Politisi Bali Diminta Kawal Revisi UU 33/2004
Kerusakan Alam Akibat Pariwisata Perlu Biaya Mahal
Pariwisata Bali harus disuarakan kencang di pusat supaya bisa menjadi objek dana bagi hasil dalam Revisi UU Nomor 33 Tahun 2004.
DENPASAR, NusaBali
Akademisi mendorong para wakil rakyat Bali dari berbagai latar belakang partai politik mengawal Revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang saat ini sudah masuk program legislasi nasional (Prolegnas). Revisi tersebut harus berkeadilan buat Bali, karena Bali sudah menyumbang devisa dari pariwisata triliunan rupiah ke pusat. Sementara kerusakan alam akibat kemajuan pariwisata harus dibiayai mahal.
Hal itu terungkap dalam Webinar revisi UU perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah di Kantor DPD I Golkar Bali, Jalan Surapati Nomor 1 Denpasar, Jumat (2/4) siang. Webinar yang digelar secara daring dan luring tersebut diikuti Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Golkar Azis Syamsuddin, Ketua DPD I Golkar Bali Nyoman Sugawa Korry, Sekretaris DPD I Golkar Bali Made Dauh Wijana. Webinar dimoderatori Ketua OKK DPD I Golkar Bali Dewa Made Suamba Negara.
Dekan Fakultas Pariwisata Unud, Dr Drs Nyoman Sunarta MSi angkat bicara soal eksploitasi alam Bali karena pengembangan sektor pariwisata Bali. Dampaknya ekosistem di Bali terancam. Setiap tahun 1.000 hektare lahan sawah beralih fungsi untuk pembangunan akomodasi pariwisata. Ketersediaan air bersih untuk Bali juga terancam karena kapasitas Bali yang tidak pernah dihitung, dengan adanya kemajuan pariwisata. Berapa manusia yang layak tinggal di Bali belum dihitung.
Sunarta mengatakan selama ini hasil pariwisata yang disumbangkan ke pusat mencapai triliunan. Namun siapa menjamin alam dan lingkungan Bali akan terjaga, belum ada yang memikirkan. "Maka dana untuk pembiayaan bersumber dari devisa pariwisata harus juga dikembalikan ke Bali dengan porsi yang adil. Di negara-negara luar itu dana perimbangan yang diatur 45 berbanding 55. Dana bagi hasil ini yang harus dipakai merawat Bali," ujar Sunarta.
Kata Sunarta, pariwisata Bali harus disuarakan kencang di pusat supaya bisa menjadi objek dana bagi hasil dalam Revisi UU Nomor 33 Tahun 2004."Pariwisata yang kita punya itu tidak hanya alam, ada manusia dengan kebudayaan. Adat dan budaya itu tidak bisa dinilai dengan uang. Ya kami berharap para senior kita di legislatif dan pakar hukum supaya mengkaji itu secara hukum dan secara ekonomi, " ujar Sunarta.
Sementara Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Dr Putu Gede Arya Sumertayasa mengatakan RUU tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang mengatur pembagian dana bagi hasil hendaknya memenuhi asas keadilan. Bali saat ini hanya mendapatkan sekitar 8 persen anggaran dari pusat, dari ratusan triliun yang disetorkan dalam bentuk devisa dari pariwisata.
"Bali yang menyetor ratusan triliun dari pariwisata belum mendapatkan porsi yang adil," ujar Arya Sumertayasa. Menurut dia dalam pasal 11 UU 33 Tahun 2004 yang diatur hanya sumber daya alam seperti gas bumi, tambang, perikanan, kelautan sebagai dana bagi hasil. Sementara Pariwisata tidak ada disebutkan dalam pasal-pasal UU Nomor 33 Tahun 2004. Pariwisata harusnya bisa masuk sebagai sumber daya alam lainnya. "Artinya pembagian dana bagi hasil dari sumber daya alam ini belum ada keselarasan dan keadilan," ujar Arya Sumertayasa.
Sementara Ketua DPD I Golkar Bali, Nyoman Sugawa Korry mengatakan UU Nomor 33 Tahun 2004, Bali harus memperoleh dana bagi hasil berdasarkan aturan atau payung hukum yang jelas. "Tidak berdasarkan kompensasi atau pendekatan politis," ujar Wakil Ketua DPRD Bali ini.
Sugawa Korry mengatakan Bali harus mulatsarira dengan evaluasi pola pengembangan pariwisatanya ke depan.
"Bali jangan lagi dijual murah, ke depan pariwisata Bali harus yang berkualitas. Mahal sedikit nggak masalah. Wisatawan bila perlu dengan aturan dan Undang-Undang harus berkontribusi untuk membiayai lingkungan dan alam Bali. Perlu dibuat Undang-undangnya," ujar politisi asal Desa Banyuatis, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng ini. *nat
Akademisi mendorong para wakil rakyat Bali dari berbagai latar belakang partai politik mengawal Revisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang saat ini sudah masuk program legislasi nasional (Prolegnas). Revisi tersebut harus berkeadilan buat Bali, karena Bali sudah menyumbang devisa dari pariwisata triliunan rupiah ke pusat. Sementara kerusakan alam akibat kemajuan pariwisata harus dibiayai mahal.
Hal itu terungkap dalam Webinar revisi UU perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah di Kantor DPD I Golkar Bali, Jalan Surapati Nomor 1 Denpasar, Jumat (2/4) siang. Webinar yang digelar secara daring dan luring tersebut diikuti Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Golkar Azis Syamsuddin, Ketua DPD I Golkar Bali Nyoman Sugawa Korry, Sekretaris DPD I Golkar Bali Made Dauh Wijana. Webinar dimoderatori Ketua OKK DPD I Golkar Bali Dewa Made Suamba Negara.
Dekan Fakultas Pariwisata Unud, Dr Drs Nyoman Sunarta MSi angkat bicara soal eksploitasi alam Bali karena pengembangan sektor pariwisata Bali. Dampaknya ekosistem di Bali terancam. Setiap tahun 1.000 hektare lahan sawah beralih fungsi untuk pembangunan akomodasi pariwisata. Ketersediaan air bersih untuk Bali juga terancam karena kapasitas Bali yang tidak pernah dihitung, dengan adanya kemajuan pariwisata. Berapa manusia yang layak tinggal di Bali belum dihitung.
Sunarta mengatakan selama ini hasil pariwisata yang disumbangkan ke pusat mencapai triliunan. Namun siapa menjamin alam dan lingkungan Bali akan terjaga, belum ada yang memikirkan. "Maka dana untuk pembiayaan bersumber dari devisa pariwisata harus juga dikembalikan ke Bali dengan porsi yang adil. Di negara-negara luar itu dana perimbangan yang diatur 45 berbanding 55. Dana bagi hasil ini yang harus dipakai merawat Bali," ujar Sunarta.
Kata Sunarta, pariwisata Bali harus disuarakan kencang di pusat supaya bisa menjadi objek dana bagi hasil dalam Revisi UU Nomor 33 Tahun 2004."Pariwisata yang kita punya itu tidak hanya alam, ada manusia dengan kebudayaan. Adat dan budaya itu tidak bisa dinilai dengan uang. Ya kami berharap para senior kita di legislatif dan pakar hukum supaya mengkaji itu secara hukum dan secara ekonomi, " ujar Sunarta.
Sementara Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Dr Putu Gede Arya Sumertayasa mengatakan RUU tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang mengatur pembagian dana bagi hasil hendaknya memenuhi asas keadilan. Bali saat ini hanya mendapatkan sekitar 8 persen anggaran dari pusat, dari ratusan triliun yang disetorkan dalam bentuk devisa dari pariwisata.
"Bali yang menyetor ratusan triliun dari pariwisata belum mendapatkan porsi yang adil," ujar Arya Sumertayasa. Menurut dia dalam pasal 11 UU 33 Tahun 2004 yang diatur hanya sumber daya alam seperti gas bumi, tambang, perikanan, kelautan sebagai dana bagi hasil. Sementara Pariwisata tidak ada disebutkan dalam pasal-pasal UU Nomor 33 Tahun 2004. Pariwisata harusnya bisa masuk sebagai sumber daya alam lainnya. "Artinya pembagian dana bagi hasil dari sumber daya alam ini belum ada keselarasan dan keadilan," ujar Arya Sumertayasa.
Sementara Ketua DPD I Golkar Bali, Nyoman Sugawa Korry mengatakan UU Nomor 33 Tahun 2004, Bali harus memperoleh dana bagi hasil berdasarkan aturan atau payung hukum yang jelas. "Tidak berdasarkan kompensasi atau pendekatan politis," ujar Wakil Ketua DPRD Bali ini.
Sugawa Korry mengatakan Bali harus mulatsarira dengan evaluasi pola pengembangan pariwisatanya ke depan.
"Bali jangan lagi dijual murah, ke depan pariwisata Bali harus yang berkualitas. Mahal sedikit nggak masalah. Wisatawan bila perlu dengan aturan dan Undang-Undang harus berkontribusi untuk membiayai lingkungan dan alam Bali. Perlu dibuat Undang-undangnya," ujar politisi asal Desa Banyuatis, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng ini. *nat
Komentar