Tempat Melukat Khusus untuk Sembuhkan Anak yang Terlambat Bicara
Pura Sang Hyang Iswara di Banjar Gegadon, Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung
Palinggih di Pura Sang Hyang Iswara merupakan haturan dari seorang dokter spesialis kandungan, yang naur sesangi setelah anaknya tersembuhkan dan lancar berbicara pasca malukat di sini.
MANGUPURA, NusaBali
Pura Sang Hyang Iswara di Banjar Gegadon, Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung termasuk salah satu tempat suci untuk mohon berkah kesembuhan. Pura ini dipercaya sebagai tempat malukat yang ampuh untuk memohon kesembuhan bagi anak-anak yang mengalami keterlambatan bicara.
Pura Sang Hyang Iswara berlokasi di pinggir jalan dekat Pertigaan Jalan Menuh-Jalan Bukit Tinggi-Jalan Siulan Banjar Gegadon, Desa Adat Kapal. Untuk bisa menjangkau pura ini, bisa melalui Jalan Raya Kapal sebelah barat RSD Mangusada atau dari Desa Kekeran, Kecamatan Mengwi.
Sepintas, Pura Sang Hyang Iswara terlihat biasa saja, seperti pura umumnya di Bali. Namun, pura yang diempon krama Banjar Adat Gegadon ini begitu sidhi, karena banyak yang telah terbukti mengalami perubahan ke arah yang lebih baik pasca mohon berkah di sini.
Kelian Adat Banjar Gegadon, I Ketut Suta, mengungkapkan tidak ada sejarah tertulis tentang keberadaan Pura Sang Hyang Iswara. Berdasarkan cerita para tetua yang diwariskan secara turun temurun, dulunya lokasi pura ini merupakan temuku atau tempat pembagian air untuk subak. Sebelum dikenal sebagai Pura Sang Hyang Iswara, tempat dulunya bernama Temuku Telu.
“Disebut Temuku Telu, agar memudahkan orang untuk berkomunikasi dan memberikan informasi tentang pembagian air subak. Tapi, saat itu sudah ada keyakinan bahwa kalau anak-anak telat bicara, begitu malukat (mandi suci) di tempat ini, dipercaya bisa diberi jalan (bisa bicara, Red) oleh Ida yang bersthana di sini. Hanya saja, hal itu baru diketahui oleh krama di Banjar Gegadon saja,” ungkap Ketut Suta saat ditemui NusaBali di Pura Sang Hyang Iswara, beberapa hari lalu.
Lambat laun, kata Ketut Suta, informasi soal tuah malukat di Pura Sang Hyang Iswara ini menyebar hingga ke luar Banjar Gegadon, Desa Adat Kapal. Setahu Ketut Suta, ada krama dari Negara, Kabupaten Jembrana yang malukat ke tempat ini tahun 1960-an. Kemudian, karena informasi dari mulut ke mulut, akhirnya krama yang tangkil ke pura ini hampir dari seluruh Bali. Padahal, dulunya sama sekali tidak ada palinggih (bangunan suci) di tempat ini.
“Dulu cuma ada jalan setapak saja menuju tempat ini. Saya tidak tahu sejak kapan terkenalnya tempat ini. Tapi, era 1960-an saat saya umur 8 tahun, saya sudah melihat ada orang dari luar tangkil ke sini. Padahal, dulu tidak ada jalan seperti sekarang, palinggih juga tidak ada. Hanya ada aliran air kecil saat itu,” kenang Ketut Suta.
Menurut Ketut Suta, ada cerita tersendiri di balik berdirinya Pura Sang Hyang Iswara seperti yang bisa dilihat sekarang. Palinggih Sang Hyang Iswara yang berdiri tegak di pura ini adalah haturan dari seorang dokter yang naur sesangi (bayar kaul). Sebelum ada palinggih tersebut, krama Banjar Gegadon hanya membuatkan sebuah tepas saja untuk tempat menghaturkan banten.
Nah, suatu ketika, seorang dokter spesialis kandungan datang ke tempat ini untuk memohon berkah agar anaknya bisa bicara. “Saya kurang tahu dokter itu berasal dari mana. Tapi, tempat prakteknya di Kediri, Tabanan. Entah dari mana dapat informasi, beliau tangkil ke Temuku Telu ini sambil masesangi (berkaul) jika kelak anaknya bisa bicara sesuai harapan, dia sanggup ngaturang palinggih dan kelengkapan lainnya,” cerita Ketut Suta.
Ternyata, permohonan sang dokter terkabulkan, di mana anaknya bisa bicara setelah malukat di lokasi Pura Sang Hyang Iswara ini. Dojter tersebut pun naur sesangi menghaturkan palinggih. “Palinggih Sang Hyang Iswara ini berdiri sekitar tahun 2002,” katanya.
Setelah berdiri palinggih, Pura Sang Hyang Iswara kian ramai dikunjungi pamedek. Menurut Ketut Suta, mereka yang tangkil tidak hanya dari Bali, tapi juga banyak asal luar Bali. Tak jarang umat non Hindu tangkil ke pura ini karena mendengar cerita banyak anak yang bisa bicara setelah malukat di sini.
“Umat non Hindu minta izin, apa mereka boleh ikut memohon berkah di Palinggih Sang Hyang Iswara, supaya anaknya yang terlambat bicara bisa lancar ngomong. Saya bilang apa adanya saja. Tuhan hanya satu, jadi silakan memohonnya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Yakinkan tempat ini bisa memberikan anugerah, silakan saja,” beber Ketut Suta.
Sepengamatan Ketut Suta, anak-anak yang diajak orangtuanya malukat di Pura Sang Hyang Iswara agar lancar bicara, biasanya berusia kisaran 2-5 tahun. Kadangkala ada pula orang yang sudah teruna (remaja) tangkil mohon berkah agar bisa berbicara.
“Ada yang hanya sekali malukat sudah langsung mengalami perubahan. Namun, ada pula yang harus bersabar hingga beberapa kali datang untuk melakat, baru terwujud harapannya. Semua itu berpulang pada kehendak-Nya, kesabaran. dan ketulusan hati masing-masing pemedek,” katanya.
“Kami mohon ampura, tidak bermaksud untuk mendahului Beliau. Tapi, kami lihat berdasarkan kenyataan, banyak yang sudah pasrah karena berobat ke mana-mana, sampai akhirnya malukat di Pelinggih Sang Hyang Iswara ini. Meski beberapa kali datang melukat, mereka tetap sabar. Karena mereka sudah merasakan perubahan sedikit demi sedikit,” terang Ketut Suta sembari menyebut banyak pamedek naur sesangi berupa pajeng, wastra, dan kelengkapan pura lainnya.
Ketut Suta menyebutkan, ritual panglukatan di Pura Sang Hyang Iswara dilakukan 15 hari sekali pada rahina Kajeng Kliwon. Sedangkan piodalan di Pura Sang Hyang Iswara dilaksanakan 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pas Tumpek Kuningan pada Saniscara Kliwon Kuningan.
Karena sudah begitu dikenal luas, saat rahina Kajeng Kliwon Pura Sang Hyang Iswara biasanya rampai didatangi umat sejak pagi hingga malam. Jika situasi krodit karena pamedek membludak, semua pamangku di Banjar Gegadon, Desa Adat Kapal dilibatkan untuk melayani mereka.
“Pura Sang Hyang Iswara belum memiliki pamangku sendiri. Untuk yang melayani pangelukatan di sini adalah para pamangku yang ada di Banjar Gegadon. Kami punya 12 pamangku lanang-istri, ngayahnya diatur oleh Paiketan Pamangku,” tegas Ketut Suta.
Menurut Ketut Suta, pihaknya tidak bisa membatasi umat yang tangkil ke Pura Sang Hyang Iswara. Dalam situasi pandemi Covid-19 ini, pihaknya hanya bisa mengatur pangelukatan dibatasi maksimal 20 orang per sesi. Selain itu, pamedek juga diminta untuk menerapkan protokol kesehatan, sementara waktu panglutakan dibatasi hingga malam pukul 21.00 Wita. *ind
Pura Sang Hyang Iswara berlokasi di pinggir jalan dekat Pertigaan Jalan Menuh-Jalan Bukit Tinggi-Jalan Siulan Banjar Gegadon, Desa Adat Kapal. Untuk bisa menjangkau pura ini, bisa melalui Jalan Raya Kapal sebelah barat RSD Mangusada atau dari Desa Kekeran, Kecamatan Mengwi.
Sepintas, Pura Sang Hyang Iswara terlihat biasa saja, seperti pura umumnya di Bali. Namun, pura yang diempon krama Banjar Adat Gegadon ini begitu sidhi, karena banyak yang telah terbukti mengalami perubahan ke arah yang lebih baik pasca mohon berkah di sini.
Kelian Adat Banjar Gegadon, I Ketut Suta, mengungkapkan tidak ada sejarah tertulis tentang keberadaan Pura Sang Hyang Iswara. Berdasarkan cerita para tetua yang diwariskan secara turun temurun, dulunya lokasi pura ini merupakan temuku atau tempat pembagian air untuk subak. Sebelum dikenal sebagai Pura Sang Hyang Iswara, tempat dulunya bernama Temuku Telu.
“Disebut Temuku Telu, agar memudahkan orang untuk berkomunikasi dan memberikan informasi tentang pembagian air subak. Tapi, saat itu sudah ada keyakinan bahwa kalau anak-anak telat bicara, begitu malukat (mandi suci) di tempat ini, dipercaya bisa diberi jalan (bisa bicara, Red) oleh Ida yang bersthana di sini. Hanya saja, hal itu baru diketahui oleh krama di Banjar Gegadon saja,” ungkap Ketut Suta saat ditemui NusaBali di Pura Sang Hyang Iswara, beberapa hari lalu.
Lambat laun, kata Ketut Suta, informasi soal tuah malukat di Pura Sang Hyang Iswara ini menyebar hingga ke luar Banjar Gegadon, Desa Adat Kapal. Setahu Ketut Suta, ada krama dari Negara, Kabupaten Jembrana yang malukat ke tempat ini tahun 1960-an. Kemudian, karena informasi dari mulut ke mulut, akhirnya krama yang tangkil ke pura ini hampir dari seluruh Bali. Padahal, dulunya sama sekali tidak ada palinggih (bangunan suci) di tempat ini.
“Dulu cuma ada jalan setapak saja menuju tempat ini. Saya tidak tahu sejak kapan terkenalnya tempat ini. Tapi, era 1960-an saat saya umur 8 tahun, saya sudah melihat ada orang dari luar tangkil ke sini. Padahal, dulu tidak ada jalan seperti sekarang, palinggih juga tidak ada. Hanya ada aliran air kecil saat itu,” kenang Ketut Suta.
Menurut Ketut Suta, ada cerita tersendiri di balik berdirinya Pura Sang Hyang Iswara seperti yang bisa dilihat sekarang. Palinggih Sang Hyang Iswara yang berdiri tegak di pura ini adalah haturan dari seorang dokter yang naur sesangi (bayar kaul). Sebelum ada palinggih tersebut, krama Banjar Gegadon hanya membuatkan sebuah tepas saja untuk tempat menghaturkan banten.
Nah, suatu ketika, seorang dokter spesialis kandungan datang ke tempat ini untuk memohon berkah agar anaknya bisa bicara. “Saya kurang tahu dokter itu berasal dari mana. Tapi, tempat prakteknya di Kediri, Tabanan. Entah dari mana dapat informasi, beliau tangkil ke Temuku Telu ini sambil masesangi (berkaul) jika kelak anaknya bisa bicara sesuai harapan, dia sanggup ngaturang palinggih dan kelengkapan lainnya,” cerita Ketut Suta.
Ternyata, permohonan sang dokter terkabulkan, di mana anaknya bisa bicara setelah malukat di lokasi Pura Sang Hyang Iswara ini. Dojter tersebut pun naur sesangi menghaturkan palinggih. “Palinggih Sang Hyang Iswara ini berdiri sekitar tahun 2002,” katanya.
Setelah berdiri palinggih, Pura Sang Hyang Iswara kian ramai dikunjungi pamedek. Menurut Ketut Suta, mereka yang tangkil tidak hanya dari Bali, tapi juga banyak asal luar Bali. Tak jarang umat non Hindu tangkil ke pura ini karena mendengar cerita banyak anak yang bisa bicara setelah malukat di sini.
“Umat non Hindu minta izin, apa mereka boleh ikut memohon berkah di Palinggih Sang Hyang Iswara, supaya anaknya yang terlambat bicara bisa lancar ngomong. Saya bilang apa adanya saja. Tuhan hanya satu, jadi silakan memohonnya sesuai dengan keyakinan masing-masing. Yakinkan tempat ini bisa memberikan anugerah, silakan saja,” beber Ketut Suta.
Sepengamatan Ketut Suta, anak-anak yang diajak orangtuanya malukat di Pura Sang Hyang Iswara agar lancar bicara, biasanya berusia kisaran 2-5 tahun. Kadangkala ada pula orang yang sudah teruna (remaja) tangkil mohon berkah agar bisa berbicara.
“Ada yang hanya sekali malukat sudah langsung mengalami perubahan. Namun, ada pula yang harus bersabar hingga beberapa kali datang untuk melakat, baru terwujud harapannya. Semua itu berpulang pada kehendak-Nya, kesabaran. dan ketulusan hati masing-masing pemedek,” katanya.
“Kami mohon ampura, tidak bermaksud untuk mendahului Beliau. Tapi, kami lihat berdasarkan kenyataan, banyak yang sudah pasrah karena berobat ke mana-mana, sampai akhirnya malukat di Pelinggih Sang Hyang Iswara ini. Meski beberapa kali datang melukat, mereka tetap sabar. Karena mereka sudah merasakan perubahan sedikit demi sedikit,” terang Ketut Suta sembari menyebut banyak pamedek naur sesangi berupa pajeng, wastra, dan kelengkapan pura lainnya.
Ketut Suta menyebutkan, ritual panglukatan di Pura Sang Hyang Iswara dilakukan 15 hari sekali pada rahina Kajeng Kliwon. Sedangkan piodalan di Pura Sang Hyang Iswara dilaksanakan 6 bulan sekali (210 hari sistem penanggalan Bali) pas Tumpek Kuningan pada Saniscara Kliwon Kuningan.
Karena sudah begitu dikenal luas, saat rahina Kajeng Kliwon Pura Sang Hyang Iswara biasanya rampai didatangi umat sejak pagi hingga malam. Jika situasi krodit karena pamedek membludak, semua pamangku di Banjar Gegadon, Desa Adat Kapal dilibatkan untuk melayani mereka.
“Pura Sang Hyang Iswara belum memiliki pamangku sendiri. Untuk yang melayani pangelukatan di sini adalah para pamangku yang ada di Banjar Gegadon. Kami punya 12 pamangku lanang-istri, ngayahnya diatur oleh Paiketan Pamangku,” tegas Ketut Suta.
Menurut Ketut Suta, pihaknya tidak bisa membatasi umat yang tangkil ke Pura Sang Hyang Iswara. Dalam situasi pandemi Covid-19 ini, pihaknya hanya bisa mengatur pangelukatan dibatasi maksimal 20 orang per sesi. Selain itu, pamedek juga diminta untuk menerapkan protokol kesehatan, sementara waktu panglutakan dibatasi hingga malam pukul 21.00 Wita. *ind
Komentar