Umbu 'Presiden Malioboro' Landu Paranggi Tutup Usia
Sebelum Dilarikan ke RS, Mahaguru Penyair Sempat Bicara Sorga
DENPASAR, NusaBali
Indonesia kehilangan salah satu penyair legendaris, menyusul meninggalnya Umbu Landu Paranggi, 77, Selasa (6/4) dinihari pukul 03.55 Wita.
Mahaguru penyair yang dijuluki 'Presiden Malioboro' ini menghembuskan napas terakhir di RS Bali Mandara, Jalan Bypass Ngurah Rai 548 Sanur Kauh, Denpasar Selatan, setelah sempat tiga hari dirawat sejak Sabtu (3/4) sore.
Informasi di lapangan, Umbu Landu Paranggi---mahaguru penyair yang juga pengasuh Rubrik Budaya edisi Minggu di NusaBali---sempat disebut meninggal karena positif Covid-19. Namun sejurus kemudian, ada pelurusan informasi dari penyair Mira MM Astra Mira Antigone bahwa Umbu meninggal bukan karena Covid-19, melainkan akibat gagal ginjal. Menurut Mira, ini merupakan informasi yang didapatkan langsung dari dokternya.
“Memang selama masa pandemi ini, untuk sakit jenis apa pun, ditangani dengan prosedur Covid-19. Namun, Pak Umbu tidak menderita Covid-19, hasil tes negatif. Itu percakapan Mbak Mira dengan dokternya langsung,” ungkap penyair Warih Wisatsana dalam pesan WhatsApp, Selasa siang.
NusaBali mencoba konfirmasi perihal keterangan medis Umbu Landu Paranggi kepada Plt Direktur Utama RS Bali Mandara, dr Ketut Suarjaya MMPM. Sayangnya, ketika dikontak melalui telepon maupun pesan WA, Kadis Kesehatan Provinsi Bali tersebut tidak memberikan respons. NusaBali juga mencoba menghubungi Kasubbag Humas RS Bali Mandara, I Gusti Agung Putu Aditya Mahendra. Versi Aditya Mahendra, memang benar Umbu meninggal setelah terkonfirmasi positif Covid-19.
“Yang dapat saya sampaikan, Bapak Umbu meninggal setelah terkonfirmasi positif Covid-19. Beliau selama dua hari dirawat di ICU. Sekarang masih dititip di rumah sakit, karena menunggu persetujuan keluarga untuk dikremasi sesuai protokol Covid-19,” jelas Aditya Mahendra melalui panggilan WA.
Sementara, penyair Warih Wisatsana yang sejak pagi kemarin sudah terlihat di RS Bali Mandara, menuturkan kondisi Umbu diketahui drop, Sabtu pagi. Kala itu, Warih sempat menelepon Umbu. Warih menyadari dari suaranya Umbu, menandakan bahwa kondisi yang bersangkutan sedang tidak baik. Saat itu, Umbu juga terus berbicara tentang surga.
“Saya bahkan merekam percakapan itu. Di telepon, Umbu menyebut-nyebut surga. Dia bertanya, ‘Apakah sudah cukup tiga hari atau lima hari?’ Dari situ saya menyadari ada sesuatu," cerita Warih, yang merupakan salah satu sahabat dekat Umbu di Bali.
Maka, kata Warih, sore itu juga Umbu langsung dilarikan ke RS Bali Mandara oleh para sahabat baiknya. Bahkan, seniwati multitalenta Ni Putu Putri Suastini, yang notabene istri Gubernur Bali Wayan Koster, memberikan atensi khusus untuk perawatan Umbu selama di rumah sakit. Ny Putri Koster merupakan anak didik dari Umbu.
Menurut Warih, Umbu semasa hidupnya tidak pernah mengeluh sakit. Bahkan, sebelum kondisinya drop, mahaguru penyair berusia 77 tahun tersebut sempat menjalankan puasa pada Jumat Agung serangkaian Paskah. “Tidak pernah mengeluh, Umbu malah sempat puasa untuk Jumat Agung dan Paskah. Namun, kondisinya drop sehingga kami larikan ke rumah sakit,” katanya.
“Ya, karena faktor usia dan ada bawaan penyakit yang dulu pernah beliau sakit. Mungkin komplikasi. Nanti akan dibicarakan bersama bagaimana baiknya (upacara terakhir, Red). Sekarang masih menunggu anaknya datang dari Sumba,” lanjut Warih.
Sedangkan penyair Wayan Jengki Sunarta mengungkapkan, sebelum Umbu meninggal, pihak rumah sakit sempat mengabarkan akan melakukan penanganan pompa jantung. Namun, Jenki Sunarta mendengar kabar duka Umbu telah tiada.
Jengki Sunarta mengaku banyak teman-teman sastrawan yang datang ke RS Bali Mandara. Meski tidak bisa menjenguk langsung, para sahabat menunggu di lobi RS. “Memang sudah jalannya dan kami mengiklaskan. Pihak rumah sakit sudah berusaha semaksimal mungkin,” kata Jengki.
Soal sosok Umbu, baik Jengki maupun Warih sama-sama memiliki kenangan tersendiri. Menurut Warih, Umbu sebagai sosok yang mengajarkan seseorang menikmati hidup melalui pengalaman dan penghayatan. Umbu tidak langsung mengajarkan bagaimana menulis puisi, tapi mengajarinya bagaimana mengalami pengalaman hidup.
“Umbu mengatakan, dengan mengalami pengalaman yang senyatanya dan dengan penghayatan yang seperti itu, maka keindahan dan seni menjadi hidup. Dulu beliau seringkali mengajak saya jalan malam-malam di Pasar Kumbasari. Saat turun hujan, saya pun disuruh ikut hujan-hujanan. Kata beliau, ‘Warih, hayati hujan itu supaya kamu kuyup dengan hidup dan kehidupan. Hanya dengan itulah kamu mengalami keharuan yang mendalam’. Kata-kata itu masih saya ingat,” kenang Warih.
Dedikasi Umbu Landu Paranggi pada dunia sastra Indonesia, sungguh luar biasa. Umbu lahir di Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), 10 Agustus 1943. Sejak muda, dia meninggalkan kampung halamannya untuk mendalami dunia sastra dan seni budaya di Jogjakarta. Dia berkarya puisi sejak masih duduk di SMA BOPKRI (Badan Oesaha Pendidikan Kristen Republik Indonesia) Jogjakarta tahun 1960.
Umbu adalah pendiri Persada Studi Klub (PSK) Jogjakarta, juga membentuk ‘Komunitas Penyair Malioboro’ tahun 1970-an, hingga dijuluki ‘Presiden Malioboro’. Dari komunitas inilah lahir sastrawan seperti Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Linus Suryadi AG, Ragil Suwarno Pragolapati, hingga Ebiet G Ade---yang lebih dikenal sebagai penyanyi.
Tahun 1979, Umbu pindah ke Bali dan mengisi rubrik sastra di media cetak lokal Bali Post. Umbu melakukan pembinaan, pergi ke berbagai desa hingga ke banjar-banjar untuk apresiasi sastra terutama puisi. Umbu membuat semacam kompetisi di rubrik sastra itu, mulai dari kategori pawai, kompetisi, kompetisi promosi, hingga masuk halaman budaya.
“Peran Umbu sangat besar dalam menumbuhkan kehidupan kreatif penciptaan di Bali. Cara dia menyentuh setiap insan di dekatnya secara pribadi, dan intensitasnya mendorong seseorang itu berkreativitas, hingga penemuan diri. Umbu tak tergantikan,” kata Warih.
Boleh dikata, Umbu mengabdikan seluruh hidupnya untuk sastra. Semangat Umbu tak pernah padam untuk menumbuhkan semangat bersastra. Meski telah berusia senja, dia tetap semangat. Pada 7 November 2020, Umbu bersama Warih Wisatsana mendatangi Kantor Harian Umum NusaBali di Jalan Hayam Wuruk 110 Denpasar, berniat untuk membuka rubrik sastra agar para penyair di Indonesia bisa mengirimkan karyanya. Akhirnya, dibukalah Rubrik Budaya sepekan sekali di NusaBali mulai edisi Minggu, 6 Desember 2020, diawali dengan sajian sajak-saja karya penyair Wayan Jengki Sunarta.
Warih Wisatsana sebagai asisten Umbu mengakui antusiasme para penyair datang dari seluruh Indonesia untuk menampilkan karyanya di NusaBali. “Karena Umbu menumbuhkan semangat-semangat bersastra itu, para penyair dari seluruh Indonesia sangat banyak mengirimkan karyanya untuk bisa dimuat di NusaBali. Mereka juga bahkan rela tidak dibayar. Ini menunjukkan keberadaan Umbu sangat dihormati,” kata Warih sembari mengatakan ingin rubrik sastra di NusaBali terus berlanjut.
Sebaliknya, Jengki Sunarta selaku anak didiknya, menilai Umbu adalah sosok yang unik. Kadangkala, Umbu terkesan dingin bila berhadapan dengan orang yang baru dikenalnya. Namun di balik itu semua, Umbu adalah sosok pemerhati yang hangat. Menurut Jengki, Umbu memiliki cara-cara tak terduga untuk memotivasi anak didiknya.
“Kadangkala, Umbu datang membawa sejumlah buku puisi sebagai kado ulang tahun calon penyair itu. Pada kesempatan lain, dia datang hanya untuk mengajak calon-calon penyair main kartu dan makan pisang rebus,” kenang Jengki.
Selain itu, lanjut Jengki, Umbu juga sosok yang misterius, sulit ditemui dan dilacak jejaknya. Jengki tahu jika Umbu seringkali menghilang jika ada tamu istimewa yang mencarinya. Bahkan, Emha Ainun Najib alias Cak Nun, murid kesayangan Umbu, juga beberapa kali gagal bertemu dengan gurunya itu. “Pertemuan akan terjadi hanya karena dua sebab: Umbu memang ingin bertemu atau Umbu dijebak,” cerita Jengki.
Sebagai seorang maestro penyair, Umbu Landu Paranggi telah memperoleh berbagai penghargaan. Terakhir, Umbu sabet penghargaan Anugerah Kebudayaan Nasional 2020 kategori ‘Pencipta, Pelopor, dan Pembaru’. Penghargaan tersebut diserahkan oleh Kepala Kelompok Kerja Apresiasi Kebudayaan Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Arifin, di Samsara Living Museum kawasan Banjar Yeh Bunga, Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem, Karangasem, 15 Desember 2020 lalu.
Sementara itu, hingga tadi malam belum diputuskan bagaimana rencana pemakaman jenazah Umbu Landu Paranggi. Putra almarhum, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi, telah tiba di RS Bali Mandara kemarin petang pukul 18.00 Wita, setelah terbang dari Sumba Timur.
“Hari ini (kemarin) baru anak laki-lakinya yang datang. Sedangkan besok (hari ini) akan datang anak perempuan dan menantu dari Pak Umbu. Makanya, sampai sekarang belum ada keputusan. Tapi, kami tetap ikut prosedur rumah sakit,” tandas Warih Wisatsana. *ind
1
Komentar