RI Sebut Perdagangan Benur Ilegal
Minta dukungan dunia untuk jaga pengelolaan sumber daya kelautan
JAKARTA, NusaBali
Pemerintah Indonesia meminta organisasi dan negara-negara di dunia menetapkan perdagangan komoditas plasma nutfah seperti benih lobster (benur) sebagai tindakan ilegal atau melanggar hukum. Hal ini guna menjaga biodiversitas dan pengelolaan sumber daya kelautan yang berkelanjutan pada masa depan.
Permintaan ini disampaikan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam seminar bertajuk Menuju Sustainable Ocean Economy di Indonesia yang digelar secara virtual pada Selasa (30/3).
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia KKP Sjarief Widjaja mengatakan permintaan itu disampaikan karena pihaknya menilai perdagangan benih lobster seharusnya memang masuk kategori tindakan Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing.
"Indonesia membutuhkan dukungan internasional dalam rangka untuk menjaga biodiversitas Indonesia, sehingga tidak terjadi aliran perdagangan lintas benua dan negara untuk plasma nutfah, salah satunya adalah benih lobster. Kita mengharapkan dukungan internasional agar mampu mendukung, kita melihat bahwa perdagangan internasional untuk plasma nutfah dapat dikategorikan sebagai IUU Fishing," ujar Sjarief seperti dilansir cnnindonesia.com.
Sjarief mengatakan dukungan dari dunia sangat diperlukan karena Indonesia tidak bisa sendiri menentang praktik perdagangan benih lobster. Kendati begitu, Indonesia tetap berkomitmen untuk melakukan budidaya komoditas kelautan.
Salah satu aksi nyatanya, dengan membangun wilayah perikanan WPP714 sebagai kawasan pembibitan dan budidaya bagi komoditas laut unggulan. Misalnya, ikan tuna, ikan kerapu, dan sebagainya.
"Ini menjadi bagian dari Indonesia untuk menjadikan 30 persen wilayah laut sebagai area konservasi pada 2030," ucapnya.
Di sisi lain, Sjarief juga meminta dukungan dari dunia terkait perlakuan setara dalam perdagangan lintas benua dan lintas negara. Salah satunya dengan memberlakukan tarif yang adil bagi semua negara pengekspor dan tujuan ekspor.
"Kita mohon dukungan dari negara-negara untuk memungkinkan Indonesia sebagai sumber pangan dunia agar mendapat kemudahan dan keringanan tarif, sehingga kita bisa mempercepat arus perdagangan komoditas ke negara yang membutuhkan," katanya.
Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah agar bisa memaksimalkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sumber daya perikanan tangkap. Sebab, PNBP tak cuma bermanfaat bagi kantong negara, tapi juga masyarakat pesisir laut dan para nelayan.
Apalagi, sumber kekayaan laut Indonesia cukup bernilai. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat potensi kekayaan laut Indonesia mencapai US$120-US$170 miliar pada 2020. Nilai ini menjadikan Indonesia ada di peringkat ketiga di dunia, setelah China dan Peru.
"Ini untuk kesejahteraan masyarakat dan didistribusikan kembali kepada nelayan dan masyarakat yang tinggi di pesisir sehingga mereka mampu hidup dengan layak," pungkasnya. *
Permintaan ini disampaikan pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam seminar bertajuk Menuju Sustainable Ocean Economy di Indonesia yang digelar secara virtual pada Selasa (30/3).
Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia KKP Sjarief Widjaja mengatakan permintaan itu disampaikan karena pihaknya menilai perdagangan benih lobster seharusnya memang masuk kategori tindakan Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing.
"Indonesia membutuhkan dukungan internasional dalam rangka untuk menjaga biodiversitas Indonesia, sehingga tidak terjadi aliran perdagangan lintas benua dan negara untuk plasma nutfah, salah satunya adalah benih lobster. Kita mengharapkan dukungan internasional agar mampu mendukung, kita melihat bahwa perdagangan internasional untuk plasma nutfah dapat dikategorikan sebagai IUU Fishing," ujar Sjarief seperti dilansir cnnindonesia.com.
Sjarief mengatakan dukungan dari dunia sangat diperlukan karena Indonesia tidak bisa sendiri menentang praktik perdagangan benih lobster. Kendati begitu, Indonesia tetap berkomitmen untuk melakukan budidaya komoditas kelautan.
Salah satu aksi nyatanya, dengan membangun wilayah perikanan WPP714 sebagai kawasan pembibitan dan budidaya bagi komoditas laut unggulan. Misalnya, ikan tuna, ikan kerapu, dan sebagainya.
"Ini menjadi bagian dari Indonesia untuk menjadikan 30 persen wilayah laut sebagai area konservasi pada 2030," ucapnya.
Di sisi lain, Sjarief juga meminta dukungan dari dunia terkait perlakuan setara dalam perdagangan lintas benua dan lintas negara. Salah satunya dengan memberlakukan tarif yang adil bagi semua negara pengekspor dan tujuan ekspor.
"Kita mohon dukungan dari negara-negara untuk memungkinkan Indonesia sebagai sumber pangan dunia agar mendapat kemudahan dan keringanan tarif, sehingga kita bisa mempercepat arus perdagangan komoditas ke negara yang membutuhkan," katanya.
Hal ini sejalan dengan tujuan pemerintah agar bisa memaksimalkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sumber daya perikanan tangkap. Sebab, PNBP tak cuma bermanfaat bagi kantong negara, tapi juga masyarakat pesisir laut dan para nelayan.
Apalagi, sumber kekayaan laut Indonesia cukup bernilai. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mencatat potensi kekayaan laut Indonesia mencapai US$120-US$170 miliar pada 2020. Nilai ini menjadikan Indonesia ada di peringkat ketiga di dunia, setelah China dan Peru.
"Ini untuk kesejahteraan masyarakat dan didistribusikan kembali kepada nelayan dan masyarakat yang tinggi di pesisir sehingga mereka mampu hidup dengan layak," pungkasnya. *
Komentar