Putu Supartika: Mereka Bisa, Kenapa Saya Tidak?
Teruna yang satu ini sangat aktif menulis sastra Bali modern (SBM), baik puisi maupun cerita pendek. Kegemarannya menulis berawal dari hobi membaca cerpen dan puisi berbahasa Bali yang dimuat media massa.
DENPASAR, NusaBali
Saat berjumpa pengarang, ia termotivasi untuk menulis. Saking seringnya baca karya sastra, ia lalu berpikiran kenapa hanya membaca saja tanpa mencoba menulis seperti karya yang dibaca. Maka pada tahun 2010 semasa duduk di bangku kelas II SMAN 1 Manggis, Karangasem, mulailah Putu Supartika, 21, menulis SBM dan mengirimkannya ke media massa baik koran maupun majalah.
Betapa senangnya ia ketika itu, tatkala puisi maupun cerpennya dimuat di koran maupun majalah. “Susah mendiskripsikan betapa senangnya perasaan ketika karya saya terbit di koran. Luar biasa,” ungkap mahasiswa jurusan Matematika Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja ini, Sabtu (28/11). Teruna kelahiran 16 Juni 1994 ini mengaku termotivasi menulis karena ingin seperti pengarang-pengarang yang telah bernama. “Mereka bisa, kenapa saya tidak. Tak ada salahnya saya mencoba dan belajar,” tandas teruna asal Kecamatan Manggis ini. Ia pun pernah didaulat menjadi pembicara dan baca puisi di acara Bali Emerging Writers Festival di Denpasar.
Ia pun mengaku dapat dukungan dari orangtuanya untuk tekun di SBM. Terbukti saat pulang, ia sering ditanyakan seputar SBM oleh orangtuanya. “Putu, nu nulis cepen ke koran (Putu, apakah masih menulis cerpen dan kirimkan ke koran)?” kenang Supartika akan pertanyaan orangtuanya. Semangat itu pula yang membuatnya terus menulis. Mulai banyak punya naskah, Supartika pun membukukan karyanya.
Ia harus bersabar mewujudkan keinginan punya buku, karena tak mungkin minta uang saku untuk terbitkan buku pada orangtuanya. “Syukurlah ada honor dari tulisan yang saya kirim ke media. Saya cetak terbatas, menyesuaikan dana yang ada,” ungkap Supartika. Sulung dari pasangan suami istri I Wayan Kerti dan Ni Luh Suweca ini punya target setahun sekali terbitkan satu buku. Meski sadar betapa susahnya jualan buku, namun mahasiswa semester 7 ini tetap semangat berkarya dan menerbitkan buku.
Sejauh ini, Supartika telah menerbitkan dua buku, Yen Tiang Dadi Presiden (Kalau Saya Jadi Presiden) berupa kumpulan cerpen pada tahun 2014 dan Lelakut (Orang-orangan sawah), kumpulan puisi Bali pada tahun 2015. Meski buku pertama belum balik modal, tak menyurutkan niatnya terbitkan buku kedua. Ia pun mensyukuri, penerbitan buku kedua mendapat bantuan dana dari Sanggar Buratwangi. Ia pun berharap, ada apresisasi dari masyarakat dengan membeli buku SBM untuk terus menjaga sastra Bali modern tetap bersinar.
1
Komentar