Galungan, Kemenangan yang Pernah Diabaikan Raja
SESUAI prasasti Blanjong, Sanur, perayaan Galungan di Bali diperkirakan bermula pada abad ke-8, saat pengusaan Raja Sri Kesari Warmadewa.
DANPASAR, NusaBali
Namun demikian pernah suatu masa Galungan tidak dirayakan, sekitar abad ke -11, pada masa pemerintahan Raja Sri Ekadanadi. Entah sampai berapa lama waktu Galungan tidak dirayakan. Baru sekitar tahun 1.126 Saka, Galungan kembali dirayakan.
Perayaan itu setelah Raja Sri Jaya Kasunu mendapat anugerah dari Bathari Durga. Kurang lebih pawisik atau anugerah tersebut adalah; rayakan Galungan dan pasang penjor, niscaya rakyat akan sentosa dan raja akan dirgayusa.
“Karena anugerah dari Bathari Durga, maka Galungan juga indentik dengan Durga Puja,” ujar I Gusti Made Agus Susana, Ketua Widya Sabha Kabupaten Gianyar, mengutip susastra tentang Galungan.
Kenapa Durga Puja, karena didasarkan anugerah yang diterima Raja Sri Jaya Kasunu dari Ida Bathari Durga di Setra Gandamayu. Raja dan rakyat Bali akan sejahtera jika merayakan Galungan disertai mamenjor. Diperkirakan peristiwa itu terjadi pada tahun 1126 Saka. “Setra Gandamayu tersebut diperkirakan di sekitar Gunung Tohlangkir,” ujarnya.
Lanjut Gusti Agus Susana, ada sejumlah lontar tentang tentang Galungan, yakni Lontar Sri Jaya Kasunu, Sunarigama, dan Lontar Glagah Puwun. Dari beberapa sumber lontar itu, Galungan dipilah jadi 3. Pertama, Galungan Sekar, yakni Buda Kliwon Dungulan. Kedua, Galungan Naramangsa. Penentuan Galungan Naramangsa inilah ada perbedaan. Galungan Naramangsa adalah Galungan yang disertai atau bertepatan dengan Tilem. Mengacu lontar Sri Jayakasunu, Buda Kliwon Dungulan bertepatan dengan Tilem disebut Galungan Naramangsa.
Sedangkan, berdasarkan Lontar Sunarigama, Buda Kliwon Dungulan tibening (bertepatan) tilem pada bilangan rah sia (sembilan), tenggek sia, barulah disebut Galungan Naramangsa. “Walau Galungan jatuh pada tilem, namun jika bilangan satuan dan puluhannya bukan 9 tidak disebut Galungan Naramangsa,” jelasnya.
Jika mengacu lontar Glagah Puwun, Wuku Dungulan (dalang rentang waktu dari Redite/Minggu sampai Sanisacara/Sabtu) tibening tilem kapitu atau kasanga, naramangsa ngaran.
Namun dari ketiganya berkonsep sama, yakni tan wenang ngagalung, apan dewata muneb, bhuta temedun wenang macaru. ”Rakalaning narawangsa tan wenang ngagalung,” kutip Gusti Agus Susana. Intinya tidak ngunggahan, mempersembahkan Tumpeng Guru.
Jika demikian apakah tidak boleh magalung? ‘’Boleh. Memenjor juga boleh,’’ jelasnya. Hanya saja, ngungahang Banten Guru tidak di palinggih Rong Tiga. Karena itu lah Tumpeng Guru inti yadnya pada Galungan. Selain itu yang sudah lumrah adalah Galungan Nadi, yakni Galungan yang jatuh bertepatan dengan Purnama. *nata
Namun demikian pernah suatu masa Galungan tidak dirayakan, sekitar abad ke -11, pada masa pemerintahan Raja Sri Ekadanadi. Entah sampai berapa lama waktu Galungan tidak dirayakan. Baru sekitar tahun 1.126 Saka, Galungan kembali dirayakan.
Perayaan itu setelah Raja Sri Jaya Kasunu mendapat anugerah dari Bathari Durga. Kurang lebih pawisik atau anugerah tersebut adalah; rayakan Galungan dan pasang penjor, niscaya rakyat akan sentosa dan raja akan dirgayusa.
“Karena anugerah dari Bathari Durga, maka Galungan juga indentik dengan Durga Puja,” ujar I Gusti Made Agus Susana, Ketua Widya Sabha Kabupaten Gianyar, mengutip susastra tentang Galungan.
Kenapa Durga Puja, karena didasarkan anugerah yang diterima Raja Sri Jaya Kasunu dari Ida Bathari Durga di Setra Gandamayu. Raja dan rakyat Bali akan sejahtera jika merayakan Galungan disertai mamenjor. Diperkirakan peristiwa itu terjadi pada tahun 1126 Saka. “Setra Gandamayu tersebut diperkirakan di sekitar Gunung Tohlangkir,” ujarnya.
Lanjut Gusti Agus Susana, ada sejumlah lontar tentang tentang Galungan, yakni Lontar Sri Jaya Kasunu, Sunarigama, dan Lontar Glagah Puwun. Dari beberapa sumber lontar itu, Galungan dipilah jadi 3. Pertama, Galungan Sekar, yakni Buda Kliwon Dungulan. Kedua, Galungan Naramangsa. Penentuan Galungan Naramangsa inilah ada perbedaan. Galungan Naramangsa adalah Galungan yang disertai atau bertepatan dengan Tilem. Mengacu lontar Sri Jayakasunu, Buda Kliwon Dungulan bertepatan dengan Tilem disebut Galungan Naramangsa.
Sedangkan, berdasarkan Lontar Sunarigama, Buda Kliwon Dungulan tibening (bertepatan) tilem pada bilangan rah sia (sembilan), tenggek sia, barulah disebut Galungan Naramangsa. “Walau Galungan jatuh pada tilem, namun jika bilangan satuan dan puluhannya bukan 9 tidak disebut Galungan Naramangsa,” jelasnya.
Jika mengacu lontar Glagah Puwun, Wuku Dungulan (dalang rentang waktu dari Redite/Minggu sampai Sanisacara/Sabtu) tibening tilem kapitu atau kasanga, naramangsa ngaran.
Namun dari ketiganya berkonsep sama, yakni tan wenang ngagalung, apan dewata muneb, bhuta temedun wenang macaru. ”Rakalaning narawangsa tan wenang ngagalung,” kutip Gusti Agus Susana. Intinya tidak ngunggahan, mempersembahkan Tumpeng Guru.
Jika demikian apakah tidak boleh magalung? ‘’Boleh. Memenjor juga boleh,’’ jelasnya. Hanya saja, ngungahang Banten Guru tidak di palinggih Rong Tiga. Karena itu lah Tumpeng Guru inti yadnya pada Galungan. Selain itu yang sudah lumrah adalah Galungan Nadi, yakni Galungan yang jatuh bertepatan dengan Purnama. *nata
1
Komentar