Eksistensi Perempuan Bali Dalam Isu Kesetaraan Gender
Tanggal 8 Maret merupakan peringatan Hari Perempuan Internasional. Hari yang mengingatkan kita adanya kesempatan yang sama yang dimiliki baik oleh laki-laki maupun perempuan untuk mengambil peran. Semua diantara kita setara dalam memberi warna pada peradaban dunia.
Penulis : Ni Luh Putu Dewi Kusumawati, SST, M.Si
Statistisi Ahli Muda Badan Pusat Statistik Provinsi Bali
Di balik lelaki yang sukses pasti terdapat perempuan hebat di belakangnya. Demikian yang sering kita dengar. Bukan saja dalam hal kesuksesan seseorang, bahkan sebuah bangsa yang besarpun tak luput dari peran perempuan-perempuan hebat yang membangun negeri. Sebut saja tokoh-tokoh perempuan hebat di dunia, seperti Ratu Cleopatra yang memimpin Mesir dengan kecerdasannya, Marie Curie pemenang penghargaan Nobel dalam bidang radioaktif dan kimia, Mother Teresa penerima Penghargaan Nobel Perdamaian, Benazir Bhutto, perdana menteri wanita pertama yang memimpin negara muslim di dunia, dan masih banyak lagi, termasuk Menteri Keuangan kita Ibu Sri Mulyani Indrawati masuk ke dalam daftar 100 perempuan paling berpengaruh di dunia versi Forbes tahun 2019.
Namun kenyataannya, hanya segelintir perempuan saja yang dapat mencapai capaian tersebut, walaupun jumlahnya dari waktu ke waktu semakin banyak. Isu mengenai ketidaksetaraan antara lelaki dan perempuan masih saja terjadi sampai detik ini. Kejadian di masyarakat yang menjadikan perempuan menjadi nomor dua setelah lelaki masih kita temui, terutama di kalangan masyarakat yang menganut sistem patrilinear (garis keturunan dari laki-laki).
Isu gender memang sejak lama menjadi perhatian dunia. Bahkan pada agenda pembangunan global yang tertuang pada Sustainable Development Goals (SDGs), isu gender menjadi salah satu target dalam SDGs. Pada goal kelima, United Nations (UN) berkomitmen untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di seluruh dunia.
Perlu digarisbawahi bahwa istilah gender berbeda dengan karakteristik laki-laki dan perempuan secara biologis. Dalam hal ini secara biologis, memang antara laki-laki dan perempuan sudah dikodratkan berbeda. Namun, konsep gender disini mengacu pada perbedaan laki-laki dan perempuan dalam peran, perilaku, serta kegiatan, apakah memiliki kesempatan yang sama untuk berperan dan berpatisipasi dalam setiap aspek kehidupan. Sehingga kesetaraan gender dapat diartikan sebagai kondisi dimana perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan.
Pada tahun 2010 UNDP memperkenalkan indikator yang mempertimbangkan aspek gender. Di Indonesia, indikator ini dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu dengan membandingkan capaian pembangunan manusia yang diraih oleh laki-laki dan perempuan, yang dikenal dengan indikator Indeks Pembangunan Gender (IPG). IPG dihitung dengan membandingkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) perempuan dengan IPM laki-laki di suatu wilayah. Lalu bagaimanakah capaian pembangunan gender di Indonesia dan Bali khususnya?
Secara umum, pembangunan manusia yang dicapai oleh laki-laki di Indonesia masih lebih tinggi dibanding perempuan. Terlihat dari besaran indeks pembangunan gender Indonesia dari tahun 2010 sampai 2020 yang selalu dibawah 100. Pada tahun 2020, tercatat bahwa IPM laki-laki di Indonesia mencapai 75,98 dan IPM perempuan tercatat sebesar 69,19. Secara konsep tentu capaian ini merefleksikan masih adanya disparitas gender. Dengan besaran itu, IPG Indonesia pada tahun 2020 mencapai 91,06.
Lalu bagaimana dengan Bali yang terkenal dengan sistem patrilinearnya? Tercatat, pembangunan manusia yang dicapai laki-laki Bali memang lebih tinggi dibandingkan perempuan. IPG Provinsi Bali tahun 2020 seperti yang dirilis oleh BPS Provinsi Bali pada tanggal 5 Maret 2021, yaitu tercatat sebesar 93,79 naik dari tahun 2019 yang tercatat sebesar 93,72. Tentu hal ini sesuatu yang menggembirakan, karena nilainya semakin mendekati 100 (pembangunan antara perempuan dan laki-laki seimbang). Hal ini memperlihatkan pembangunan gender di Provinsi Bali lebih baik dari rata-rata Nasional. Dari ketiga komponen pendukung indikator IPG, aspek pendidikan dan ekonomi perempuan Bali memang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Pada tahun 2020, perempuan yang berusia 25 tahun ke atas rata-rata telah menempuh Pendidikan selama 8,21 tahun, sementara laki-laki telah menempuh Pendidikan selama 9,68 tahun. Selain itu, perempuan yang berusia 7 tahun ke atas memiliki harapan lama sekolah sebesar 13,23 tahun lebih rendah dibandingkan laki-laki Bali yang sebesar 13,48 tahun.
Dari sisi ekonomi, pada tahun 2020 rata-rata pendapatan per kapita perempuan Bali yang diproksi dengan rata-rata pendapatan per kapita sekitar 13,93 juta rupiah selama tahun. Jumlah ini lebih kecil dibanding rata-rata pengeluaran per kapita laki-laki yang tercatat sebesar 16,94 juta rupiah selama setahun. Disparitas gender dari sisi ekonomi ini bisa dikatakan lebih lebar jika dibandingkan dengan sisi pendidikan. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2020 mencatat bahwa sekitar 53,84 persen penduduk Bali yang bekerja adalah laki-laki. Dan sisanya sebesar 46,16 persen adalah perempuan.
Berbeda dengan kedua aspek di atas, untuk aspek Kesehatan yang diwakili oleh indikator Usia Harapan Hdup (UHH), aspek Kesehatan perempuan Bali masih lebih tinggi daripada laki-laki. Pada tahun 2020 rata-rata UHH perempuan Bali selama 74,03 tahun, sedangkan laki-laki selama 70,28 tahun. Dari banyak penelitian, memang dari sisi biologis wanita lebih tahan terhadap penyakit jika dibandingkan dengan laki-laki.
Kesetaraan gender tidak hanya penting dari sisi pembentukan moral bangsa yang dimulai dari rumah, tetapi untuk tujuan yang lebih besar. Jika kesetaraan gender dicapai, akan ada begitu banyak potensi, begitu banyak peluang, begitu banyak inovasi yang dapat digali dengan melakukan kerjasama yang apik antara laki-laki dan perempuan, sehingga bisa maju bersama-sama dan membesarkan bangsa.
Langkah nyata yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikan perempuan. Semakin tinggi tingkat Pendidikan perempuan, maka akan menekan angka pernikahan dini yang dalam hal ini tentu saja tidak menguntungkan. Pernikahan dini (utamanya yang menikah dengan usia dibawah 18 tahun), selain berefek negatif terhadap kesehatan perempuan itu sendiri, akan berujung pada pembentukan generasi yang tidak lebih baik dari orang tuanya karena minimnya pengetahuan akan berbagai hal mengenai pengasuhan anak, kehilangan masa potensial yang lebih produktif, dan lain sebagainya. Dengan peningkatan pendidikan perempuan, akan dapat melahirkan generasi penerus yang lebih berkualitas.
Selain itu, kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan dari lingkungan terkecil yaitu rumah dapat diterapkan. Pembagian tugas yang adil dalam mengurus rumah tangga, tidak mengkotak-kotakkan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan merupakan salah satu contoh kecil bagaimana kesetaraan gender itu dicapai. Mengajari anak laki-laki akan segala jenis pekerjaan rumah tangga merupakan langkah awal yang nantinya akan dibawa oleh anak tersebut ketika masuk ke jenjang pernikahan. Tetap membantu pekerjaan rumah tangga selain kewajiban mencari nafkah adalah salah satu bentuk kesetaraan gender.
Bali sebagai salah satu wilayah yang sarat dengan nilai-nilai budaya yang amat kental tak dapat meniadakan peran perempuan-perempuan Bali. Kegiatan adat dan agama tentu merupakan ajang eksistensi bagi kesetaraan gender di Bali. Walau dalam kenyataannya terlihat ada pengkotak-kotakan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan, tetapi mereka selalu bekerja sama dengan baik untuk memperlancar prosesi keagamaan. Sungguh suatu harmonisasi yang harus tetap dijaga.
Pemberdayaan yang lebih luas misalnya saja dengan pemberdayaan perempuan pada gerakan Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dengan memberikan pengetahuan-pengetahuan berguna dan mengembangkan inovasi-inovasi dalam meningkatkan ekonomi keluarga. Merekrut perempuan pada jenjang-jenjang top level pada perusahaan akan memberikan sentuhan lain pada perusahaan. Pengaturan yang lebih detail dan komunikasi yang lebih baik akan meningkatkan performa perusahaan di masa depan. Bukan saja perusahaan, negara yang dipimpin seorang perempuan juga tak kalah keren jika dibandingkan negara yang dipimpin laki-laki. Sebut saja negara-negara yang berhasil menangani krisis Covid-19 sebut saja misalnya negara Taiwan, Jerman, Denmark, dan masih banyak lagi. Dengan berbagai peluang tersebut, perempuan dan laki-laki akan dapat maju secara bersama-sama membangun negeri.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Komentar