Warga Sumberkelampok Kini Tunggu Penyerahan
Penyertifikatan Tanah Telah Tuntas
SINGARAJA, NusaBali
Tuntas sudah konflik agraria di Desa Sumberkelampok, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun.
Sertifikat hak milik (SHM) atas tanah yang dimohonkan 928 kepala keluarga (KK) di Desa Sumberkelampok telah selesai. Kini, warga tinggal menunggu peneyerahan sertifikat tanah, yang dijadwalkan bulan April 2021 ini.
Hal ini diungkapkan Kepala Desa (Perbekel) Sumberklampok, Wayan Sawitra Yasa, saat dikonfirmasi NusaBali dari Singaraja, Buleleng, Minggu (18/4) siang. Menurut Sawitra Yasa, info soal sudah selesainya sertifikat tanah untuk warga Desa Sumberkelampok tersebut diperoleh dari Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Buleleng.
"Info dari BPN Buleleng, rencananya sertifikat akan diserahkan kepada warga Desa Sumberkelampok, bulan April 2021 ini. Tapi, tanggal pastinya belum ditentukan. Yang jelas, sertifikat sudah selesai, tinggal dibagikan saja," tandas Sawitra Yasa
Konflik agraria di Desa Sumberkelampok itu sendiri sudah berlangsung sejak tahun 1960. Perjuangan panjang warga Desa Sumberklampok untuk memiliki legalitas SHM atas tanah yang ditempati, akhirnya terwujud di era Gubernur Bali Wayan Koster. Gubernur Koster me-nuntaskan permasalahan ini, dengan skema 70:30. Skema tersebut disemapati Tim 9 Desa Sumberkelampok dan Pemprov Bali dalam pertemuan di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Komplek Jaya Sabha Denpasar, 26 November 2020 lalu.
Dari total 619,94 hektare lahan di Desa Sumberklampok, yang dapat dibagi adalah seluas 514,02 hektare. Ini setelah dikurangi pembagian lahan untuk pekarangan (pemukiman penduduk) seluas 65,55 hektare, fasilitas umum dan fasilitas sosial seluas 9,91 hektare, dan jalan/-pangkung/sungai seluas 23,37 hektare. Fasilitas umum dan fasilitas sosial dimaksud, termasuk pura, setra, bale banjar, dan balai kelompok.
Nah, dari total lahan tersisa seluas 514,02 hektare itu, disepakati 70 persen menjadi hak warga Desa Sumberklampok dan 30 persen lagi menjadi hak Pemprov Bali. Artinya, 70 persen atau 359,80 hektare diserahkan kepada 928 KK warga Desa Sumberkelampok lengkap dengan sertifikatnya.
Sedangkan sisanya 30 persen atau 154,22 hektare diserahkan ke Pemprov Bali. Lahan milik Pemprov Bali tersebut lokasinya berada di sisi utara Desa Sumberkelampok, membentang dari kawaswan Tegal Bunder sampai Teluk Terima.
Menurut Sawitra Yasa, untuk KK utama atau pecahan satu yang mencapai total 252 KK, masing-masing mendapatkan bagian tanah seluas 85 are. "Kalau ada salah satu warga yang masuk KK utama menguasai lahan pekarangan 10 are, maka dia berhak mendapatkan 75 are lahan pertanian. Jadi, totalnya 85 are," papar Sawitra Yasa.
Sedangkan untuk pecahan satu yang mendapatkan masing-masing 60 are, kata Sawitra Yasa, jumlahnya mencapai 123 KK. Sementara untuk pecahan dua (laki-laki) yang mendapatkan bagian 40 are, jumlahnya mencapai 193 KK. Untuk pecahan perempuan yang mendapat bagian 29 are, jumlahnya mencapai 84 KK. Untuk eks transmigran yang kebagian masing-masing 24 are, jumlahnya mencapai 22 KK. Untuk pecahan baru yang kebagian masing-masing 4 are, jumlahnya mencapai 180 KK. Sebaliknya, untuk penyakap yang masing-masing kebagian tanah seluas 3 are, jumlahnya mencapai 74 KK.
Disinggung soal tuntasnya permohonan tanah yang telah tuntas pensertifitaannya ini ada hubungan dengan isu pembangunan Bandara Internasional Bali Utara, Sawitra Yasa menampik hal itu. Mnurut Sawitra Yasa, permohonan hak atas tanah sudah dilakukan jauh sebelum adanya isu bandara.
"Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan pembangunan bandara. Sebelum ada isu pembangunan bandara, kami sudah mengusulkan permohonan lahan ini untuk disertifikatkan," tegas Sawitra Yasa.
Sementara itu, Gubernur Koster sebelumnya mengatakan bahwa penyelesaian masalah tanah Desa Sumberkelampok yang sudah berlangsung selama puluhan tahun, sebagai upaya Pemprov Bali dalam mewujudkan kepastian hak dan kepastian hukum masyarakat. Menurut Gubernur Koster, sudah terlalu lama masyarakat Desa Sumberklampok menunggu penyelesaian permasalahan ini, guna mendapatkan kejelasan hak mereka.
“Dan, ini wujud komitmen saya sejak lama untuk menyelesaikannya, agar keduabelah pihak, baik Pemprov Bali maupun warga Desa Sumberkelampuk, mendapatkan kepastian hukum," tegas Gubernur Koster seusai pertemuan Tim 9 Desa Sumberkelampok dan Pemprov Bali di Jaya Sabha Denpasar, 26 November 2020 lalu.
Gubernur Koster menceritakan, langkah yang diambil sudah berdasarkan penelusuran dokumen-dokumen, mempelajari sejarah keberadaan warga Desa Sumberkelampok, serta hasil koordinasi bersama stakeholder terkait seperti DPRD Bali, PPN Provinsi Bali, jajaran Pemprov Bali, dan Pemkab Buleleng.
"Skema pembagian 70:30 yang kami ambil, menurut saya ini sudah yang terbaik, win-win solution bagi keduabelah pihak, dengan tetap lebih mengutamakan kepentingan masyarakat. Untuk itu, mari kita jaga baik-baik kesepakatan ini," tandas Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.
Gubernur Koster pun kembali menegaskan agar masyarakat lebih mengutamakan cara-cara musyawarah dalam penyelesaian masalah dan tidak cepat terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, yang mana permasalahan tanah merupakam hal sensitif. "Keputusan ini juga atas persetujuan DPRD Bali. Kalau tidak dapat persetujuan dari Dewan, kesepakatan ini tidak akan jalan,” katanya.
Sedangkan Ketua DPRD Bali, Nyoman Adi Wiryatama, menyatakan keputusan yang diambil antara eksekutif dan legislatif terkait masalah tanah di Desa Sumberkelampok, merupakan sejarah baru yang besar untuk Bali, mengingat lamanya permasalahan yang tidak kunjung terselesaikan.
"Ini adalah keputusan yang sangat pro rakyat. Masyarakat sudah mendapatkan haknya, secara yuridis telah terpenuhi. Apa yang menjadi bagian Pemprov Bali, nantinya juga untuk kepentingan masyarakat. Sepenuhnya dikelola untuk kepentingan warga Sumberklampok, warga Buleleng, bahkan masyarakat Bali," jelas politisi senior PDIP ini. *mz
Komentar