-masing.
Disinggung terkait acara resepsi pernikahan, kata Jro Kopok, sepenuhnya diserahkan kepada keluarga masing-masing. Namun, pasangan pengantin yang menggelar resepsi pernikahan diingatkan untuk displin dalam penerapan protokol kesehatan cegah Covid-19. "Jika ada yang melaksanakan resepsi dipersilakan, namun harus disiplin dalam penerapan protokol kesehatan," tegas Jro Kopok.
Menurut Jro Kopok, dalam prosesi nikah massal ini, pasangan pengantin hanya dikenakan uang tunai masing-masing Rp 600.000, selain juga beberapa kewajiban lainnya termasuk membawa nasi empat rontong atau setara 10 kilogram sebagai kawisan buat dibagikan kepada krama adat. Uang Rp 600.000 tersebut untuk membeli seekor sapi secara patungan dengan pasangan pengantin lainnya, yang digunakan sebagai sarana upacara.
“Kalau pada zaman kerajaan dulu, satu pasangan pengantin wajib menghaturkan satu ekor sapi,” jelas Jro Kopok. Dan, uang Rp 600.000 ini jatuh lebih ringan dibanding jika menikah secara mandiri sebagai-mana layaknya di Bali, yang biasa menghabiskan biaya puluhan juta rupiah.
Tradisi ritual nikah massal itu sendiri dilaksanakan Desa Adat Pengotan dua kali dalam setahun, yakni pada Sasih Kapat (bulan keempat sistem penanggalan Bali) dan Sasih Kadasa (bulan ke-10 sistem penanggalan Bali). Khusus nikah massal hari ini, adalah tradisi untuk Sasih Kadasa.
Tradisi ritual nikah massal ini sudah tertuang dalam awig (aturan adat). Karenanya, tradisi ini ditaati betul. Sekalipun dari keluarga kaya raya, tetap saja harus menikah secara massal. Pernikahan massal diikuti baik laki-laki yang notabene menetap di Desa Pengotan maupun perempuan yang menikah ke luar. Bagi perempuan yang menikah ke luar, mereka tetap mengikuti rangkaian perkawinan massal di Desa Pengotan. Setelah nikah massal, selanjutnya mereka mengikuti sang suami.
Menurut Jro Kopok, ada pantangan bagi pasangan mempelai yang baru mengikuti prosesi nikah massal. Mereka selama tiga hari tidak boleh melewati rurung adat (jalan adat). Bila rumahnya berada di sebelah barat rurung adat, mereka tidak boleh ke sebelah timur, demikian pula sebaliknya. Seteleh tiga hari, mereka dibolehkan ke luar dan dilanjutkan dengan prosesi membawa tipat bantal dari rumah purusa (laki-laki) ke rumah pradana (perempuan).
Sedangkan untuk perempuan dari Desa Adat Pengotan yang menikah ke luar desa, mereka tidak terkena pantangan melintasi rurung adat selama 3 hari. Sebab, seusai upacara nikah massal di Pura Penataran Agung, mereka langsung mengikuti suaminya ke desa masing-masing. *esa
1
Komentar