Gerabah, Tinggalan Raja Jayapangus Raih Haki
MANGUPURA, NusaBali
KELURAHAN Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung, memiliki kearifan lokal berupa pembuatan gerabah. Produk pecah belah berbahan tanah liat ini mendapat pengakuan negara berupa sertifikat HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) dari Menkum dan HAM pada Februari lalu.
Sertifikat HAKI ini menyusul pengakuan terhadap gerabah Basang Tamiang, Desa Kapal, sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kerajinan gerabah Banjar Basang Tamiang diperkirakan sudah ada sejak zaman Bali Kuna. Hal ini ditandai keberadaan prasasti berangka tahun 1103 Saka (1181 M) dari Raja Jayapangus sebagai petunjuk. Sejak itu Basang Tamiang sebagai kampung gerabah. Tradisi kerajinan ini lestari hingga kini. Gerabah masih dilakoni sebagian besar dari 200 KK warga Basang Tamiang.
Proses produksi gerabah dimulai dari menyediakan bahan baku tanah liat, membuat, menjemur, membakar hingga memasarkan. Gerabah dibuat kebanyakan untuk memenuhi kebutuhan rutin gerabah di Bali. Terutama jenis-jenis gerabah yang merupakan bagian atau peralatan upacara agama Hindu di Bali. Diantaranya, coblong, pasepan, senden,junpere,payuk tirta, caratan, pane atau paso hingga dulang tanah dan lainnya.
Permintaannya tergolong rutin, terutama musim ngaben. Selain gerabah untuk upacara, perajin gerabah Basang Tamiang juga membuat gerabah jenis gerabah yang lebih kekinian. Seperti celengan, kotak pot atau bak tanaman hias serta bentuk-bentuk dekoratif.
Gerabah merupakan salah satu tulang punggung ekonomi warga Basang Tamiang. "Kalau musim upacara (ngaben) bisa sampai kewalahan. Karena permintaan banyak," ungkap Bendesa Adat Kapal I Ketut Sudarsana,64, Rabu(17/3).
Bendesa Sudarsana mengatakan faktor pasar menjadikan kerajinan gerabah di Basang Tamiang tetap bertahan. Dari menggerabah mampu menghidupi ekonomi warga sehingga kerajinan ini lestari.
Dia menambahkah kelestarian gerabah ini beriring dengan kepercayaan niskala. Bagi warga Basang Tamiang, membuat gerabah, merupakan wujud subhakti kepada Ida Bathara Sasuhunan di Pura Bangun Sakti. Di pura ini ada Palinggih Ibu Pertiwi. Dari palinggih inilah diyakini paica keterampilan membuat gerabah turun terutama bagi perempuan. Karena itu setiap pasutri baru di Basang Tamiang, wajib mapakeling mohon anugerah di Palinggih Ibu Pertiwi di Pura Bangun Sakti.
Mengapa hanya sang istri saja? Tak lain karena keterampilan menggerabah identik dengan keahlian perempuan. Sedangkan suami membantu. "Tidak lebih dari sepekan setelah nunas ica, biasanya akan langsung bisa membuat gerabah," ungkap Jro Bendesa Sudarsana.
Dia mencontohkan Ni Wayan Miasa, istrinya. Kata Jro Bendesa Sudarsana, istrinya berasal dari luar yakni dari Banjar Tangeb, masih di lingkungan Kapal. Setelah menikah dan nunas ica di Palinggih Ibu Pertiwi, sang istri juga bisa membuat gerabah. "Pantang di sini untuk tidak memahami dan melakoni gerabah," ujar pria yang juga penyurat lontar ini. Kata dia, menggerabah sebagai kewajiban niskala yang jadi cikal bakal leluhur warga Basang Tamiang.
Warga dan perajin gerabah di Basang Tamiang percaya hal tersebut, sehingga pantang mengabaikan keterampilan tersebut. "Tidak berani (abai) karena sudah merupakan guna tetamian nak lingsir," ujar I Ketut Subrata,64, seorang pembuat gerabah. Sepengetahuan Subrata, dari kakek, orang tuanya, sudah membuat gerabah. Berlanjut Subrata dan istrinya. "Anak-anak juga sudah bisa," katanya. *nata
1
Komentar