Bali Menjadi Penyaji Terbaik
Berbagai kendala ditemui, seperti kostumnya terpaksa dirakit di Jakarta karena tidak bisa diangkut pesawat. Dua penari mendadak meriang menjelang pentas.
“Makna tipat bantal adalah simbol purusa pradhana (laki-perempuan) yang melahirkan kesuburan. Sehingga konsep tari ini berangkat dari tradisi kemudian diramu dalam gerak dinamis, dipadukan dengan tembang dan musik bercitarasa tradisi kekinian,” imbuh seniman kelahiran Kapal, 26 April 1988, ini.
Sedangkan iringan musiknya berupa seperangkat gamelan Singapraga garapan komposer I Wayan Sudiarsa alias Pacet. Ensambel music pendukung menggunakan ensambel gamelan Salonding dengan dipadukan beberapa instrumen tambahan seperti kendang cedugan dan instrumen gong besar.
Sementara saat akan berangkat, kendala kembali dihadapi. Kostum yang akan dikenakan terlalu besar dan tidak bisa dimuat dalam pesawat. “Akhirnya kami siasati. Kostum yang demikian besarnya kami rakit kembali setibanya di Jakarta. Tanggal 2 Oktober kami berangkat dan tanggal 3 Oktober, kami selesaikan rakitan kostumnya. Sedangkan pentasnya tanggal 4,” jelasnya.
Belum lagi ketika sampai di Jakarta, panggungnya tidak sesuai rencana, membuat Gung Rahma harus mengubah beberapa koreografi tariannya karena pada akhir tarian mestinya menggunakan undag (anak tangga) namun dari panitia tidak disediakan.
“Terpaksa kami ubah sedikit. Tapi syukurnya mereka para penari sudah mengerti, dan perubahan tersebut dimengerti,” katanya.
Hal yang paling menegangkan, diakui Gung Rahma, terjadi saat detik-detik menjelang pentas. Dua penari yang notabene merupakan penari utama dalam tarian tersebut mendadak suhu badan mereka tinggi. Meski demikian, dalam harap-harap cemas, mereka pun tampil semaksimal mungkin. Beruntung penampilan berjalan apik dan tidak mengalami kendala berarti.
“Sebenarnya kami sudah degdegan karena anggota penari ada yang sakit. Tapi syukurnya berjalan dengan baik, dan dua penari yang sakit tersebut langsung mendapatkan penanganan kesehatan usai pentas. Mereka sempat muntah-muntah habis pentas,” jelasnya.
Namun di balik kendala itu semua, ada rasa bangga di hati para penari maupun orang di balik layar pementasan tari ini. Applaus meriah dari penonton seakan menjadi bayaran manis untuk mereka yang telah berkreativitas sebaik mungkin. Ditambah predikat penyaji terbaik yang didapat seakan melengkapi buah manis dari keuletan mereka.
“Saat kami tampil semuanya hening. Begitu kami selesai, tepuk tangan penonton begitu meriah. Kami puas dengan penampilan kami yang kami kira sudah maksimal dan akan berusaha lebih maksimal lagi nantinya,” tutur pria yang tengah melanjutkan pendidikan S3 di ISI Surakarta, ini.
Komentar