MUTIARA WEDA : Dari Pemain Menjadi Penonton
Engkau bukan tanah, bukan air, bukan api, bukan udara dan juga bukan ruang. Untuk mencapai kebebasan, engkau harus mengetahui Sang Diri sebagai ‘saksi’ atas semua ini – perwujudan dari Kesadaran Murni itu sendiri.
Na prthivi na jalam nāgnirna vāyur-dyaurna vā bhavān,
Esām sāksinam-ātmānam cid-rupam vidhi muktaye.
(Astavakra Gita, I.3)
Sering kita mendengar bahwa hidup harus diperjuangkan, sebab hidup itu susah. Banyak orang desa merantau ke kota hanya untuk memperjuangkan hidup. Demikian juga banyak orang yang pindah ke daerah lain, bahkan keluar negeri hanya untuk memperjuangkan hidup. Setelah di rantauan, mereka harus banting-tulang siang-malam tanpa kenal lelah. Banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Banyak air mata yang harus dicucurkan untuk menelan deritanya. Dengan kondisinya masing-masing mereka memasuki medan yang berbeda.
Dari perjuangan itu, capaian hasil mereka bervariasi satu dengan yang lainnya. Pertama, ada dari mereka yang meskipun telah siang malam bekerja, sepanjang perjuangannya hanya mampu meraih sebatas pemenuhan kebutuhan dasar, cukup makan, pakaian, dan rumah seadanya. Perjuangan untuk perbaikan hidup baginya serasa kandas. Derita awal tidak jauh berbeda dengan derita akhir. Kedua, sebagian telah mampu meningkatkan hidupnya menjadi lebih baik, makan sangat berkecukupan, rumah mewah, memiliki mobil, sukses menjalankan beberapa usaha dan yang lainnya. Derita awal tampak mengalami perubahan. Ketiga, ada juga dari mereka yang hidupnya telah bergelimang, perubahannya telah nampak signifikan jika dibandingkan dengan kondisi awal, namun derita yang dirasakan tidak jauh berbeda dari awal. Dia merasakan bahwa saat miskin menderita, demikian juga saat kaya tambah menderita. Kekayaan yang diperolehnya tidak mampu mengubah derita awal. Hanya bentuk deritanya yang mereka lihat berubah, tetapi rasa derita itu sendiri sama.
Orang pertama dan kedua sangat umum terjadi, sementara orang ketiga bahkan lebih sangat umum. Namun meskipun demikian, orang pertama dan kedua tidak perlu penanganan khusus, sebab mereka hanya memerlukan strategi bagaimana untuk tetap mempertahankan dan jika bisa, menambah kekayaannya agar derita awal berubah menjadi lebih baik. Orang ketigalah yang memerlukan penanganan super spesialis. Jenis penanganan yang diberikan mungkin ada dua. Pertama, mereka bisa ditangani dengan alkohol, drug, dan yang sejenisnya. Namun, penanganan jenis ini hanya bersifat sementara. Tidak ada derita yang ditangani, melainkan hanya melupakan derita untuk sementara. Dan bahkan masalah baru bisa dimunculkan. Kedua, mereka bisa diberikan pil spiritual. Paradigma arah berpikirnya dibalikkan.
Jika beruntung, mereka mampu memilih pil spiritual ini, tetapi jika malang, mereka lebih memilih penanganan yang satunya lagi. Ajaran Vedanta adalah salah satu jenis pil spiritual yang mampu memberikan jawaban atas permasalahan mendasar seseorang. Kalau mereka beruntung, mereka akan bertemu dengan paradigma berpikir yang berbeda, misalnya seperti teks di atas. Teks Astavakra tersebut mengajak kita untuk mengubah peran hidup. Jika hidup bermasalah, atau hidup itu masalah, maka cobalah untuk mengubah peran dari pemain menjadi penonton.
Teks di atas mencoba mengajak kita untuk berhenti menjadi pemain, sebab sejak awal kita telah menjadi pemain terus. Tariklah diri dari panggung permainan dan kemudian duduk, tontonlah permainan itu dari luar! Ketegangan antara orang yang sedang melakoni peran sangat berbeda dengan orang yang hanya sekadar menonton. Inilah pil spiritual yang diberikan oleh Vedanta. Jika kita mampu hanya menjadi saksi atas semua kejadian, tidak mengikatkan diri dengan semua yang terjadi walaupun berada di dalam gedung pertunjukan yang sama, maka kita tidak lagi pernah terbelenggu oleh masalah hidup. Perjuangan hidup tidak lagi melulu upaya menambah jumlah materi, sebab sedikit atau banyaknya materi akan tetap materi. Perjuangan hidup yang sebenarnya adalah menemukan kesadaran baru, bagaimana agar kita mampu melepaskan diri dari peran pelaku dan berubah menjadi penonton.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar
Esām sāksinam-ātmānam cid-rupam vidhi muktaye.
(Astavakra Gita, I.3)
Sering kita mendengar bahwa hidup harus diperjuangkan, sebab hidup itu susah. Banyak orang desa merantau ke kota hanya untuk memperjuangkan hidup. Demikian juga banyak orang yang pindah ke daerah lain, bahkan keluar negeri hanya untuk memperjuangkan hidup. Setelah di rantauan, mereka harus banting-tulang siang-malam tanpa kenal lelah. Banyak rintangan yang harus mereka hadapi. Banyak air mata yang harus dicucurkan untuk menelan deritanya. Dengan kondisinya masing-masing mereka memasuki medan yang berbeda.
Dari perjuangan itu, capaian hasil mereka bervariasi satu dengan yang lainnya. Pertama, ada dari mereka yang meskipun telah siang malam bekerja, sepanjang perjuangannya hanya mampu meraih sebatas pemenuhan kebutuhan dasar, cukup makan, pakaian, dan rumah seadanya. Perjuangan untuk perbaikan hidup baginya serasa kandas. Derita awal tidak jauh berbeda dengan derita akhir. Kedua, sebagian telah mampu meningkatkan hidupnya menjadi lebih baik, makan sangat berkecukupan, rumah mewah, memiliki mobil, sukses menjalankan beberapa usaha dan yang lainnya. Derita awal tampak mengalami perubahan. Ketiga, ada juga dari mereka yang hidupnya telah bergelimang, perubahannya telah nampak signifikan jika dibandingkan dengan kondisi awal, namun derita yang dirasakan tidak jauh berbeda dari awal. Dia merasakan bahwa saat miskin menderita, demikian juga saat kaya tambah menderita. Kekayaan yang diperolehnya tidak mampu mengubah derita awal. Hanya bentuk deritanya yang mereka lihat berubah, tetapi rasa derita itu sendiri sama.
Orang pertama dan kedua sangat umum terjadi, sementara orang ketiga bahkan lebih sangat umum. Namun meskipun demikian, orang pertama dan kedua tidak perlu penanganan khusus, sebab mereka hanya memerlukan strategi bagaimana untuk tetap mempertahankan dan jika bisa, menambah kekayaannya agar derita awal berubah menjadi lebih baik. Orang ketigalah yang memerlukan penanganan super spesialis. Jenis penanganan yang diberikan mungkin ada dua. Pertama, mereka bisa ditangani dengan alkohol, drug, dan yang sejenisnya. Namun, penanganan jenis ini hanya bersifat sementara. Tidak ada derita yang ditangani, melainkan hanya melupakan derita untuk sementara. Dan bahkan masalah baru bisa dimunculkan. Kedua, mereka bisa diberikan pil spiritual. Paradigma arah berpikirnya dibalikkan.
Jika beruntung, mereka mampu memilih pil spiritual ini, tetapi jika malang, mereka lebih memilih penanganan yang satunya lagi. Ajaran Vedanta adalah salah satu jenis pil spiritual yang mampu memberikan jawaban atas permasalahan mendasar seseorang. Kalau mereka beruntung, mereka akan bertemu dengan paradigma berpikir yang berbeda, misalnya seperti teks di atas. Teks Astavakra tersebut mengajak kita untuk mengubah peran hidup. Jika hidup bermasalah, atau hidup itu masalah, maka cobalah untuk mengubah peran dari pemain menjadi penonton.
Teks di atas mencoba mengajak kita untuk berhenti menjadi pemain, sebab sejak awal kita telah menjadi pemain terus. Tariklah diri dari panggung permainan dan kemudian duduk, tontonlah permainan itu dari luar! Ketegangan antara orang yang sedang melakoni peran sangat berbeda dengan orang yang hanya sekadar menonton. Inilah pil spiritual yang diberikan oleh Vedanta. Jika kita mampu hanya menjadi saksi atas semua kejadian, tidak mengikatkan diri dengan semua yang terjadi walaupun berada di dalam gedung pertunjukan yang sama, maka kita tidak lagi pernah terbelenggu oleh masalah hidup. Perjuangan hidup tidak lagi melulu upaya menambah jumlah materi, sebab sedikit atau banyaknya materi akan tetap materi. Perjuangan hidup yang sebenarnya adalah menemukan kesadaran baru, bagaimana agar kita mampu melepaskan diri dari peran pelaku dan berubah menjadi penonton.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen IHDN Denpasar
1
Komentar