Kearifan Lokal dan Permainan Matematika
Krama Bali amat bangga memiliki berbagai kearifan lokal, seperti masyarakat lainnya di Nusantara.
Konon sejak jaman kerajaan Bali kuno, kearifan lokal: Bhinneka Tunggal Ika, Desa Kala Patra, Tri Kaya Parisudha, Tri Samaya, sudah menyumsum tulang di nurani. Kearifan lokal itu lebih bermakna sebagai kebajikan (wisdom), menjadi ‘sesuluh’, pagi-siang-maupun malam. Sebagai penerang nurani, kebajikan tersebut dijadikan pedoman hidup dan berkehidupan turun temurun, generasi ke generasi sampai saat ini.
Kebajikan demikian diresapi dan dimaknai sederhana, dilakoni dengan tekun, dimaknai dengan cerdas, tiada pertentangan apalagi konflik. Kebajikan demikian telah meresap menjadi ‘novum organum scientarium’, mahakarya kosmik yang menawarkan metode berpikir, berkata, dan berperilaku yang baik dan benar.
Di samping kebajikan tersebut, Bali memiliki budaya dan tradisi unik, kearifan lokal yang diwariskan turun temurun.
Budaya dan tradisi itu berupa atraksi budaya, tampilan religi magis, corak ragam ritual. Kearifan lokal demikian telah mewarnai hidup dan berkehidupan krama, wisatawan nusantara, maupun manca negara. Tidak seperti kearifan lokal yang sarat nilai, norma, etika, dan moral adiluhung, ia sering dikomodifikasi, diglokalisasi untuk mendatangkan manfaat ekonomis. Perubahan, pergeseran, modifikasi demikian sepertinya tidak dipermasalahkan? Unsur dan sifat asli sudah sedikit bergeser dari secui naturamnya, tetapi tidak serta merta memicu konflik! Apakah ini relativitas kearifan lokal tipe kedua?
Ketika kearifan lokal tipe kedua ini disusupi ideologi budaya bukan unsur asli, ia ditengara menumbuhkan kekhawatiran, tuduhan adanya imperialisme budaya, atau ketakutan terhadap penafian unsur asli. Apakah reaksi demikian dikarenakan ada penyamaan kearifan lokal sebagai zero sum game, permainan matematika, ada yang diuntungkan di satu pihak dan ada yang dirugikan di pihak lain? Apakah kearifan lokal tipe ini ditengara sebagai proteksi dagang Amerika Serikat yang dapat menimbulkan kemunduran bagi globalisasi? Apakah proteksi dagang ala Donald Trump, mantan presiden Amerika Serikat, akan merugikan kerjasama saling menguntungkan antar negara di dunia?
Permainan matematika yang bermetode ‘zero sum game’, bermakna ada yang menang dan yang kalah. Ketika pilkada, ada yang berbeda dan bersatu, usai kegiatan ada yang bahagia, ada yang menderita! Menang kalah dalam politik bersifat dinamis, saat persaingan berseberangan, saat menang atau kalah bersikap kompromi atau berkoalisi. Bagaimana dengan kearifan lokal ini? Apa solusi yang paling bijak, tidak ada yang merasa dirugikan atau memeroleh manfaat, tidak ada yang tercerabut akar atau tumbuh di sebidang lahan subur, atau tidak ada yang merasa dinistakan atau dipuja dan disanjung.
Apakah ada permainan matematika yang bermetode ‘non zero sum game’ untuk kearifan lokal? Mungkin, pemikiran Andrew Hoslter, yang meneruskan pemikiran Martin Lopez, dapat disimak dengan bijak. Intisari pemikiran mereka bermuara pada pemahaman bahwa ‘menjadi manusia bukan suatu pilihan’ dan ‘khasanah alam merupakan anugrah’. Kearifan lokal tipe 1 dan 2 merupakan anugrah yang telah diwariskan turun temurun. Metode dialog, musyawarah mufakat, ‘paras paros sarpanaya, salulung sabayantaka’, apresiasi lintasbudaya, dan sejenisnya merupakan ‘win-win-solution’, bersama-sama menang dan tidak ada yang dikalahkan.
Kearifan lokal yang sarat kebajikan tidak berwacana peradaban negatif dan pesimistis, seperti ‘akhir ideologi’, akhir modernitas’ ‘akhir representasi’, ‘akhir seni’, ‘punahnya adat istiadat’ ‘akhir filsafat, ‘matinya nurani’ ‘punahnya kebenaran’ , seperti yang dilontarkan oleh John Horgan dalam ‘the end of science’. Semoga kearifan datang dari segala penjuru, sehingga gumi Bali ‘tentrem kertha raharja’. *
Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D
Kebajikan demikian diresapi dan dimaknai sederhana, dilakoni dengan tekun, dimaknai dengan cerdas, tiada pertentangan apalagi konflik. Kebajikan demikian telah meresap menjadi ‘novum organum scientarium’, mahakarya kosmik yang menawarkan metode berpikir, berkata, dan berperilaku yang baik dan benar.
Di samping kebajikan tersebut, Bali memiliki budaya dan tradisi unik, kearifan lokal yang diwariskan turun temurun.
Budaya dan tradisi itu berupa atraksi budaya, tampilan religi magis, corak ragam ritual. Kearifan lokal demikian telah mewarnai hidup dan berkehidupan krama, wisatawan nusantara, maupun manca negara. Tidak seperti kearifan lokal yang sarat nilai, norma, etika, dan moral adiluhung, ia sering dikomodifikasi, diglokalisasi untuk mendatangkan manfaat ekonomis. Perubahan, pergeseran, modifikasi demikian sepertinya tidak dipermasalahkan? Unsur dan sifat asli sudah sedikit bergeser dari secui naturamnya, tetapi tidak serta merta memicu konflik! Apakah ini relativitas kearifan lokal tipe kedua?
Ketika kearifan lokal tipe kedua ini disusupi ideologi budaya bukan unsur asli, ia ditengara menumbuhkan kekhawatiran, tuduhan adanya imperialisme budaya, atau ketakutan terhadap penafian unsur asli. Apakah reaksi demikian dikarenakan ada penyamaan kearifan lokal sebagai zero sum game, permainan matematika, ada yang diuntungkan di satu pihak dan ada yang dirugikan di pihak lain? Apakah kearifan lokal tipe ini ditengara sebagai proteksi dagang Amerika Serikat yang dapat menimbulkan kemunduran bagi globalisasi? Apakah proteksi dagang ala Donald Trump, mantan presiden Amerika Serikat, akan merugikan kerjasama saling menguntungkan antar negara di dunia?
Permainan matematika yang bermetode ‘zero sum game’, bermakna ada yang menang dan yang kalah. Ketika pilkada, ada yang berbeda dan bersatu, usai kegiatan ada yang bahagia, ada yang menderita! Menang kalah dalam politik bersifat dinamis, saat persaingan berseberangan, saat menang atau kalah bersikap kompromi atau berkoalisi. Bagaimana dengan kearifan lokal ini? Apa solusi yang paling bijak, tidak ada yang merasa dirugikan atau memeroleh manfaat, tidak ada yang tercerabut akar atau tumbuh di sebidang lahan subur, atau tidak ada yang merasa dinistakan atau dipuja dan disanjung.
Apakah ada permainan matematika yang bermetode ‘non zero sum game’ untuk kearifan lokal? Mungkin, pemikiran Andrew Hoslter, yang meneruskan pemikiran Martin Lopez, dapat disimak dengan bijak. Intisari pemikiran mereka bermuara pada pemahaman bahwa ‘menjadi manusia bukan suatu pilihan’ dan ‘khasanah alam merupakan anugrah’. Kearifan lokal tipe 1 dan 2 merupakan anugrah yang telah diwariskan turun temurun. Metode dialog, musyawarah mufakat, ‘paras paros sarpanaya, salulung sabayantaka’, apresiasi lintasbudaya, dan sejenisnya merupakan ‘win-win-solution’, bersama-sama menang dan tidak ada yang dikalahkan.
Kearifan lokal yang sarat kebajikan tidak berwacana peradaban negatif dan pesimistis, seperti ‘akhir ideologi’, akhir modernitas’ ‘akhir representasi’, ‘akhir seni’, ‘punahnya adat istiadat’ ‘akhir filsafat, ‘matinya nurani’ ‘punahnya kebenaran’ , seperti yang dilontarkan oleh John Horgan dalam ‘the end of science’. Semoga kearifan datang dari segala penjuru, sehingga gumi Bali ‘tentrem kertha raharja’. *
Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D
Komentar