Ashram Krisna Balaram Terancam Ditutup Paksa
Sempat Minta Izin Gelar Upacara Ngaben ala Hare Krishna di Setra Kesiman
DENPASAR, NusaBali
Ashram Krishna Balaram yang berada di Jalan Bypass Ngurah Rai Padanggalak, Denpasar Timur terancam ditutup paksa oleh pihak Desa Adat Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur.
Masalahnya, ashram ini menggelar kegiatan upacara ala Hare Krishna, yang tidak tidak sesuai dengan dresta Bali. Bendesa Adat Kesiman, I Ketut Wisna, mengungkapkan Ashram Krishna Balarm yang mengajarkan aliran Hare Krishna, telah membuat krama setempat geram. Menurut Ketut Wisna, akhir Desember 2020 lalu warga sempat sudah sempat meluapkan emosinya dengan memotong plang ashram tersebut. Namun, hal itu tidak membuat kapok pengurus ashram.
Justru pihak Ashramn Krishna Balaram semakin berani untuk terus melakukan kegiatan yang dianggap mendompleng ajaran Hindu Bali. Puncaknya, kata Ketut Wisna, beberapa bakta (pengikut) Hare Krishna di ashram tersebut nekat datang menemui Ketut Wisna selaku Bendesa Adat Kesiman, Kamis (15/4) lalu. Tujuan kedatangan mereka adalah untuk memohon izin melaksanakan upacara ngaben di Setra Desa Adat Kesiman kawaswan di Jalan Waribang Denpasar Timur.
Sebenarnya, menurut Ketut Wisna, hal itu bisa dipertimbangkan. Namun masalahnya, ternyata upacara ngaben yang akan digelar di Setra Desa Adat Kesiman itu adalah ngaben ala Hare Krishna. Ketut Wisna mengaku terkejut dengan hal itu. “Tentu saja kami tidak memberikan izin, karena tidak sesuai dengan upacara Hindu Bali,” papar Ketut Wisna dalam keterangan persnya di Denpasar, Minggu (18/4).
Merespons masalah tersebut, Ketut Wisna bersama jajaran prajuru Desa Adat Kesiman pun mendatangi Ashram Krishna Balaram di Padanggalak, Minggu (18/4) pagi. Tujuan kedatangan prajuru adat adalah untuk mengecek dan memastikan kegiatan di ashram tersebut. Setelah mengetahui kegiatannya, pihak Desa Adat Kesiman langsung memberikan surat untuk menutup kegiatan di ashram tersebut.
"Kami telah menjalankan dresta, adat, budaya, dan tradisi agama Hindu Bali selama berabad-abad. Saat kami datangi tadi pagai (kemarin), di ashram itu tidak hanya untuk belajar Weda, tapi ada tempat pemujaan yang bukan pura. Tempat pemujaan itu tidak diketahui oleh desa adat," papar bendesa yang juga pentolan Forum Komunikasi Taksu Bali Dwipa ini.
Ketut Wisna mengungkapkan, warga pendatang di Desa Adat Kesiman semuanya tercatat. Hal itu diatur oleh awig-awig. Setelah dicek, para bakta yang ada di Ashram Balaram itu semuanya bukan warga Kesiman. Mereka semua merupakan warga luar Denpasar yang tidak terdaftar sebagai krama tamiu (pendatang) di Desa Adat Kesiman.
Menurut Ketut Wisna, Desa Adat Kesiman berhak untuk bertindak atas masalah ini. Dasarnya adalah Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat serta Surat Keputusan Bersama (SKB) PHDI dan Majelis Desa Adat Provinsi Bali Nomor 106/PHDI-Bali/XII/2020 dan Nomor 07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020 tentang Pembatasan Kegiatan Pengembangan Ajaran Sampradaya Non Dresta Bali di Bali, yang berlaku sejak 16 Desember 2020.
"Tadi (kemarin) kami sudah langsung melayangkan surat untuk menutup ashram tersebut. Jika nanti terus membangkang, maka akan diproses secara adat, melalui Kerta Desa. Kami tidak melarang mereka ikut Hare Krishna, tapi jangan merusak adat dan budaya Bali yang sudah turun temurun selama berabad-abad," tegas Ketut Wisna.
PHDI Bali dan Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali sebelumnya telah mengeluarkan SKB tentang ‘Pembatasan Kegiatan Pengembanan Ajaran Sampradaya Non Dresta Bali di Bali’, 16 Desember 2020. Intinya, PHDI dan MDA Provinsi Bali melarang Sampradaya Non Dresta Bali dan pengikutnya yang selama ini dinilai tidak sesuai dengan dresta, adat, dan budaya Bali untuk menggunakan pura dalam setiap kegiatannya.
Bendesa Agung MDA Provinsi Bali, Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, mengatakan melindungi setiap usaha penduduk menghayati dan mengamalkan ajaran agama dan kepercayaannya, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan serta tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.
"Sampradaya Don Dresta Bali merupakan organisasi dan/atau perkumpulan yang mengemban paham, ajaran, dan praktek ritual yang tata pelaksanaannya tidak sesuai dengan adat, tradisi, seni, dan budaya, serta kearifan lokal dresta Bali," papar Putra Sukahet saat membacakan surat keputusan PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali bersama Ketua PHDI Bali, I Gusti Ngurah Sudiana, di Kantor MDA Provinsi Bali, Jalan Tjokorda Agung Trena Niti Mandala Denpasar kala itu.
Untuk menjaga kerukunan, kedamaian, dan ketertiban kehidupan beragama Hindu serta pelaksanaan kegiatan pengembanan ajaran Sampradaya non dresta Bali, maka PHDI Kabupaten/Kota se-Bali ditugaskan secara bersama-sama melarang Sampradaya Non Dresta Bali di Bali menggunakan pura dan wewidangan (wilayah) serta tempat-tempat umum/fasilitas publik seperti jalan, pantai, dan lapangan untuk berkegiatan.
PHDI Kabupaten/Kota se-Bali juga diminta agar melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi terhadap keberadaan Sampradaya Non Dresta Bali di Bali dalam pengembanan ajarannya. PHDI Kabupaten/Kota harus berkoordinasi dengan MDA sesuai tingkatan dan prajuru desa adat dalam mengawasi, memantau, dan mengevaluasi keberadaan sampradaya non-dresta Bali di Bali.
Putra Sukahet menyebutkan, dengan keputusan bersama PHDI Bali dan MDA Provinsi Bali ini, maka MDA Kabupaten/Kota dan MDA Kecamatan beserta prajuru desa adat se-Bali secara bersama-sama melaksanakan penjagaan kesakralan dan kesucian pura yang ada di wewidangan desa adat. Pura-pura tersebut meliputi Pura Kahyangan Banjar, Pura Kahyangan Desa, Pura Sad Kahyangan, Pura Dang Kah-yangan, dan Pura Kahyangan Jagat lainnya. *pol
Komentar