MUTIARA WEDA: Nyaman dengan Bungkus
Duhkhatrayābhighātād jijnāsā tadapaghātake hetau, Drste sā apārthā cet naikānta-atyantatah-abhāvāt. (Samkhya Karika Ishvara Krishna, 1)
Dari siksaan yang disebabkan oleh tiga jenis derita, muncul keinginan (inquiry) mencari alat atau cara dalam mengakhirinya. Jika dikatakan demikian, maka inquiry itu tidak berguna sepanjang cara atau alat terlihat (visible means) eksis. Jawaban kita: tidak demikian, karena (dalam visible means) tidak ada kepastian dan keabadian.
Monyet dan katak dikatakan berteman baik dalam cerita Diah Tantri. Suatu ketika mereka berkeinginan menanam pohon pisang. Beberapa lama mencari, mereka akhirnya menemukan pohonnya namun hanya satu batang saja. Setelah berdiskusi, mereka sepakat untuk membagi batang pisang tersebut menjadi dua bagian. Setelah terpotong menjadi dua, monyet mendahului menentukan pilihan, “aku bagian batang ke atas yang ada daunnya, sementara kamu bagian pangkalnya”. Monyet berpikir bahwa pisang itu hanya bisa berbuah melalui bagian atas yang ada daunnya dan tidak pernah melalui pangkalnya. Si katak mengiyakan pembagian tersebut. Mereka kemudian pulang dengan membawa bagiannya masing-masing. Si monyet menggantung batang pisang itu di atas pohon agar mudah memetik buahnya nanti. Sementara si katak menanam di tanah.
Kita tidak perlu mendiskusikan apa yang terjadi kemudian dalam cerita tersebut. Hal yang menarik disini adalah cara berpikirnya mengapa si monyet sampai menjatuhkan pilihan seperti itu. Selama ini pembelajaran kita terjebak pada klimaks atau konsekuensi dari sesuatu atau sebuah kejadian, yang lebih bersifat moral etik dan meng-ignore aspek epistemiknya. Teks-teks darsana seperti di atas dan teks teks Upanisad sangat menekankan pada aspek ini dan bahkan jarang sekali membahas konsekuensinya. Mengapa jarang? Karena konsekuensi tidak memerlukan upaya, sementara yang mampu menentukan apa konsekuensinya adalah upaya. Upaya itu ada dalam system epistemologinya. Apa jadinya jika pendidikan meng-ignore aspek ini? Hasilnya adalah orang-orang yang selalu mendeterminasi pada salah dan benar, hitam dan putih. Celakanya lagi adalah sesuatu yang benar itu muncul dari apa yang diyakininya, apa yang dipikirkannya, dan yang salah ketika berbeda dengan keyakinannya. Apa terjadi kemudian? Banyak, seperti radikalisme, penistaan
agama, intoleran, kebencian pada keyakinan tertentu dan bahkan terbangun ideologi bahwa melenyapkan keberadaan orang yang memiliki keyakinan berbeda bisa dibenarkan.
Mengapa monyet berpikir demikian? Tidakkah ini cara berpikir kita secara umum? Jika mengacu pada teks-teks baik yoga maupun tantra, upanisad maupun darsana yang menekankan pada inner engineering, maka dapat dipastikan bahwa cara berpikir monyet itu adalah representasi dari cara berpikir kita secara umum, sementara si katak adalah representasi sebagian kecil orang yang terberkati. Si monyet tampak cerdas dalam menentukan pilihan, karena secara nalar memang bagian pohon yang ada daunnya yang menghasilkan buah, namun dia lupa eksistensi sebuah pohon yang bisa menghasilkan buah. Teks menyebut ini sebagai avidya (kegelapan/ kebodohan), dan harus kita akui bahwa kehidupan kita secara umum masih diselubungi oleh avidya ini. Mari kita bahas ini dengan berkaca pada teks di atas.
Teks menyebut bahwa ada tiga jenis penderitaan jika dilihat dari sumbernya, yakni adhyatmika (intra organic, dari dalam diri), adhibhautika (pengaruh dari luar), dan adhidaivika (pengaruh supernatural). Derita ini selalu menghantui sehingga kita berkeinginan untuk mengatasinya. Kita berupaya mencari cara atau alat mengatasi itu. Ketika kita berpikir mencari cara, tidakkah model berpikir kita seperti si monyet tadi? Teks di atas bertanya, tidakkah pencarian (inquiry) itu sia-sia jika ada jalan atau cara yang instan? Seperti misalnya, ketika kita stress atau depresi, jalan yang kita pilih untuk mengatasinya adalah dengan minum minuman keras, drug, judi, dan yang sejenisnya.
Dengan kata lain, tidakkah pencarian spiritual (inner engineering) tampak sia-sia jika ada yang menawarkan sebuah doktrin yang menjanjikan kebahagiaan sorga hanya sekedar mengucapkan sesuatu yang sesuai dengan ideologi pada doktrin tersebut? Teks di atas kemudian menjawab bahwa itu tidak demikian. Tidak ada kepastian dan keabadian atas sesuatu yang bersifat instan tersebut. Tidakkah fenomena yang lagi viral tentang orang yang pindah keyakinan sedang curhat pada pertemuan khusus, yang berupaya mengkerdilkan makna tradisi agama leluhurnya itu terjebak pada pemikiran seperti si monyet di atas?
I Gede Suwantana
1
Komentar