Leluhur Penyair Bali
Patut direnungkan dalam-dalam, tak mudah memperoleh jawaban, mengapa Bali sering dikunjungi banyak orang hebat, manusia pintar dan terkenal, sejak berbad-abad silam.
Jika sekarang orang-orang datang untuk bersenang-senang atau berdagang, tapi dulu, ratusan tahun silam, untuk apa mereka ke Bali?
Mpu Kuturan, sering disebut-sebut Senapati Kuturan, datang dari Jawa mengunjungi Bali pada abad ke-10, tatkala Bali diperintah oleh dinasti raja-raja Bali Kuno. Ia kemudian menata kehidupan sosial, menderaskan kebersamaan, agar masyarakat hidup tenteram, yang bertahan hingga kini menjadi suluh hidup sehari-hari orang Bali bersama kerabat dan lingkungannya.
Danghyang Nirartha, pada abad ke-16 berkelana mengunjungi sudut-sudut Bali, membangun peradaban baru yang hingga kini tetap dengan teguh dilaksanakan oleh keturunan dan murid-muridnya, menjadi tradisi acuan masyarakat melaksanakan kehidupan beragama.
Di zaman kolonial, Bali semakin terbuka, kian banyak orang-orang pintar, manusia-manusia hebat, datang. Tahun 1929, seorang warga Amsterdam menjejakkan jiwa-raga di Bali. Lelaki itu, Rudolf Bonnet (1895-1975) putera pedagang roti, bertemu Walter Spies (1895-1942) berkebangsaan Jerman, kelahiran Moskwa, yang datang lebih dulu. Mereka menetap di Ubud, mendidik dan memberi pengaruh pada pelukis-pelukis setempat.
Banyak pelukis berguru pada Bonnet, menimba teknik menggambar dengan tema keseharian: panen padi, menggembala ternak, kegiatan di pasar, atau kesibukan penari menjelang pentas di bawah rimbun pohon, di tepi hamparan sawah.
Anak Agung Gde Sobrat (1912-1992) dan Ida Bagus Made Poleng (1915-1999) menjadi murid terpenting Bonnet yang menyerap gaya seni lukis renaisans dari abad pertengahan di Eropa. Bersama Walter Spies dan raja Ubud Tjokorda Gde Agung Sukawati (1910-1978) mereka membentuk paguyuban pelukis Pita Maha. Pendirian Museum Puri Lukisan Ubud yang masih tegak hingga kini adalah berkat peran penting Bonnet.
Spies malah lebih dikenal sebagai etnomusikolog yang mengembangkan seni kolosal cak di Bedulu, Gianyar, bersama Wayan Limbak (meninggal 2003), yang kini dikenal sebagai seni pertunjukan sejagat, menjadi ikon Bali. Para pendatang ini, seperti juga Arie Smith (1916-2016) yang mengajak anak-anak di Ubud untuk melukis dengan guyuran meriah warna-warni – kemudian dikenal sebagai gaya young artis, adalah sosok-sosok yang memperkaya peradaban Bali.
Kuturan, Nirartha, Bonnet, Spies, Arie Smith, adalah tokoh-tokoh yang berjasa menjadikan Bali sebagai mercusuar unik kebudayaan dunia. Pemberian itu menjadi pegangan hidup, juga penghasilan, kecemerlangan dan kemuliaan turun temurun. Gaya lukisan yang diajarkan Bonnet atau young artis, laris dijual di pasar seni, memberi penghidupan bagi orang Bali.
Sosok pendidik dan berpengaruh selalu hadir di Bali kendati zaman berganti. Datang kemudian Umbu Landu Paranggi (1943 - 2021), yang menjadi guru pecinta dan penekun puisi.
Para penyair murid Umbu ini kemudian menjadi guru penyair berikutnya. Seperti Bonnet dan Arie yang menghasilkan pelukis-pelukis berkaliber, Umbu juga melahirkan penyair-penyair bergengsi, dan memberi warna penting pada perkembangan kesusastraan di Tanah Air.
Pengaruh daya ungkap Umbu kentara melekat pada rasa dan suasana karya-karya bimbingannya. Ia gemar mengulang-ulang frase untuk membangun kekuatan diksi. Dalam percakapan sehari-hari pun Umbu gemar mengulang kata, seperti “janganlah kita menggawat-gawatkan peran”. Atau “mengganggu-ganggu diri”, “menggali-gali tradisi”, sebagai upaya agar seseorang selalu terjaga di ranah kreativitas.
Sekian penyair asuhannya tak bisa mengelak dari pengaruh ini, karena mereka menyukainya, seperti kita nikmati dalam sajak “Upacara XXXVII”: beruas-ruas bambu tuak/ tuang-tuang tualang gelegak/ bergaung parang perang tenggak ke puncak. Atau dalam sajak “Syair Rajer Babat” dimanamana kau bongkar rindumu/kemanamana kau tembakkan lagu. Repitisi seperti ini melimpah dalam sajak-sajak Umbu, juga muncul dalam “Upacara XXII”: kutulis nyawamu/ senyawa nyawaku.
Jika ada yang sudi menelaah pengaruh Umbu, bisa jadi akan bertemu benang merah gaya penyampaian dan tenaga ungkap dalam karya anak asuhnya. Dia editor koran, sehingga sajak-sajak yang dipilih untuk dimuat adalah puisi-puisi yang tak beranjak jauh dari seleranya. Lima puluh atau seratus tahun lagi mungkin ada yang menemukan nafas atau sindrom umbuisme pada sekian puisi karya penyair Bali. Diam-diam, orang-orang akan mengakui, Umbu Landu Paranggi adalah leluhur para penyair Bali.
Jadi, mari renungkan dalam-dalam, mengapa para pengelana itu: Kuturan, Nirartha, Spies, Bonnet, Arie, Umbu, tergiur mengunjungi Bali, tergoda bermukim di pulau ini, mengubah dan mengembangkan peradaban sekala dan niskala, kemudian menjadi kawitan penghuninya. Siapa menyusul? *
Aryantha Soethama
1
Komentar