Walau Pandemi, Tradisi Mekotek Tetap Digelar
Desa Adat Munggu Batasi Jumlah Peserta
MANGUPURA, NusaBali
Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Badung, tetap melaksanakan tradisi Mekotek pada Saniscara Kliwon Kuningan (Hari Raya Kuningan), Sabtu (24/4), meski situasi Covid-19 belum benar-benar mereda.
Menurut kepercayaan masyarakat Desa Adat Munggu, tradisi Mekotek juga diyakini sebagai upaya penolak bala, sehingga pantang untuk ditiadakan. “Kami tidak berani untuk tidak mengadakan. Karena ini berkaitan dengan keyakinan masyarakat Desa Adat Munggu, tradisi Mekotek sebagai penolak bala. Seperti enam bulan yang lalu (Hari Raya Kuningan sebelumnya, Red), kami tetap laksanakan dengan jumlah pengayah Mekotek yang sudah sangat jauh berkurang dibanding pelaksanaan tahun-tahun sebelumnya,” ujar Bendesa Adat Munggu I Made Rai Sujana.
Menurutnya, berdasarkan sejarah, tradisi Mekotek pernah tidak dilaksanakan karena dilarang pada masa pemerintah kolonial Belanda. Kala itu, tradisi Mekotek yang masih menggunakan tombak dikira akan melakukan pemberontakan. Selama dilarang melaksanakan tradisi Mekotek pada masa itu, dikatakan masyarakat Desa Adat Munggu mengalami wabah penyakit hingga banyak yang meninggal. “Karena pernah terjadi demikian, sehingga kami tidak berani untuk meniadakan. Selama pandemi kami batasi pesertanya, agar juga tidak melanggar surat edaran pemerintah tentang penerapan protokol kesehatan (prokes),” terang Rai Sujana.
Sejak pelaksanaan Mekotek enam bulan lalu, terus berkoordinasi dengan Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Badung, Bupati Badung, Polres Badung, serta instansi terkait agar mendapatkan solusi terbaik dalam pelaksanaan Mekotek di masa pandemi Covid-19. Melalui berbagai pertimbangan, Desa Adat Munggu memutuskan tradisi Mekotek hanya diikuti oleh pemuda pemudi di Desa Adat Munggu yang terdiri dari 12 banjar.
“Kami punya krama 1.130 KK dengan jumlah penduduk sekitar 4.000 jiwa. Setiap tradisi seluruh masyarakat Desa Adat Munggu akan mengikuti tradisi Mekotek. Tapi sejak pandemi, hanya pemuda pemudi saja untuk sementara ngayah. Mungkin ada sekitar 200 orang,” kata Rai Sujana.
Rai Sujana mengaku tetap diwanti-wanti oleh Satgas Penanganan Covid-19, Polres Badung agar tidak sampai menimbulkan kerumunan. Karena itu, selain pembatasan peserta yang akan melaksanakan tradisi Mekotek, masyarakat luar yang ingin menonton juga tidak diperbolehkan untuk sementara waktu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. “Karena situasi seperti ini kami belum bisa izinkan masyarakat luar untuk menonton. Kami bekerjasama dengan pecalang. Sepanjang Desa Adat Munggu kami tutup selama tradisi Mekotek berlangsung. Pelaksanaannya kurang lebih 2 jam mulai dari pukul 14.00 hingga pukul 16.00 Wita,” beber Rai Sujana. Tradisi Mekotek sendiri telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia tahun 2016. Menurut sejarah, kata Rai Sujana, tradisi Mekotek diperkirakan sudah dilaksanakan pada masa jaya Kerajaan Mengwi tahun 1.700 Masehi. Tradisi Mekotek atau Ngerebeg ini mulanya dilaksanakan sebagai simbol kegembiraan atas kemenangan Pasukan Taruna Munggu atau disebut pula Pasukan Guak Selem y
ang diutus Kerajaan Mengwi untuk mempertahankan wilayah kekuasaan Kerajaan Mengwi di daerah Blambangan, Jawa Timur dari serangan kerajaan lain yang ingin merebut wilayah tersebut.
Lanjut Rai Sujana, awalnya tradisi Mekotek menggunakan sarana tombak. Namun pada masa pemerintahan kolonial Belanda, tradisi Mekotek sempat dilarang karena dikira akan melakukan pemberontakan. Karena larangan tersebut, masyarakat Desa Adat Munggu sempat mengalami wabah penyakit misterius, susah disembuhkan, hingga banyak yang meninggal dunia. Masyarakat Desa Adat Munggu kemudian mendapat petunjuk di Pura Dalem Desa Adat Munggu, bahwa penyebab wabah penyakit merajalela karena tidak melaksanakan tradisi Mekotek. Para tokoh masyarakat, adat, dan agama kemudian melakukan negosiasi agar Mekotek bisa digelar kembali.
“Akhirnya diizinkan kembali menggelar tradisi Mekotek. Tapi yang semula menggunakan tombak, kemudian diganti dengan kayu jenis pulet dengan panjang 3,5 sampai 4 meter yang bisa dipakai bahkan sampai 20 tahun. Sejak saat itu memakai kayu pulet diisi dengan ujung daun pandan sebagai simbol ujung tombak, serta tamiang sebagai simbol tameng,” katanya sembari menyebut tradisi Mekoyek juga sebagai media pemersatu pemuda di Desa Adat Munggu.
Sejak saat itu pula diyakini pula bahwa tradisi Mekotek adalah sebagai penolak bala. Suara kayu pulet yang ujungnya disatukan kemudian diiringi sorak sorai dari para pengayah diyakini bisa menetralisir atau menjauhkan kawasan Desa Adat Munggu dari aura-aura negatif yang mengganggu kehidupan. “Saat saya kecil tidak ada tradisi menaiki kayu pulet. Hanya baru-baru ini saja ada yang naik ke tumpuan kayu pulet itu. Itu merupakan kreativitas anak-anak muda. Tidak wajib sebenarnya ada yang naik seperti itu. Yang terpenting ada penyatuan kayu, karena itu adalah simbolis membentuk gunung,” imbuh Rai Sujana yang menjabat Bendesa Adat Munggu sejak tahun 2013. *ind
1
Komentar