nusabali

Bule Prancis Mabanjar di Sangketan, Nyunggi Ratu Gede Dalem Solo

  • www.nusabali.com-bule-prancis-mabanjar-di-sangketan-nyunggi-ratu-gede-dalem-solo

Sejak bikin rumah dan tinggal menetap di Desa Sangketan pada 2014, Thierry Cerot menjalani upacara Sudi Wadani untuk pindah agama ke Hindu, lalu namanya berubah jadi I Wayan Ceri. Selanjutnya, bule Prancis ini menikahi Ni Putu Devi Kurnia Dewi

Kisah Tercecer dari Kegiatan Ngayah Pembaca NusaBali di Pura Luhur Tamba Waras, Kecamatan Penebel

TABANAN, NusaBali
Selain dikejutkan kehadiran Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama, kegiatan spiritual ‘Ngiring Sareng-sareng Ngayah’ yang digelar NusaBali bersama pembaca setia di Pura Luhur Tamba Waras, Desa Pakraman Sangketan, Kecamatan Penebel, Tabanan pada Saniscara Pahing Menail, Sabtu (3/11), juga ditingkahi surprise atas munculnya seorang bule Prancis, Thierrry Cerot, 54. Bule Prancis ini ngayah lengkap mengenakan busana adat madya, dengan senjata golok bersarung terselip di pinggangnya. Usut-punya usut, Thierry Cerot ternyata ikut mabanjar adat di Desa Sangketan.

Dalam kegiatan ngayah yang melibatkan ratusan pembaca setia NusaBali di Pura Luhur Tamba Waras hari itu, Thierry Cerot ikut berbaur dengan krama pengayah lainnya. Bule Prancis yang akrab dipanggil I Wayan Ceri ini terlihat sangat terampil matektekan (mengolah daging) di puwaregan (bangunan dapur) Pura Luhur Tamba Waras. Tak hanya terampil mebat (matektekan), dia juga ngomong pakai Bahasa Bali. Thierry Cerot ikut ngayah yang dimulai sejak pagi sekitar pukul 09.30 Wita.

Bagaimana asal-usulnya Thierry Cerot sampai ngayah di Pura Luhur Tamba Waras? Kepada NusaBali, Thierry Cerot mengaku sudah 13 tahun tinggal di Bali. Dia punya usaha berbahan baku bambu di Desa Belega, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. Selama berada di Bali, dia mengaku berkeliling mencari lokasi yang tenang untuk tempat tinggal.

Nah, dalam perjalanannya, Thierry Cerot kemudian jatuh hati dengan suasana sejuk di Desa Sangketan, Kecamatan Penebel, yang berlokasi di lereng Gunung Batukaru. Dia pun akhirnya memutuskan beli tanah untuk tempat tinggal dan lahan sawah untuk bercocok tanam di Desa Sangketan. Keinginannya itu terwujud tahun 2014 lalu. Dia dapat tanah seluas 20 are untuk membangun rumah dan 20 are untuk lahan pertanian di Banjar Sangketan, Desa Sangketan.

Setelah tinggal di Banjar Sangketan, Thierry Cerot merasakan atmosfir yang berbeda. Muncul kemudian keinginannya untuk memeluk agama Hindu. Niat itu disampaikan kepada tetangganya, Mangku Ari. Akhirnya, Thierry Cerot dibuatkan banten untuk upacara Sudi Wadani (pindah agama) di Pura Desa Pakraman Sangketan.

Setelah menjalani upacara Sudi Wadani dan jadi pemeluk Hindu, nama Thierry Cerot pun mengikuti budaya Bali. Dia kemudian diberi tambahan I Wayan (sebagai nomor urut anak pertama) di depan namanya. Di belakang I Wayan pun dilengkapi dengan Ceri---tidak lagi menggunakan Cerot. Sejak saat itu, bule Prancis ini dikenal masyarakat Desa Sangekatan dan sekitarnya dengan nama Wayan Ceri.

Setelah memeluk Hindu, Wayan Ceri kemudian membangun sanggah di tempat tinggalnya. Begitu tempat tinggalnya lengkap berisi kamar suci dan merajan, Wayan Ceri kemudian meenikahi kekasih hatinya, Ni Putu Devi Kurnia Dewi, 33, wanita asal Desa Pandak Gede, Kecamatan Kediri, Tabanan. Putu Dewi Kurnia resmi menjadi istri dari Wayan Ceri sejak akhir tahun 2014.

“Saya tak mau kawin nyentana (tinggal menetap dan jadi ahli waris di tempat istri). Saya kawin dengan mamadik (meminang),” cerita Wayan Ceri. Sejak menikahi Putu Dev Kurnia, Wayan Ceri masuk sebagai krama adat di Desa Pakraman Sangketan. Sebagai krama adat, dia juga kena ayah-ayahan dan pepeson sebagaimana mestinya.

Bule Prancis berusia 54 tahun ini ini mengaku bangga memeluk Hindu dan kawin dengan orang Bali yang beragama Hindu. “Demen atine (hatiku senang),” jelas Wayan Ceri yang selama 13 tahun getol belajar Bahasa Bali.

Wayan Ceri yang terkagum-kagum dengan suasana Desa Sangketan yang masih asri dengan kepolosan warganya, memutuskan ikut mabanjar adat di Desa Sangketan. Menurut Wayan Ceri, selama 26 tahun pengalamannya keliling dunia, sistem banjar di Bali yang paling oke sebagai sebuah komunitas sosial. Itu sebabnya, dia pilih ikut mabanjar, termasuk juga jadi krama subak, karena mengelola lahan sawah secara organik seluas 20 are.

“Saya juga diterima menjadi anggota subak. Saya suka budaya di sini yang masih asri, dengan tradisi yang kuat. Ini yang semakin memantapkan hati saya tinggal di Desa Sangketan,” jelas Wayan Ceri yang memiliki dua anak lelaki dari perkawinan pertamanya dengan wanita Prancis---sedangkan pernikahan dengan Putu Devi Kurnia belum dikaruniai sentana (anak).

Selain ikut mabanjar adat dan jadi krama subak, Wayan Ceri juga ngiring Ratu Gede Dalem Solo di Desa Pakraman Sangketan. Bahkan, Wayan Ceri paling sering ngayah nyunggi Ida Sesuhunan Ratu Gede Dalem Solo di Pura Dalem Solo, desa pakraman Sangketan. “Kalau ke pura dan Ratu Gede Dalem Solo tedun, bulu di tangan dan bulu kuduk saya berdiri. Saya pasrahkan hidup kepada Hyang Widhi,” papar Wayan Ceri.

Wayan Ceri memang paling sering katapak hingga mengalami trance (karauhan). Selain ngayah nyunggi Ida Ratu Gede Dalem Solo, Wayan Ceri juga tak pernah absen ngayah di Pura Luhur Tamba Waras dan pura-pura lainnya di wewidangan Desa Pakraman Sangketan. Soal ayah-ayah di puwaregan, Wayan Ceri mengaku terus belajar. “Nektek lawar biasa, nampah celeng milu (buat lawar sudah biasa, potong babi saya juga ikut, Red),” katanya dengan Bahasa Bali.

Saat ngayah adat di banjar manakala ada krama kelayu sekar (kematian), Wayan Ceri juga selalu ikut magebagan (begadang) di rumah duka. Dia ikut menyiapkan sarana upakara untuk dibawa ke setra. Termasuk juga ikut negen watang (usung keranda jenazah) ke setra. “Milu ke setra, mani mati apang maan banjar (saya ikut ngayah ke setra, ketika saya meninggal biar bisa seperti warga di sini),” katanya.

Wayan Ceri mengaku akan selalu belajar agar bisa beradaptasi, sehingga mudah berbaur dengan krama. Itu sebabnya, dia berupaya menggunakan bahasa Bali saat ngayah. “Jero Mangku, titiang bisa ngomong Bali bedik-bedik, ampurayang. Astungkara bisa (Jero Mangku, saya bisa berbahasa Bali sedikit-sedikit, mohon dimaklumi. Astungkara nantinya pasti bisa, Red),” kata Wayan Ceri saat ngendong (ngobrol) dengan Mangku Wayan Nantra di Palinggih Bawi, Pura Luhur Tamba Waras. * k21

Komentar